Jumat, 10 Juni 2011

The Smiling Corruptor

Oleh: 
Ichsan Loulembah



"Dia pernah asyik main golf hingga terlambat sampai di airport," kisah seorang hakim di luar sidang. "Tapi pesawat yang sudah lepas landas selama lebih lima menit ternyata kembali mendarat untuk menjemput Budiadji." (Tempo, 16 April 1977).

Di kalangan bekas tetangga-tetangganya, Endang Widjaja dikenal sebagai warga yang cukup dermawan. "Dia selalu menyumbang uang dalam jumlah besar kalau RW mengadakan ulang tahun Jakarta misalnya. Malah juga ada beberapa artis terkenal yang diundangnya," kata seorang bekas tetangganya.

Selain perkara Pertamina, korupsi Rp 7,6 miliar yang digasak Budiadji (kala diperiksa berusia 39 tahun) selaku Kepala Depot Logistik (Kadolog) Kalimantan Timur amat menyedot perhatian.
Adapun 'saingan terdekat' Budiadji dalam ketersohoran dengan soal serupa, tak lain Endang Wijaya alias Yap Eng Kui alias A Tjai, yang menggaruk miliaran rupiah dalam kasus Pluit.

Budiadji adalah organ negara, dalam tugas 'suci' menyalurkan dan mengantarkan beras ke rumah-rumah rakyat. Namun, tindak-tanduknya terbalik. Penampilannya ibarat pengusaha minyak tempo dulu, atau pemilik tambang batubara dan kebun kelapa sawit di masa kini.

Selain menyelewengkan HPB (hasil penjualan beras) dan pemalsuan DO (delivery order), sejak 1973, Budiadji juga 'kreatif'. Dia menciptakan istilah OPS (order pemindahan stok), sesuatu yang tak dikenal dalam perdokumenan Badan Urusan Logistik (Bulog), waktu itu.
Sedemikian kuatnya, hingga pesawat terbang yang sudah take off pun rela kembali ke bandara jika Budiadji tertinggal.

Endang Widaja, hanyalah seorang pengusaha 'melarat' ketika pada 1970 menginjakkan kaki untuk mengadu nasib di Jakarta, dari Medan. Namun, setelah 'berinteraksi' dengan beberapa pejabat di Pemerintah Daerah DKI Jakarta, hidupnya langsung gemerlap.

Selain royal dalam kegiatan di lingkungannya, A Tjai juga rajin 'menghibur' para pejabat yang melancarkan kegiatan usahanya.
Tak heran, ia dipercaya sebagai kontraktor tunggal oleh Badan Pelaksana Otorita (BPO) Pluit sejak 1971. Sehingga kredit macet yang dibikinnya pun megah, yakni Rp 18,9 miliar di Bank Bumi Daya (BBD).
Itu kisah dua koruptor, dari banyak 'pesta korupsi' lain di masa Orde Baru. Bagaimana dengan kisah koruptor di era Reformasi? Sekilas sama saja.

Pertama, lingkungan jarang kritis, cenderung toleran. Tidak sedikit yang malah nyaman, pura-pura tidak tahu, jika seorang yang mereka kenal tiba-tiba meroket kekayaannya.
Kini, banyak kisah (abdi negara, politisi, pejabat publik, kontraktor pemerintah) di pusat dan daerah, dielu-elukan, justru karena cepat kaya serta banyak memberikan sumbangan.

Kedua, korupsi selalu melibatkan banyak pihak. Perkara A Tjai memensiunkan 10 pegawai BBD, 17 diberhentikan, sebagian turun pangkat.
Tak berbeda. Artalyta Suryani alias A Yin misalnya, punya counter part jaksa Urip Tri Gunawan, Sekretaris Daerah Bintan Azirwan punya anggota parlemen Al Amin Nasution, dan banyak lagi kisah kerjasama lainnya.
Ketiga, dahulu korupsi besar juga tak bisa ditangani satu lembaga permanen saja. Operasi sukses, jika melibatkan semacam checks and balances antarlembaga.
Korupsi orang-orang kuat ditangani gabungan Kejaksaan Agung dan Operasi Penertiban Pusat (Opstibpus), sebuah institusi ad hoc ciptaan Orde Baru.
Kini, ada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga ad hoc yang memperkuat Kejaksaan dan Kepolisian.

Terakhir, para korputor, dulu dan kini, selalu terlihat necis saat di pengadilan. Senyum mereka tetap mengembang saat diwawancarai door stop setelah diadili. Bahkan ada yang nyengir saat mendengarkan hasil sadapan percakapan yang sebetulnya memalukan diri dan keluarganya.
Jika di negara-negara lain sebuah tuduhan, bahkan berita media tentang skandal korupsi berakhir dengan pengunduran diri dari jabatan. Di sini malah bersikukuh mempertahankan posisi.

Di Jepang bila ada pejabat yang dituduh korupsi tak kuasa menghadapi publik, ia langsung harakiri. Di sini, coba liat di layar televisi, atau halaman muka koran, mereka malah melempar senyum dan bersolek diri. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar