Kamis, 22 Maret 2012

KISAH MENGHARUKAN, PEREMPUAN YANG DICINTAI SUAMIKU

Kehidupan pernikahan kami awalnya baik-baik saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku. Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.

Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang. Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu. Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.

Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, disuatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit dirumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.

Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita. Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.

Aku mulai mengingat-ingat 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.

Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,

” Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini ? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya, ” lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !

Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.

Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2. Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.

Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta , aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan gerimis kemudian. Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan memanggilku, ” Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha ?”Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,

Dear Meisha,


Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku. Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya.


Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya. Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.


Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.
yours,


Mario


Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku. Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.

Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya. Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya. Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.

Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus didalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.

**********

Setahun kemudian…

Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.

” Mario, suamiku….


Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..


Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario. Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, ” kenapa, Rima ? Kenapa kamu mesti cemburu ? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku ?” Aku tidak perduli dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya. Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.


Istrimu,


Rima”

Di surat yang lain,
“………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……”


Disurat yang kesekian,


“…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.


Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah……. Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya……..” Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.


Disurat terakhir, pagi ini…


“…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor. Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.

Tahukah engkau suamiku,



Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………”


Jelita menatap Meisha, dan bercerita,


” Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya diseberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……” Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa. Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
========================================================================

Dear Meisha,


Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya ? Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….  Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Diwajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario.

Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.

oleh Wawan M Kunsarwani pada 17 Maret 2012 pukul 16:49

http://www.dikutip.com/2012/02/kisah-mengharukan-perempuan-yang-di.html

Rabu, 21 Maret 2012

Dinamika Persangkaan

Oleh Emha Ainun Nadjib

Banyak teman-teman yang suka banget kalau 'ngerjain' saya. Digoda dengan berita, isyu atau rumor macam-macam, lantas mereka diam-diam memperhatikan wajah saya -- apakah ada perubahan atau tidak. Apakah urat syarat di air muka saya menjadi tegang atau mengkerut. Warna wajah saya menjadi memerah atau justru memucat. Semua mereka teliti dan nilai dengan pendekatan ilmu teater panggung sekaligus ilmu kamera film dan sinetron.
  
Isyu, rumor dan berita yang disampaikan ke telinga saya itu bisa soal pribadi dan pergaulan, bisa soal politik, dan soal apa saja. Misalnya ada koran memuat foto besar penyanyi dangdut halus Evie Tamala yang shalihah dan dikasih judul: ''Evie Kecantol Cak Nun''. Sesudah terbit wartawannya bingung sendiri karena sesungguhnya yang dimaksud adalah Ikke Nurdjanah.
  
Di media lain beritanya tentang si Ikke yang juga bukan penyanyi dangdut departemen goyang pinggul yang disebut ''Digaet Oleh Cak Nun''. Padahal yang nyanyi bersama Ikke di acara launching ''Perahu Retak'' adalah Gus Dur. Saya cuma ditodong ikut nyanyi dua kalimat terakhir. Tapi saya yang digosipkan, sedemikian rupa sehingga impian saya untuk segera menikah menjadi hancur berantakan.  
Kaum wartawan adalah utusan Allah swt yang ditugasi untuk menguji iman masyarakat, meneguhkan istiqamah mereka serta memperkukuh ketahanan mereka terhadap segala macam persoalan. Kalau ada hubungan antar manusia atau kalau ada sebuah keluarga yang kisruh berat gara-gara gosip di koran -- itu salah keluarga itu sendiri. Mereka tidak mengerti tugas suci para wartawan yang sebenarnya. Para wartawan tinggi pahalanya, karena kebohongan yang mereka sebarkan sesungguhnya diniati untuk ibadah. 'Kan al-a'malu bin-niyyah. Setiap perbuatan itu ditentukan oleh niatnya.
  
Meskipun kita merampok, asal niatnya untuk beribadah ya insyaallah nilainya tetap merampok...hehehehe...  
Di dunia ini kewajiban utama manusia adalah bergaul dengan persangkaan-persangkaan. Manusia mempergaulkan persangkaan.
  
Ilmuwan-ilmuwan menuliskan skripsi yang mendobrak sangkaan melalui penelitian untuk kemudian berujung pada persangkaan yang baru. Dalam dunia politik entah berapa ribu orang masuk penjara atau meninggal dunia berkat lalulintas persangkaan nasional dan internasional. Baik persangkaan yang hanya bersubstansi kebodohan dan kesombongan, maupun persangkaan yang diskenariokan oleh rekayasa-rekayasa resmi. Banyak sekali peristiwa-peristiwa politik yang sesungguhnya hanya berpangkal di persangkaan dan berujung di persangkaan berikutnya. Demi budaya dan peradaban persangkaan sangat banyak manusia harus mengorbankan hidupnya, airmatanya, penghidupannya, masa depannya, bahkan nyawanya sekalipun.
  
Bahkan persangkaan seringkali juga merupakan muatan utama dari peta pergaulan teologi antar para pemeluk agama maupun aliran-aliran nilai yang dianggap sebagai agama. Tuhan sendiri memakai idiom dhonn, yang berarti persangkaan, untuk menjelaskan sejumlah fenomena kekufuran, kemunafikan, kemusyrikan, dan lain sebagainya, yang terjadi pada mentalitas, batin, pikiran, dan kejiwaan hamba-hambaNya.
  
Adapun yang sesungguhnya ingin saya kisahkan Minggu pagi ini sesungguhnya adalah betapa sejumlah teman 'ngerjain' saya melalui jenis persangkaan yang agak keterlaluan. Persangkaan itu bisa untuk guyon yang mengasyikkan, tapi kalau terpeleset selangkah saja ke garis keberlebihan, akan menjelma fitnah.  
Coba tho, saya ini kan orang yang bisa dikatakan nggak punya profesi.  
Kerja saya ini serabutan saja dan sekenanya. Sudah menyebut 'pekerjaan' di KTP. Satu jenis kegiatan yang saya agak punya kemampuan adalah menulis.
  
Tapi itupun minimal-minimal saja. Misalnya, saya ini nulis puisi -- tapi ya tidak lulus di medan laga perpuisian. Saya nulis banyak buku, tapi tak ada yang ilmiah. Terkadang saya tampil di panggung, tapi saya tak bisa disebut teaterawan, deklamator, mubaligh, da'i atau apapun saja.  
Hampir di semua bidang yang saya geluti itu saya minimal-minimal saja.  
Satu-satunya yang saya agak aktif -- dan itu saya andalkan untuk menghidupi banyak orang, anak-anak yatim, sekolahan dll -- adalah menulis di media. Lha dalam keadaan minimal seperti itu sejumlah teman sengaja mengisyukan kepada saya bahwa ada dua pejabat tinggi pusat di bidang penerangan, yang satu militer lainnya sipil -- yang memperingatkan kepada sejumlah pemimpin media massa agar jangan berani-berani memuat tulisan saya. Menurut isyu atau persangkaan yang menjurus fitnah itu sang pejabat mengatakan: ''Kalau Anda memuat tulisan dia, jangan lupa bahwa saya bisa menandatangani surat yang berakibat dibredelnya media Anda!''.
 
Ini kan jelas persangkaan yang tidak bermutu. Isyu macam ini tak akan laku di manapun. Pembuatnya pasti tidak kenal Republik Indonesia, negeri yang penuh keterbukaan, yang demokrasinya mengalir lancar bagai air sungai, yang sistem hukumnya tegak bagai pohon jati berusia ratusan tahun. Mana mungkin ada pejabat yang over acting macam itu. Kita merdeka sudah lebih setengah abad. Kita sudah dewasa dan matang. Kalau ada pejabat yang berkhayal omong seperti itu, bisa jadi tak sampai sebulan kemudian ia akan terlempar dari kursinya. Ini Indonesia, Bung! Sebenarnya secara pribadi diam-diam saya suka kalau benar ada larangan seperti itu. Saya jadi bisa sedikit menganggur. Tak usah tidur sesudah Subuh. Undangan-undangan yang datang, bisa lebih saya perhatikan dan penuhi. Pada hari ketika isyu itu dilontarkan ke telinga saya, pas saya menerima telpon dari Pare-Pare, Sulsel. Teman-teman prajurit di Korem sana bilang ingin bercengkerama. Saya sangat bersemangat. Sulsel adalah kekasih saya. Dan satu di antara orang yang saya kagumi -- Usman Ballo (loreng) -- adalah sesepuh masyarakat dan prajurit di Pare-Pare. Belum lagi, biasanya, kalau sudah sampai di Pare-Pare -- musti terus ke utara. Khusus untuk sholat di mushalla dan Masjid Jami' waliyullah almarhum Imam Lapeo yang juga lebih saya kagumi lagi. Di desa beliau ini lahir manusia langka macam Baharuddin Lopa.
  
Jadi, daripada saya mengurusi persangkaan, lebih baik saya mendekat ke vibrasi keyakinan: karena bagi saya kepribadian dan kemanusiaan tokoh macam Sang Imam dan Sang Ballo, benar-benar mengajarkan kepada saya keyakinan, bukan persangkaan.  

Untuk mengenal lebih dekat Emha Ainun Najib, Klik
DISINI !
 
Sumber: http://toni.rahayu.tripod.com/emha/emha11.htm



The Politics of Kissing Hands

Oleh Emha Ainun Nadjib 

Seorang pembaca harian ini dari Bogor, yang tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang bersahaja hidupnya maupun sangat serius hajinya -- sejak beberapa bulan yang lalu menuntut saya agar menuliskan lewat rubrik ini suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat sangat penting.
 
 
Lebih alhamdulillah lagi karena Rasulullah Muhammad saw, juga sangat concern terhadap soal ini, terbukti lewat banyaknya sabda beliau yang khusus mempermasalahkannya. Juga bagi Allah swt. sendiri -- sepengetahuan saya -- soal ini juga termasuk tema primer dan prinsipil yang harus diurus oleh hamba-hambaNya secara murni dan konsekuen.
  
Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati, telah ia informasikan acuan dasar akhlaq atau moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar seorang bapak atau ibu merunduk di depan anak-anaknya, melainkan anak-anak yang dengan prinsip birrul walidain wajib menghormati bapak-ibu mereka.
 
Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan adegan di mana ia memerintahkan para malaikat agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis sebagai aktor yang disembah sementara Adam mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir, begitu satu malaikat menolak menyembah Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu -- dari 'cahaya' menjadi 'api'. Ilmu bahasa Alquran kemudian juga berkembang mengacu pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.
  
Padahal nur dan nar berasal dari komposisi huruf dan rumpun kosakata yang sama.  
Iblis ogah menyembah Adam karena alasan feodalisme dan alasan penolakan terhadap regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa simbolisasi Qur'aniyahnya bernama takabur (gemedhe, sok lebih hebat), karena Iblis merasa dirinya terbuat dari material atau dzat yang lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan bahwa Adam itu ahsanu taqwin (sebaik-baik ciptaan), karena manusia dianugerahi 'cakrawala (kemungkinan), sementara malaikat atau iblis hanya memiliki 'tembok statis' (kepastian) untuk baik atau kepastian untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli malaikat, sementara manusia yang memperosokkan diri dalam kesesatan akan berderajat lebih rendah dibanding iblis dan setan.  
Sedangkan alasan 'penolakan terhadap sunnah regenerasi' -- maksudnya adalah ketidaksediaan iblis untuk menerima kepemimpinan manusia atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu 'anak kemarin sore' kok mau sok memimpin.
  
Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4 atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi khalifah! Apakah manusia sudah punya pengalaman dan jam kerja kepemimpinan, sehingga berani sombong mencalonkan diri atau tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin?
  
Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia adalah 'pengembaraan ke cakrawala kemungkinan' -- maka ia bisa tiba pada ruang, waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau justru wajib menghormati. Para nabi, rasul, dan auliya' sukses memposisikan diri untuk dihormati oleh para malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk rohaniah itu ke manapun mereka pergi.
  
Sementara banyak manusia lain, misalnya Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja melakukan mengembaraan untuk memposisikan diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat kita layak menghormati iblis -- berkat suksesnya rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita yang hina ini.
  
Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah, suatu tempat berdiri nilai -- yang membuat mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur, menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum ulama tiba pada suatu derajat yang tidak mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan yang 'alim -- sehingga justru mereka dalam tatanan struktural keduniaan justru berderajat untuk selalu sowan kepada umara.
  
Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka sangat rendah, dan tak berkurang kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan seribu retorika dunia modern mengenai partnership antara ulama-umara atau dengan dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.
  
Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan tangannya pada borgol kekuasaan. Membungkukkan punggungnya di hadapan penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan sama sekali untuk mencium punggung tangan sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala terdapat banyak cerita mengenai 'kesombongan' ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena derajat ulama bukanlah ditimbali atau didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan saja akan sangat senang kalau dipanggil menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan selalu mencari jalan, lobi dan channel bagaimana bisa menghadap penguasa.
  
Sowan ulama kepada umara adalah sebuah mainstream bahasa kolaborasi terhadap kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan politik ulama kepada umara. Ulama yang membungkuk dan mencium tangan penguasa adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos zuhud di kalangan ulama. Sowan mencerminkan ketergantungan kaum ulama kepada kekuasaan, keamanan politk praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi -- meskipun sekadar arisan naik haji atau dibikinkan satu unit gedung pesantren.
  
Yang paling salah dari episode-episode sejarah semacam ini adalah Anda-anda yang pusing kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa meraka adalah ulama.  

Mengenal lebih dekat Emha Ainun Najib, Klik
DISINI !

Sumber: http://toni.rahayu.tripod.com/emha/emha05.htm

 

Beragama tapi “Atheis”

Beberapa Jamaah Maiyah Gambang Syafaat bertanya kepada saya, “Mas mengapa orang-orang yang pengetahuan dan praktek beragamanya sudah tinggi namun masih juga korupsi?” Saya cukup kaget mendengar pertanyaan tak terduga itu, apalagi teman-teman juga menunjuk bahwa tersangka koruptor wanita kini juga gemar pakai jilbab.

Teman-teman ini tidak mau menunjuk nama para koruptor yang kini disorot media tersebut, namun mereka bilang bahwa para koruptor itu juga ada yang pernah nyantri (jadi “mantan” santri, batin saya), ada yang pernah jadi ketua kelompok perkumpulan organisasi Islam, mereka juga banyak memiliki nama yang juga sangat “Islami”, rajin umroh, rajin berkhotbah, dahinya hitam tanda lebih lama bersujud, bahkan ketika masih menjadi mahasiswa/ketika nyantri merupakan orang yang paling keras berteriak soal korupsi. Namun ketika kini masuk lingkaran kekuasaan, mereka ternyata juga orang yang paling kuat menginjak amanah rakyat dan rajin mencuri dan merampok kekayaan negara. Fenomena apa ini?


Atas pertanyaan “berat” tersebut, saya juga mengeluh, apa salah dan dosa saya hingga harus menerima pertanyaan seperti ini, apalagi saya juga dituntut mampu memberikan jawaban kepada mereka. Tak tahukah mereka bahwa saya ketika mau diajak menemani para jamaah juga hanya karena “kebetulan” saja? Namun bagaimanapun juga saya harus menjawab.

Jawab saya yang masih awam pengetahuan agamanya hanya sederhana: mereka (para koruptor) baru sebatas menjalankan syariat agama. Mesti dipahami, beragama saja tidak menjamin akan dapat membersihkan jiwa. Syariat agama seperti sholat, puasa, zakat, haji, dst, baru sebatas “metoda” dan bukan tujuan. Sialnya orang sudah merasa beragama dan merasa mendapat tiket surga jika ia sudah melaksanakan “metoda” tersebut. Meski tetangganya kiri kanan kelaparan, ia masih asyik rajin ber-umroh dan mendirikan masjid di berbagai tempat. Tentu bukan berarti menjalankan umroh atau mendirikan masjid tidak penting, namun ia harus sampai kepada tataran adil dan proporsional.

Orang beragama yang masih korup, berarti ia belum tauhid. Tauhid bukan berarti meng-Esa-kan Tuhan, namun sebuah upaya untuk menggerakkan diri menggabung ke Tuhan. Kalau ia belum mampu menggabungkan diri ke Tuhan, maka ketika ia berwudlu — misalnya — maka ia juga belum sadar bahwa wudlu itu mestinya tidak saja berarti membersihkan kotoran badan, namun juga harus sampai membersihkan kotoran jiwa. Dalam sholat, umat muslim (apalagi pejabat negara) sudah berjanji: “Sholatku, hidup matiku, ibadahku, dst… hanya untuk Allah semata”. Ketika membaca Al Fatehah dalam sholat, ia juga selalu memohon: “Ya Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus (menegakkan)”, dan permohonan ini dilakukan setidaknya 17 kali setiap hari. Kalau anda menjamu seorang tamu dan ia meminta segelas air, dan anda memberinya, tapi tak dimunum sampai 17 gelas, bahkan lebih, maka kira-kira bagaimana sikap anda terhadap tamu itu? Anda pasti akan mengumpat, orang ini gila. Meminta minum, sudah diberi 17 gelas masih juga tidak diminum dan (lebih gila lagi) ia masih meminta terus. Lalu kira-kira bagaimana sikap Allah ketika umat-Nya dalam sholat minta ditunjukkan jalan yang lurus tapi tetap saja korupsi (misalnya)?

Bukankah dalam sholat kita juga bersumpah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah? Boleh dan logiskah kita yang mengakui adanya Allah namun menyakiti ciptaan-Nya (memakan harta rakyat, merusak hutan dan tambang, dst)? Bukankah dalam sholat kita juga berjanji akan saling menyelamatkan untuk mengubah “rahmatullah” menjadi “barokah”? Orang juga mesti paham bahwa rahmat Allah akan ditumpahkan kepada siapa saja termasuk para koruptor, namun barokah hanya milik orang yang memiliki “piring dan cangkir” yang bersih. Dengan kata lain, baru mengamalkan satu kalimat seperti: syahadat, assalamualaikum, alhamdulillah, bismillah, dst saja kita tidak mampu, apalagi mengamalkan sebagian besar isi Al-Quran.

Karenanya jika selesai sholat kita korupsi atau menyakiti tetangga, apakah ini berarti kita telah mendirikan sholat? Jawabnya jelas tidak. Dari konstruksi inilah menjadi jelas bahwa mengapa Indonesia yang hampir 96 % penduduknya memeluk Islam, dan bahkan 100 % pejabatnya pernah pergi haji, ternyata juga tetap menjadi negeri paling korup di dunia, dan sebaliknya Swedia dan negara-negara Skandinavia lainnya — meski tidak beragama Islam — namun dicap sebagai negara paling bersih di dunia. Padahal Islam mengajarkan kedisiplinan, kejujuran, kasih sayang, moral, akhlak, dan sebagainya, namun sayang tidak dapat diamalkan oleh umatnya. Kalau baru tingkatan akhlak saja belum sampai, bagaimana kita mau sampai kepada tingkatan taqwa?

Demikian pula ketika seorang pejabat negara yang ketika berhaji melontar jumroh — misalnya. Ia mestinya juga sadar bahwa ia tidak sekadar melempar tugu sebagai benda yang mati, namun harus sadar bahwa ia sedang melempari syetan. Karenanya ketika kembali ke tanah air dan ke kantornya, ia juga tetap harus melempari syetan yang mengajaknya korupsi. Artinya harus mampu menolak segala kebatilan dan kejahatan yang menjauhkan dirinya dari Allah dan Rasulullah. Seorang pejabat yang sangat rajin sholat, tentu harus ingat bahwa ketika sujud, ia merendahkan mukanya, dan justru pantatnya yang lebih tinggi dibanding mukanya. Padahal muka adalah lambang kemartabatan. Namun toh ia masih memuji Allah yang maha tinggi. Tentu jika ia mengamalkan sujud tersebut dalam keseharian, ia akan malu jika martabatnya tercoreng karena korupsi.

Orang beragama yang sudah sampai kepada Allah, pasti akan menggerakkan seluruh ibadah “mahdhoh-nya” untuk menuju kesadaran sejati mengabdi kepada Allah. Setelah sholat misalnya, ia akan menyiapkan segala indranya untuk Allah. Melalui Rasulullah, Allah telah bersabda: “Ketika AKU mencintai seorang hamba, Aku Tuhan adalah telinganya sehingga dia mendengar dengan AKU, aku adalah matanya sehingga ketika melihat dengan AKU, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan AKU, dan AKU adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan AKU”.

Kalau seseorang telah mampu “menggabungkan” diri ke Allah (tauhid), maka ia juga akan dapat memantulkan 99 nama Allah itu dalam perilaku kehidupannya. Seorang pejabat negara yang sudah sampai taraf ini, ia akan lebih mudah mengamalkan sifat Allah, misalnya al-Adl, yakni adil dalam setiap tindakan. Keadilan adalah titik sentral dari “lingkaran asma Allah”. Kalau dia adil, pasti dia juga akan rahman dan rahim, cinta yang meluas sekaligus mendalam. Tidak mungkin tanpa rahman dan rahim ia akan mampu berbuat adil. Apalagi jika sudah sampai al-mukmin, maka ia harus menjadi indikator utama, bahwa kalau ada dia (sang pejabat itu), maka rakyat akan aman hartanya, jiwanya, dan martabatnya.

Kita juga tidak dapat menyalahkan seratus persen para pejabat yang korup. Semua tentu ada akar masalahnya. Kalau pencurian yang dilakukan rakyat kecil barangkali disebabkan kemiskinan, dan ini berarti ada struktur yang tidak seimbang, maka barangkali, para pejabat yang suka mencuri juga adalah “korban” dari sistem dunia yang cenderung tidak adil dan menghisap. Untuk menjadi pejabat (misalnya) harus disponsori kapitalis (asing), karena biaya politik amat mahal. Ini berarti ada semacam dosa-dosa yang struktural sifatnya. Hanya masalahnya, mengapa para pejabat sebelumnya begitu percaya diri mengaku siap memimpin?

Mestinya setiap hari ia akan “lari” kembali “menggabung” ke Allah jika ia terbentur tembok yang mengajak menjauhkan dari-Nya. Ia harus selalu peka mengasah “radar” jiwa dan batinnya, dan ibadah mahdhoh yang saya sebut tadi sebenarnya adalah metode yang ampuh untuk mengasah “radar” kepekaan tersebut. Ia harus rajin ber-iqra, dan rajin memaksa diri kembali kepada jati dirinya, yakni manusia yang fitri.

Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat kebatilan, maka ia belum kembali kepada kefitrian dan belum kembali ke rumah Allah. Islam adalah agama dunia sekaligus akherat, dan ini tidak dapat dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan ke masjid maka dosa kita terhapus. Karena Islam adalah agama dunia-akherat, maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata lain, yang ideal adalah menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan, tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur, presiden, blantik sapi, tukang ojeg, pengamen, dst) untuk diarahkan selalu ke rumah Allah.

Kata Al Ghazali: “Menjadi sufi itu tidak menolak dunia ini, mereka juga tidak memandang bahwa nafsu duniawi harus dimatikan. Mereka hanya ingin mendisiplinkan keinginan-keinginan yang tidak berkesesuaian dengan kehidupan agama dan perintah suara akal. Mereka tidak melemparkan semua hal itu di dunia ini, mereka juga tidak mengikutinya dengan balas dendam. Lebih dari itu, mereka tahu nilai yang benar dan fungsi segala sesuatu di atas bumi. Mereka menyimpan sebanyak apa yang menjadi kebutuhan. Mereka makan sebanyak yang mereka butuhkan untuk tetap sehat (dan ini berarti adil terhadap dirinya sendiri). Mereka memelihara tubuh mereka dan secara simultan membebaskan hati mereka. Tuhan menjadi titik fokus yang kepadanya seluruh hidupnya terarahkan. Tuhan menjadi obyek pujaan dan perenungan mereka.”

Seorang sufi tengah berdoa dengan tenang. Seorang pedagang yang kebetulan juga memegang jabatan menghampirinya dan menawarkan satu tas berisi dinar emas kepada sufi tersebut. “Sebentar”, kata sang sufi. “Apakah uang ini sah? Apakah kamu masih memiliki lagi uang seperti ini di rumahmu?”. Jawab si pedagang “Tentu saja punya karena saya kaya raya!”. Lalu sang sufi bertanya: “Apakah kau masih mau mencari uang dan harta lagi yang lebih banyak? “Tentu saja, saya akan bekerja lebih keras untuk mencari ribuan keping emas lagi”. Mendengar jawaban itu sang sufi berkata: “Kalau begitu, orang kaya tidak boleh menerima uang dari si miskin. Aku kaya dan kamu masih miskin”. Kaget si pedagang mendengar kata sang sufi, lalu ia bertanya: “Bagaimana engkau menyebut aku si miskin sedangkan uangku segunung di rumah?”

Sang sufi menjawab “Saya adalah orang yang kaya karena aku selalu puas terhadap apa yang Tuhan berikan kepadaku. Engkau masih miskin sebab meski Tuhan telah memberikan uang segunung tingginya, engkau tidak puas dan terus mencarinya”.

Dengan kata lain, orang-orang yang beragama tetapi masih korup adalah orang sebenarnya masih percaya adanya Tuhan, namun ia tidak percaya atau setidaknya melupakan akan janji-janji Tuhan, sifat-sifat Tuhan, keagungan Tuhan, dst. Karenanya ketika disumpah di pengadilan (misalnya), bahkan di bawah kitab suci dan menyebut “demi Allah”, dia tetap berbohong, dan pulang dengan kepala tegak, senyum lebar, melambaikan tangan kepada para wartawan yang mewawancarainya ketika pulang bersaksi di pengadilan, dan esoknya berangkat Umroh!


Mengenal lebih dekat Emha Ainun Najib, Klik Disini
========================================================================
Saratri Wilonoyudho

Saratri Wilonoyudho

Aktif Menemani Jamaah Maiyah Gambang Syafaat. Esais. Peneliti dan Dosen Teknik Sipil Universitas Negeri Semarang. Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Ketua Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan Jawa Tengah.

Tulisan ini ditulis di Jamaah Maiyah dengan tag Artikel, Budaya, Doa, Esai, Gambang Syafaat, Islam, Jamaah Maiyah, Maiyah.

Sumber: http://www.caknun.com/2012/beragama-tapi-atheis/#more-175

Cak Nun Bukan Tuhan, Jangan Disembah!

Ada Ponari, Poniman, Ponisri, Ponidi, Ponimen, Poniyem, Ponijah, kuda Poni juga ada, ada-ada aja. Lha mosok pada nggak muat otak sadar kewarasan sampean untuk menyadari; mana hidayah, mana hidayati,? Jan podo gak pokro! Jamane jaman lingsir wengi, banyak kekalutan dijadikan rujukan, bertebaran statement gawen-gawen jadi alat bukti, lha yang jelas-jelas alat bukti malah digembok di gudang gelapnya pemikiran.

Ada lagi yang labih majnun! Mosok Cak Nun dikuyo-kuyo supaya mau magang jadi presiden, opo yo mau? Lha wong CN itu bukan barang wadag, bukan jenis manusia umumnya (dia tipe manusia yang hanya mau disuap sama Novia), gek disuruh-suruh ngurusi urusan yang dia paling alergi dengan wilayah kepentingan bathinnya,? Mesakne! Makanan model apa politik kuwi? Ibarat baju, CN terlalu bersih untuk gluteh sama najisnya politik kepentingan sesaat. Saya yakin, CN sudah sangat puas untuk menjadi dirinya sendiri.

Lho mayarakat kita butuh presiden handal untuk membawa perahu Indonesia keluar dari badai krisis? Halah gombal! Siapa bilang kondisi masyarakat Indonesia tertekan, stress, kalut, kalang-kabut, morat-marit, gak jelas jluntrung arah hidupnya, mlarat, krismon? Nggedabruus! Mana stressnya? wong tiap saat bisa nyruput pahitnya berbagai kebijakan yang ndak perpihak dengan manisnya cangar-cengir tata-batin ‘udhma. Mana mlaratnya? Lha wong sepedah montor keluaran terbaru selalu ditunggangi anak-anak mereka sambil nenteng Hp keluaran gress untuk sekedar ngisi absen kelas dari pada dibilang suka bolos.

Sisi lain, fenomena Ponari, bukan potret kekalutan masyarakat Indonesia terhadap kecanggihan medis. Itu hanya sekedar intermezzo ritme hidup, seperti dehemnya calon mantu di depan mertua. Apa sampean berpikir tiap orang dehem pasti sakit? Pasti TBC? Terlalu naif!!! Jangan! jangan samakan diagnosa sampean terhadap rakyat Indonesia yang hidupnya penuh langgam indah ini dengan masyarakat post modernisme amerika (sekali kena badai caterina langsung pada bunuh-diri).

Tengok! betapa kepicuntnya Gusti Allah sama kerabat kami di Aceh, saking kangennya Gusti dengan mereka sampai-sampai bersuka cita mendirikan terop-terop keagungan saat kedayohan lebih dari 125 ribu kekasihNya di penghujung Desember. Nggak! Ndak! Indonesia tidak membutuhkan superman, batman, catwomen, atau apapun yang digdaya. Cukup diperintah manusia, makmurlah Indonesia.

Masalahnya adalah; yang pada pegang kewenangan sedang melepaskan baju kemanusiaannya, cuma pada pakai kaos oblong yang bolong sana-sini, jadi ya wajarlah kalau sampaean gebyah-uyah nglihat Indonesia compang-camping. Karena susah ditemui pemimpin yang lengkap baju aurat kemanuasiannya. Sehingga sampaen ngasih resep rakyat Indonesia dengan sekedar baju penutup kemaluan bagi semua rakyat Indonesia raya! Ngawur!. Sebab yang sering sampean ajak dialog adalah mereka yang telanjang, yang sering menghadiri jamuan makan adalah para petinggi porno.

Cak Nun dalam contect udo-ora-udo, adalah sekian banyak diantara rakyat jelata diantara kami yang berbaja gamis putih bersih, jangankan telanjang, udel-e sendiri saja dia nggak pernah lihat (saking hati-hatinya sama auratnya mungkin). Saya yakin sepenuhnya kalau-pun Allah memilihnya untuk mampir di kekuasaan istana, pasti ia tetap rakyat jelata seperti sekarang. Cak jangan mau disembah! Rakyat Indonesia jangan mau nyembah Cak Nun! Cukup Gusti Allah yang kita ciumi telapak kaki keperkasaannya. Jangan pernah mau menciumi organ tubuh orang lain! Salah-salah panjenengan kena pasal cabul!

Bilik Nusantara I/7 23 feb 2009 00.25 WIB
=======================================================================
Profil


Biografi :

Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dipanggil Cak Nun, dikenal sebagai budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur. Pria kelahiran 27 Mei 1953 itu juga dikenal sebagai musisi yang banyak melantunkan lagu-lagu dakwah.

Cak Nun, yang merupakan anak keempat dari 15 bersaudara itu, menempuh pendidikan formalnya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), meski hanya dilalui satu semester saja. Namun sebelumnya dia pernah menjalani pendidikan di Pondok Modern Gontor-Ponorogo dan menamatkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.

Antara 1970-1975, Cak Nun, menjalani hidupnya di Malioboro-Yogyakarta. Kemudian banyak menekuni aktivitas seni dan menggelar pementasan. Beberapa pementasan spektakuler yang digelarnya di antaranya, Geger Wong Ngoyak Macan (1989), Patung Kekasih (1989), Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Santri-Santri Khidhir (1990), Lautan Jilbab (1990), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993) dan Perahu Retak (1992).

Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Hingga kini Cak Nun aktif 'berbaur' dengan masyarakat dan melakukan aktivitas berkesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Ia tetap rutin menjadi narasumber pengajian bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan, di berbagai daerah.

Sementara aktivitas bermusiknya dilalui bersama kelompok musik arahannya, Musik Kiai Kanjeng. Kelompok musik ini membawakan lagu-lagu sholawat nabi dan syair-syair religius yang bertema dakwah.

Selain itu suami aktris Novia Kolopaking ini, adalah seorang penulis buku dan menulis beberapa naskah theater. Di antara bukunya yang populer adalah Lautan Jilbab (1989, Puisi), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (puisi, 1990), Cahaya Maha Cahaya (puisi, 1991), Sastra Yang Membebaskan (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Sudrun Gugat (1994), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995), dll.

Sebelum menikah dengan Novia, Cak Nun pernah menikah dan dikaruniai seorang anak yang kini menjadi vokalis grup band Letto, Noe. Sedangkan dari pernikahannya dengan Novia, Cak Nun dikaruniai empat anak.

Sumber: http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/e/emha_ainun_nadjib/

“PANGGILLAH SI-EMPUNYA ANJING”

KH. Imam Zarkasyi
Pidato KH. Imam Zarkasyi --salah satu dari 3 orang (Tri Murti) pendiri Pondok Modern Daarussalam Gontor, Lahir, Gontor 21 Maret 1910 Wafat, Madiun 30 April 1985 -- dihadapan para santri.

K.H. Imam Zarkasyi: “Ketika suatu saat, anak-anakku, akan masuk ke rumah seseorang, tetapi di pintu pagar rumah orang itu, anak-anakku dihalang-halangi oleh seekor anjing, apa yang akan kalian lakukan ? Memukuli anjing itu untuk mengusirnya ? Melemparinya dengan batu ?” Inilah beberapa pertanyaan yang diajukan oleh K.H. Imam Zarkasyi, di sela-sela pidatonya di depan para santri. Para santri memang kemudian menjawab pertanyaan beliau, tentunya dengan suara yang hiruk pikuk, dengan bermacam-macam jawaban sekehendak mereka. Ada yang menjawab : “Ambil kayu, pukuli saja !”, “Lempari anjing itu dengan batu !”, “Pura-pura duduk seakan-akan mau melemparinya, maka anjing itu akan pergi”, “Cari pentungan, pentungi !”. Suasana di BPPM (Balai Pertemuan Pondok Modern) Gontor menjadi gaduh, memang. Dan, K.H. Imam Zarkasyi, tentu tidak bisa mendengar jawaban para santrinya satu persatu. Biasanya beliau hanya bergumam sambil tertawa-tawa kecil : “Hmmm … ya …, bagaimana …? Ya ….”.

Di tengah riuh rendahnya para santri yang berusaha menjawab pertanyaannya, beliau kemudian menyela jawaban mereka seraya berkata : “Baik, baik, baik, dengarkan. Kalau kalian lakukan itu, maka anjing itu pastilah akan mengamuk dan menggigit kalian. Kalian tidak akan mampu mengatasi anjing itu.” Para santripun semakin penasaran menunggu jawaban yang benar dari beliau. Ini adalah dialog. Salah satu cara beliau membuat daya tarik pidato, sehingga para santri merasakan asyik, terlibat secara aktif dalam setiap poin pembicaraan beliau. Inilah tehnik “retorika” ala beliau, yang beliau aplikasikan di depan para santrinya, sebuah metode yang ditemukan oleh seorang filosuf “Socrates” yang lebih dikenal dengan “thariqah tahaawuriyyah”, “thariqatus su-al”, tehnik bertanya, metode dialogis. Metode pendekatan publik seperti ini didasarkan pada prinsip “At-Tajahul as-Suqrathiy” (Berpura-pura bodoh ala Socrates).

Tehnik ini sangatlah bagus dipakai di depan publik pendengar bahkan yang jumlahnya banyak sekalipun, sekedar mencapai tujuan yang terutama antara lain :
a. Meningkatkan keterlibatan public pendengar kepada materi pembicaraan,
b. Menggali potensi pengetahuan objek pendengar sehingga dia akan berusaha untuk melakukan eksplorasi pengetahuannya sebanyak dan seluas mungkin,
c. Mempertahankan konsentrasi mereka kepada subjek materi pembicaraan sehingga mereka akan selalu fokus kepada masalah dan tidak terganggu dengan memikirkan hal-hal lain di luar subjek pembicaraan.

K.H. Imam Zarkasyi sangatlah ahli dalam memakai tehnik-tehnik seperti ini dalam banyak pidato beliau. Tak ayal lagi, beliau memang sosok komplit sebagai seorang retorik ulung, yang seperti sering diungkapkan beliau sendiri : “Jadilah seperti presiden Sukarno, John F. Kennedy, presiden Amerika, atau Anwar Sadat, presiden Mesir.” Retorika beliau, memang, sepertinya mengandung indikasi adanya kolaborasi dari model-model pidato mereka itu.

“Kalau kalian diganggu oleh anjing itu, dan tetap dihalang-halangi oleh anjing itu untuk masuk ke rumah tersebut, janganlah kalian mengusirnya sendiri, tidak akan bisa. Janganlah kalian memukulinya atau melemparinya dengan batu. Justru kalian akan diterkamnya dan digigitnya. Apa yang akan anak-anak lakukan ?” Demikianlah, beliau semakin membuat para santri bertanya-tanya dan penasaran. “Panggillah si-empunya anjing. Bilang kepada si-pemilik anjing itu : Ini anjing kamu mengganggu saya.” “Maka, dengan sangatlah mudah, dengan kode dan ucapan tertentu yang sudah dilatihkannya, anjing itu akan langsung berbalik arah dan masuk ke dalam rumah itu. Anak-anakku akan dengan aman bisa memasuki rumahnya, tanpa diganggu oleh anjing itu.”

Begitulah, dalam dialog ringkas ini, sebenarnya apa yang akan beliau doktrinkan kepada para santrinya adalah tehnik mengatasi masalah dalam hidup, yang tidak dengan mengatasinya sendiri, apalagi dengan sikap arogansi dan menonjolkan kemampuan diri, yang mungkin dirasakan secara optimistis akan dapat mengatasi masalah. Namun ketanyaannya yang sering terjadi, bukan masalah dapat diatasi, tapi justru akan memunculkan masalah-masalah lain yang lebih keruh dan ruwet dari masalah yang ada. Makanya, K.H. Imam Zarkasyi, untuk mengakhiri dialog ini, membawa para santri pada kesimpulan : “Jadi, kalau anak-anakku dimusuhi oleh seseorang, difitnah oleh orang lain, diancam olehnya dan lain sebagainya, tidak perlulah kalian menjawabnya sendiri, tidak perlulah mengatasinya sendiri. Panggillah, siapa pemilik dan penguasa orang tersebut ? Allah ! Panggillah Allah, pasrahkan kepada-Nya. Laporkan kepada Allah, bahwa si-fulan berniat jahat kepadamu. Allah akan dengan sangat mudah mengatasi masalah ini. Biarkan Allah bertindak dengan kehendak dan keamauanNya. Allah Maha Tahu. Allah Maha Adil. Allah Maha Bijaksana.”

Mengatasi sendiri masalah dengan melibatkan diri pada konflik yang ditimbulkan oleh masalah tersebut memang terkadang bisa membawa hasil, namun tak jarang tidak membawa hasil. Dalam kondisi berhasil maupun tidak berhasil sekalipun, yang sering terjadi, masalah yang satu justru akan menimbulkan masalah-masalah lain yang baru. Problem yang satu akan menimbulkan problem lainnya. Memasrahkan diri kepada Allah untuk penyelesaian akhir sebuah masalah dan problema adalah jalan terbaik.

Seorang muslim-mukmin harus mempunyai jiwa “tawakkal”, pemasrahan diri yang penuh kepada Allah dalam segala hal di dalam hidupnya. Mengembalikan semua persoalan kepada Allah dengan memohon dan mengharap petunjukNya dalam setiap detik kehidupannya. Allah pastilah akan menentukan jalan pemecahan masalah apapun dengan cara terbaik. Pemasrahan diri kepada Allah sebenarnya secara internal akan membangun jiwa optimisme dan positivisme yang sangat efektif untuk menimbulkan kemapanan dan kestabilan diri. Seorang yang tinggi rasa tawakkalnya akan terhindar dari ancama rasa takut, hawatir dan kelemahan diri yang berlebihan. Sebaliknya, dia akan selalu dengan penuh keberanian dan keyakinan, akan melakukan apa saja, bahkan akan melakukan sesuatu yang tidak masuk akal (irrasional) sekalipun, hanya dengan bermodalkan rasa pasrah dan tawakkal bahwa Allah akan memberinya jalan pemecahan yang terbaik.
Beberapa ayat alqur’an berikut ini akan memberi kita petunjuk, bagaimana seharusnya seorang hamba Allah itu senantiasa bertawakkal dan memasrahkan urusan dirinya kepada Allah, satu-satunya Dzat yang Maha Kuasa, dalam setiap langkah hidupnya.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا   --الطلاق : 2
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ، إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ   --آل عمران : 159-160
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.

إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ بِحُكْمِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ، فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّكَ عَلَى الْحَقِّ الْمُبِين  -- النمل : 79
Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Sebab itu bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (المائدة : 11)
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal.

وَمَا كَانَ لَنَا أَنْ نَأْتِيَكُمْ بِسُلْطَانٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ، وَمَا لَنَا أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آَذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ   --إبراهيم : 11-12
Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal. Mengapa Kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.

Apa yang kemudian diwariskan oleh K.H. Imam Zarkasyi kepada para santrinya dari pidato beliau di atas sebenarnya adalah sebuah dzikir dan amalan. Beliau meminta para santri untuk membiasakan diri membaca dzikir itu pada setiap selesai shalat, beberapa kali bahkan sampai 100 kali atau lebih, lebih-lebih ketika datang cobaan, fitnah, intimidasi, ancaman, permusuhan dan lain-lain dari beberapa pihak. Dzikir itu adalah :

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلُ، نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ، وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِىِّ الْعَظِيْمِ.
Cukuplah bagi kami Allah, Dia sebaik-baik dzat yang dapat kami mewakilkan diri, Dia sebaik-baik tempat kami memasrahkan diri dan sebaik-baik dzat penolong kami. Tiada daya dan kekuatan hanyalah pada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

Wallahu'alam.

Oleh: Ust. Saifurrahman Nawawi
=======================================================================
Beberapa Nasehat KH. Imam Zarkasyi:
A. Jangan kecil hati menghadapi “masa depan” (khususnya dalam hal usaha mencari “sandang – pangan” atau “nafqah hidup”.)
Sumber – sumber rizqi masih amat banyak sekali , yang banyak itu mungkin selama ini sudah diketahui, tetapi tidak diperhatikan.
Maka terlebih dahulu kami ingatkan :
Jangan fanatik kepada salah satu pekerjaan, atau salah satu jalan mencari rizqi yang halal itu, sekali lagi jangan fanatic.
Kefanatikan kepada sesuatu itulah yang sering menutup mata, sehingga tidak mau memperhatikan kepada yang lain. Padahal selain yang difanatiki itu, masih amat banyak, dan lebih baik dan lebih cepat.
Fanatik pasar umpamanya, juga tidak baik. Karena fanatik itu, mata tidak mau melihat pada yang lain, jika yang fanatiki itu terhalang, atau gagal, maka menjadi kecewa. Kecewanya karena sudah fanatik menjadi terlalu. Terlalu kecewa bisa merusak badan, bisa merusak pikiran, salah bisa menjadi gila. Begitulah pula terhadap pada sesuatu pekerjaan.
Sekiranya ada yang fanatik menjadi pegawai negeri, maka sekira tidak berhasil, atau berhasilnya kecil, dia merasa dunianya gelap atau sempit.
Ini suatu perasaan dan pendapat yang sangat salah.
Jadi andaikata menemui rintangan atau menemui jalan buntu sama sekali, jangan bingung, dan jangan buta. Bukalah matamu, pandanglah dunia ini masih luas.

B. Jangan kecil hati menghadapi kehidupan

Marilah kita hadapi kehidupan ini dengan segala kesadaran dan keberanian. Jadi namanya berani hidup.
Keberanian ini bukan berarti keberanian yang ngawur (asal berani), akan tetapi dengan keberanian yang sudah diperhitungkan.
Supaya selalu diingat bahwa sumber – sumber rizqi, kunci – kunci usaha masih amat banyak. Sebagian kecil akan kamu lihat dalam rihlah. Meskipun nanti akan kamu lihat beratus – ratus perusahaan tetapi itu sebagian kecil.
Dengan usaha – usaha itu orang bisa berhasil untuk hidup bahkan bisa sampai menjadi kaya raya.
Mengapa takut hidup ?
Mengapa kecil hati ?
Ingat modalmu cukup :
a. Tubuhmu masih utuh, tidak kurang.
b. Otakmu masih waras, bahkan sudah berilmu.
c. Pribadimu dan kehormatan itu masih utuh, belum tercela.
d. Sifat kejujuranmu masih utuh pula.
Mengapa takut hidup ?
Sekarang yang kamu bina adalah mentalmu. Mental yang mau bekerja, mental yang tidak cari enak saja.
Mental kejujuran, jadilah “WIRA” dimana saja.

C. Mencari Bahagia
Yang biasa pada umunya yang dicari ada ialah kebahagiaan. Dalam hal ini lebih dahulu kita harus mengerti bahwa kebahagiaan di dunia ada dua :
1. Kebahagiaan lahir / kemakmuran lahir.
2. kebahagiaan batin / Kemakmuran batin.
Untuk mencapai kebahagiaan lahit memerlukan kemakmuran atau kebendaan. Kemakmuran atau kekayaan harta benda, tidak mutlak dapat menjadi kebahagiaan yang sebenarnya.
Orang tidak merasa aman dan tenteram, umpamanya yang selalu terasa terancam atau dikejar – kejar musuh, yang tampak dan yang tidak tampak juga yang tidak putus dirundung kemalangan, berupa penyakit fisik atau penyakit rohani dan seterusnya, tidak akan dapat merasakan kebahagiaan yang sebenarnya.
Adapun modal untuk mencari kemakmuran batin ialah Iman. Didunia ini memang kenyataannnya ada orang kaya yang hartanya banyak dan ada orang miskin atau tidak kaya, hartanya sedikit.
Seorang yang berbudi atau yang mu’min, tidak iri atau dengki, tetapi berkata pada dirinya sendiri :
“Biarkan kami miskin harta, asal jangan miskin jasa”
“Biar kami miskin benda lahiriyah, asal jangan miskin budi, jasa atau amal”.
Seorang mu’min akan merasa bahagia, apabila ia beramal dan merasa bahagia kalau telah dapat untuk kebaikan masyarakat.
Seorang mu’min selalu merasa bersyukur karena menyadari karunia Allah yang amat banyak, atau dirasakan sangat banyak. Jadi setiap hari haruslah bersyukur dan gembira.

D. Jangan Mengandalkan Orang Tua
Kalau ada orang yang kaya, belum tentu anaknya akan menjadi kaya juga. Kita bisa melihat kenyataan yang sebaliknya didalam masyarakat. Orang tua bisa kaya karena mental dan ilmunya. Apabila mental dan ilmunya tidak diwariskan bagaimana sang anak akan menjadi kaya.
Barang siapa yang menjadi anaknya orang kaya jangan sembrono,”ojo ndumeh” mentang – mentang anaknya seorang kaya raya akan menjadi kaya juga tidak !! sebaliknya anak orang miskin, dengan mental yang kuat dan meningkat dan dengan pendidikan kesederhanaannya tidak mustahil akan menjadi orang yang kaya raya.

E. Harapan Kami 
Adapun harapan kami, setingkat lebih dari itu semuanya. Anak – anakku ini, kami timang – timang kami harap – harapkan dalam bahasa jawanya kami golo–golokan supaya menjadi pemuda yang diandalkan sebagai pemuda pejuang yang mempunyai rasa tanggung jawab atas kesejahteraan umat dan kemajuan agama yang tidak untuk diri sendiri.

Dalam kehidupan akan kita temui hama – hama perjuangan, yang lazim berbentuk harta, wanita, tahta atau pangkat. Ini seperti wereng manusia.

Semoga anak – anakku dapat berjuang benar – benar, dapat diandalkan dan tahan wereng.

Wassalam


Selasa, 20 Maret 2012

Cinta itu Antidot (Semua penyakit ada obatnya dan Cinta adalah obat dari segalanya)


Pagi ini saya merenung. Di tengah gundukan berita-berinta yang nyaris berbau yang menumpuk, ternyata: kita telah dengan tidak sadar sedang dicetak. Dicetak oleh tangan-tangan kita sendiri menjadi sosok-sosok yang menderita. Kita menderita dan mengindap penyakit penyakit Elektismia. Rupa penyakit yang tidak cukup populer. Saya saya sendiri menemukannya secara kebetulan. Dari sebuah buku lama yang kusam tapi pernah menggelegar dan mengguncang. Penyakit ini diketemukan oleh Daniel Goldman, tokoh yang gigih mempromosikan gagasan koleganya yang lebih senior: Howard Gardner. Tokoh terakhir ini kemudian dikenal lewat temuannya tentang EQ.

Elektismia adalah rupa sikap apatisme dan takacuh terhadap situasi dan nasib orang lain. Dengan ungkapan lain: ia adalah penyakit yang mengisolir dan menangkal rasa belas kasih dan empati kepada orang lain. Pada tingkatan yang lebih lanjut, bisa jadi Elektismia itu tidak lain adalah Egoisme. Egoisme yang mendorongnya kepada kesombonan diri dan benar sendiri.

Cinta adalah semangat berbagi. Karena itu Cinta lebih dipahami sebagai sikap memberi dan menerima, toleransi dan tidak menampik sesuatu yang berbeda atau yang lain ( kelompok). Cinta tumbuh dari meraih energi dari sikap-sikap seperti itu. Karena itu Cinta menjadi lawan dari Egoisme.

Tidak ada Cinta ketika Egoisme masih bersinggasana dan berkuasa sendiri. Ungkapan di kalangan para Pencinta Tuhan: Die for Self atau membunuh Egonya sendiri demi Cinta-nya ( Nya ), adalah menakjubkan!

Bila kini agama mulai disebarkan dengan cara-cara menyebar kebencian di masjid-masjid dan bahkan di mimbar-mimbar yang suci: dimana Titah-Nya yang agung dibacakan dan sabda nabi-Nya yang agung diulang-ulang: maka agama telah kehilangan jiwanya. Bukankah Agama dituturunkan sebagai wujud Cinta-Nya yang Bukan Cinta Biasa kepada manusia.

Ribuan tahun manusia meninggali bumi, menatap matahari dan memandangi langit kelam dan bintang gemintang. Manusia terus dihujam keraguan: Siapakah aku ini? Dan Siapakah Dia Yang Mencipta?

Logika tak lebih rupa ladang-ladang yang kita punyai. Kita bisa mengubah ladang2 itu menjadi kebun kacang, kebun jagung atau kebun gandum. Lalu kita menamainya ladang itu seperti yang kita tanami.

Karena itu Logika pun dibangun di atas pijakan yang rapuh dan goyah. Hanya Cinta yang bisa merasakan Kedahsyatan dan Kemahahebatan-Nya bahwa Dialah Sang Pemilik Bukan Cinta Biasa. Dan, Dialah Sumber Hidup, yang sehat dan bahagia bila kita mau mengikuti jalan-jalan-Nya.

Jalan-Jalan Tuhan adalah jalan-jalan cinta yang bersih dari benci dan keji. Jalan-jalan yang bila kita menapakinya hati menjadi tentram dan damai.

Dan itulah kekuatan Cinta sebagai Antidot penyakit jiwa yang menggeragoti dan menggerus, membinasakan sedikit demi sedikit dengan pasti.

Salam untuk Readers of BCB

Oleh:
Tasirun Sulaiman

Senin, 19 Maret 2012

Belajar Ditolak Cinta Dari Sayyid Quthb

Dialah Ulama dan Mujahid yang berani mendobrak hegemoni Sosialisme Mesir. Tumbuh dalam rimba kejahillayahan modern dan bergeming untuk turut andil melestarikannya. Walau kesenangan itu sudah berada di depan matanya. Walaupun tahta sudah siap menampuk tubuhnya. Kursi-kursi dunia itu disediakan untuk Sayyid Quthb asal ia bersedia mengakui bahwa kedaulatan Islam belumlah final. Bahwa sistem buatan manusia adalah jalan suci. Parlementari merupakan paras molek membangun kejayaan hidup. Namun apa kata Sayyid? Ia menolaknya. Baginya, rasa sosialisme, nasionalisme, bahkan demokrasi lebih pahit dari kehinaan dunia: sumir!

Sayyid Quthb menolak menafsirkan kata tauhid hanya sekedar pengakuan lisan bahwa Allah adalah Tuhan. Doktor Sastra dari Darul Ulum ini mempelajari Qur’an lebih mendalam, dan ia menyimpulkan bahwa makna tauhid lebih dari itu.

Baginya tauhid sudah satu paket dengan keharusan menjalankan hukum-hukum Allah (baca: tauhid hakimiyyah) dan menolak bergabung dalam barisan oposisi tauhid. Memaknai tauhid dalam dua jurang antara al-haqq dan al-bathil yang coba disatukan adalah barisan absurditas yang sama sekali tidak akan mampu membawa Islam jaya. Meskipun itu demi “maslahat dakwah”. Sekalipun itu memakai “baju” Islam. Sayyid sudah tahu ukuran “baju” apa yang pas baginya, tidak lain adalah pengakuan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan kewajiban untuk mengindahkan pencampuran antara hukum Allah dengan hukum positif (baca: hukum buatan manusia). Untuk menyadarkan saudara-saudaranya, sampai-sampai ia harus menulis satu bab penuh dalam buku Dirosah Islamiyah-nya, “Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali!”

Ya Sayyid Quthb, dia bukanlah ikhwan pada umumnya. Ia bukan juga ikhwan yang mudah disetir. Membolak-balik tafsir Qur’an demi tujuan dunia. Duduk satu meja dengan musuh-musuh tuhannya, dan keluar dengan titah bahwa Islam boleh disisipi dengan isme lainnya. Itu sama saja memalukan Umat Nabi Muhammad saw. Baginya, pengalaman meneliti kebobrokan sistem pendidikan dan moral di Amerika sudah memberinya kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan. Bagi Quthb, produk Undang-undang buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Parlemen adalah ruangan tergelap di dunia, dimana ketika manusia memasukinya, ia akan tersesat dan sulit untuk mencari pintu keluar.

Mesir menjadi murka. Negara dengan cap Musolini rasa Arabia itu, meminta hidup Sayyid segera diakhiri. Apapun resikonya. Sayyid adalah bedebah bagi tirani sekularisme, namun angin semilir dalam bumbu jihadi yang menyejukkan dan mustahil berganti. “Selamat datang kematian di jalan Allah, selamat datang kehidupan abadi” ucap Sayyid dalam detik-detik menjelang syahidnya di tiang gantungan.

Perjalanan Cinta Sayyid Quthb: Jatuh Bangun Menjemput Kasih Sayang Allah

Namun dalam deretan kisah heroik itu Sayyid tumbuh dalam bingkai manusia natural. Pemuda yang memiliki niat untuk menikah memang banyak, tapi menikah dengan cara Islam dan memulai prosesnya lewat jalur tunggal berupa keikhlasan sebagai manifestasi cinta kepada Allah adalah minimum. Cinta menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupannya: kesedihan dan ketakwaan. Tapi Sayyid Quthb tetap tegar, sekalipun dirinya mengalami dua kali jatuh cinta dan dua kali patah hati.

Seperti dikutip dari berbagai penulis yang mengambil kisah kehidupan Cinta Sayyid Quthb pada sebuah tesis mengenai dirinya, kisah cinta Quthb berjalan pertama kali saat seorang gadis datang mengetuk pintu hatinya. Dialah gadis pertama yang membangkitkan kerinduan Sayyid untuk menautkan cintanya. Embun cinta itu datang dari desa kelahiran. Namun tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung. Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan kepergian embun cinta pertama yang pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah melambungkan asa dan melejitkan potensi kebaikannya. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya menusuk ulu hati hingga menganga.

Embun cinta kedua lahir, menyejukkan dan membangkitkan kembali kerinduaan jiwa Sayyid untuk menautkan cintanya karena kecintaan kepada Allah. Gadis kedua ini berasal dari Kairo. Mengenai gadis ini sang Sayyid pernah menggambarkan bahwa paras gadis ini tidaklah buruk namun gagal untuk dibilang cantik. Nampaknya ada pesona lain yang memikat Sayyid sehingga merindukannya. Mungkin tatapan menyejukkan yang dibawa embun cinta ini. Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak bermurah hati dengan cinta sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan disambar petir, pasalnya gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan meruntuhkan harapan sang Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya, perawan juga hatinya.

Sayyid akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis Kairo tersebut, pergi membawa raganya jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid boleh saja menjauh, namun jiwanya ternyata tak mampu melepaskan pesona sang embun cinta. Selanjutnya apa yang terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan jiwa yang selalu dibawa atas nama cinta. Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih menyiksa Sayyid dibanding goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya Sayyid mengorbankan idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali dengan gadis pembawa embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah yang menolak cinta sang Sayyid.

Perih bukan main gejolak rasa yang dialami Sayyid. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan yang dirasakan Sayyid tersebut. Bahkan tercipta roman-roman yang merupakan bayang-bayang romansa cinta tersebut. Inilah peristiwa kedua yang membuat luka batin sang Sayyid. Saat harapannya menggantungkan cinta terputus oleh kekuasaan takdir. Menorehkan luka yang menganga menabur kepedihan.

Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzon terhadap takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir “Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”. Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, maka beliau menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya, yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah. Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan seluruh cinta dan mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput takdirnya yang lain.

Yang luar biasa adalah, Asy-Syahid sadar dirinya berada dalam realitas. Bukan dalam dunia ideal yang melulu posesif, indah dan tanpa aral. Kalau cinta tak mau menerimanya, biarlah ia mencari energi lain yang lebih hebat dari cinta.
Ternyata energi itu tidak jauh-jauh dari kehidupannya, Allah lah Energi yang kemudian membawanya ke penjara selama 15 tahun. Dan di penjara itulah beliau dengan gemilang berhasil menulis tafsir Fi Dzhilalil Qur’an dengan cinta. Sebelum akhirnya harus meregang nyawa di tiang gantungan. Sendiri! Dengan cinta yang sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya, hanya kepada Rabbnya.

Bahkan dalam novel Duri Dalam Jiwa yang ditulis Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb bergabung dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dan menyajikan konflik yang pekat dengan empati, melibatkan ilmu jiwa dan penghayatan mendalam. Sulit untuk berhenti sejenak membacanya karena takut kehilangan feel yang telah didapat. Dalam novel ini kita diajak untuk merasai lika-liku perasaan manusia dalam mengolah suatu rasa yang disebut cinta, cinta antar manusia. Kita diajak menyelami dalamnya cinta dan kebodohan sekaligus tarikan magnetisnya. Kita diajar untuk menjadi pecinta sejati yang tidak takut untuk berproses mengubah rasa tidak suka menjadi rasa suka, benci menjadi cinta.

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2] : 216)

Begitu dalam dan lembutnya Sayyid Quthb dalam bermain kata, pembaca mungkin memerlukan pikiran jernih untuk menangkap pangkal konflik. Mengutip dari pengantar dalam buku ini, di dalam novel ini, Sayyid Quthb secara halus dan lembut mengisyaratkan betapa pentingnya arti keperawanan seorang gadis, karena begitu hal ini diragukan maka persoalan pelik pun akan muncul. Ada perasaan terhina dan luka hati bagai tertusuk duri dan dapat menjadi beban sepanjang hidup.

Membaca buku ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Begitu banyak hikmah implisit dalam tiap lika-liku perasaan para tokoh yang dihadirkan: cinta, kejujuran, ketulusan, pengorbanan, kepasrahan, dan keberanian.

Problematika Cinta: Sebuah Refleksi

Kita mungkin pernah sama-sama merasakan layaknya seperti Sayyid Quthb bahwa ada suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa kita disinggahi oleh cinta. Bahkan kita juga sempat mencicipi bagaimana segala kebahagiaan hidup ditentukan dari kesuksesan cinta dalam balutan standar manusia. Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidup kita hancur tanpa keberhasilan menaklukan cinta”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika mempunyai kekasih, belajar rasanya akan lebih termotivasi”. Malah bisa jadi ada sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah mengkhianati cinta kita.Ikhwatifillah, tanpa disadari ternyata kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang lemah, individu yang justru tak tahu masa depan itu sendiri!

Ketika kita mulai menjajakan cinta dan menggantungkan harapan cinta itu kepada manusia, yakinlah ikhwah, yang ada hanyalah kekecewaan, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas. Ia tidak bisa memastikan, lebih-lebih menjadi penentu takdir kita. Padahal manusia tetaplah manusia dengan segala kelemahannya. Adagium, sepandai-padaninya tupai melompat akhirnya jatuh juga bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, karena pada kenyataannya, Allah telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium itu hadir. “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa [4] : 28).

“Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum [30] : 54).

Bahkan pada momentum ayat yang lainnya, Allah dengan terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,

Tidak berakhir di situ, kemudian Allahpun menjelaskan lagi perihal makhluk hidup yang akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.

Ada banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta.Qolbu adalah wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah saw pernah mengeluarkan hadisnya yang menyentuh,

“Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.”

Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas karena kita telah menggantungkah harapan kepada selain Allah. Merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua dalam mengatasi permasalahan kita.

Salah Satu Kunci Kenyamanan Hidup Dimulai Dari Bagaimana Kita Mampu Membangun Suasana Hati

Saudaraku, belajar dari kisah cinta Sayyid Quthb, percayalah bahwa hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, dikarenakan kita sudah meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang sebenarnya tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur, kesemua itu malah jauh dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan hati untuk bagaimana kita selalu berusaha dekat dengan Allah.

Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang tauhid, bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah, syahwat yang menyelisihi perintah, kelalaian yang menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yang memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.

Saudaraku, salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari bagaimana kita hanya bergantung kepada Allah dan menjadi Allah sebagai satu-satunya zat yang mampu membuat kita bangkit setelah terjatuh.

Sekarang pertanyaannya apakah kita mau melepaskan segala ukuran ideal kehidupan kita, kesombongan kita atas pilihan yang jauh dari genggaman kesanggupan kita. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan SinggasanaNya. Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menentramkan. Ia pun mampu merubah paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, dan sebagainya sama sepertia yang Sayyid Quthb rasakan. Jika kita masih bergeming, yakinlah sebenarnya itu kembali kepada diri kita pribadi.

“Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat [79] : 34-42)

***

Oleh:  Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
Dikutip dari note facebook penulis

sumber:
shoutussalam.com
http://muslimahzone.com/kisah/belajar-ditolak-cinta-dari-sayyid-quthb.html

Selasa, 06 Maret 2012

Tolong Menolong

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh>

Sahabatku,, begitu banyak hadist yang menerangkan bahwa memang benar pertolongan itu datang nya dari Allah....namun tentunya dengan jalan.

Apakah kita akan mengabaikan kesempatan berbuat amal kebaikan dan menghilangkan kesempatan menjadi hamba yang dicintai Allah karena keengganan kita membantu saudara semuslim yang sedang kesulitan dan meminta pertolongan dari kita?
Apa yang membuat kita menjadi enggan memberikan pertolongan, bukankah semua, segala sesuatu yang kita miliki sebenarnya dari Allah, lalu mengapa saat Allah mengirimkan hamba-Nya yang kesulitan datang pada kita, kita berpaling dan tidak menghiraukan? 

Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).
Apabila kita mengetahui bahwa sebenarnya kita mampu berbuat sesuatu untuk menolong kesulitan orang lain, maka segeralah lakukan, segeralah beri pertolongan. Terlebih lagi bila orang itu telah memintanya kepada kita. Karena pertolongan yang kita berikan, akan sangat berarti bagi orang yang sedang kesulitan. Cobalah bayangkan, bagaimana rasanya apabila kita berada di posisi orang yang meminta pertolongan pada kita, Dan sungguh Allah SWT sangat mencintai orang yang mau memberikan kebahagiaan kepada orang lain dan menghapuskan kesulitan orang lain.

Berikut beberapa hadits yang menerangkan tentang keutamaan menolong dan meringankan beban orang lain:

Pada suatu hari Rasululah SAW ditanya oleh sahabat beliau : “Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah dan apakah perbuatan yang paling dicintai oleh Allah ? Rasulullah SAW menjawab : “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah manusia yang paling banyak bermanfaat dan berguna bagi manusia yang lain; sedangkan perbuatan yang paling dicintai Allah adalah memberikan kegembiraan kepada orang lain atau menghapuskan kesusahan orang lain, atau melunasi hutang orang yang tidak mampu untuk membayarnya, atau memberi makan kepada mereka yang sedang kelaparan dan jika seseorang itu berjalan untuk menolong orang yang sedang kesusahan itu lebih aku sukai daripada beri’tikaf di masjidku ini selama satu bulan ” ( Hadits riwayat Thabrani ).

Setiap gerakan pertolongan merupakan nilai pahala ” Siapa yang menolong saudaranya yang lain maka Allah akan menuliskan baginya tujuh kebaikan bagi setiap langkah yang dilakukannya ” (HR. Thabrani ).
Memberikan bantuan juga dapat menolak bala, sebagaimana dinyatakan ”Sedekah itu dapat menolak tujuh puluh pintu bala ” (HR Thabrani ).

Pertolongan Allah kepada seseorang juga tergantung dengan pertolongan yang dilakukannya antar manusia. “Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba-Nya selama hamba itu menolong orang yang lain“. (HR Muslim, Abu daud dan Tirmidzi)
Lebih hebat lagi, membantu orang yang susah lebih baik daripada ibadah umrah, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini:

”Siapa yang berjalan menolong orang yang susah maka Allah akan menurunkan baginya tujuh puluh lima ribu malaikat yang selalu mendoakannya dan dia akan tetap berada dalam rahmat Allah selama dia menolong orang tersebut dan jika telah selesai melakukan pertolongan tersebut, maka Allah akan tuliskan baginya pahala haji dan umrah dan sesiapa yang mengunjungi orang yang sakit maka Allah akan melindunginya dengan tujuh puluh lima ribu malaikat dan tidaklah dia mengangkat kakinya melainkan akan dituliskan Allah baginya satu kebaikan, dan tidaklah dia meletakkan tapak kakinya untuk berjalan melainkan Allah angkatkan daripadanya, Allah akan ampunkan baginya satu kesalahan dan tinggikan kedudukannya satu derajat sampai dia duduk disamping orang sakit, dan dia akan tetap mendapat rahmat sampai dia kembali ke rumahnya ” (HR Thabrani ).

Memberikan bantuan juga dapat memadamkan kemarahan Tuhan, perhatikan hadits berikut ini:

“Sesungguhnya sedekah yang sembunyi-sembunyi akan memadamkan kemarahan Allah, dan setiap perbuatan baik akan mencegah keburukan dan silaturrahmi itu akan menambah umur dan menghilangkan kefaqiran dan itu lebih baik daripada membaca laa haula wa laa quwwata illaa billah padahal dengan membacanya saja akan mendapat perbendaharaan surga dan dengan berbuat baik itu juga dapat menyembuhkan penyakit dan menghilangkan kegelisahan ” (HR. Thabrani ).

Menolong orang lain juga dapat mengampuni dosa.
“Siapa yang berjalan untuk membantu saudaranya sesama muslim maka Allah akan menuliskan baginya suatu kebaikan dari tiap langkah kakinya sampai dia pulang dari menolong orang tersebut. Jika dia telah selesai dari menolong saudaranya tersebut, maka dia telah keluar dari segala dosa-dosanya bagaikan dia dilahirkan oleh ibunya, dan jika dia ditimpa kecelakaan (akibat menolong orang tersebut) maka dia akan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab “ (HR. Abu Ya’la ).

Allah SWT akan memberikan pelayanan surga kepada orang yang menolong meringankan beban hidup orang lain. Perhatikan hadits berikut ini:
”Sesiapa yang bersikap ramah kepada orang lain dan meringankan beban hidupnya baik sedikit maupun banyak maka kewajiban bagi Allah untuk memberikan kepadanya pelayanan dengan pelayanan surga ” (HR Thabrani ).

Orang yang menolong orang yang sakit laksana berada dalam taman surga, seperti dinyatakan oleh hadits:

“Siapa yg mengunjungi seseorang yang lain maka dia mendapatkan rahmat Allah dan siapa yang mengunjungi orang yang sakit maka dia seperti berada di dalam taman-taman (raudhah) surga” (HR Thabrani ).
Membantu orang lain juga merupakan ibadah shalat dan sedekah, sebagaimana dalam hadtis disebutkan :” Amar Makruf dan mencegah kemungkaran yang kamu lakukan adalah shalat. Menolong orang yang susah juga merupakan shalat. Perbuatan menyingkirkan sampah dari jalan juga shalat dan setiap langkah yang engkau lakukan menuju tempat shalat juga merupakan shalat “ (HR. Ibnu Khuzaimah ).

Setelah kita mengetahui keutamaan membantu dan meringankan kesulitan orang lain, masih enggankah kita memberikan bantuan dan meringankan kesulitan orang lain? Terlebih lagi bila orang yang kesulitan, telah meminta langsung pertolongan kepada kita, pantaskah kita sebagai orang beriman mengabaikan permintaan pertolongan yang dimohonkan? Padahal kita mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk membantunya.

Kita harus ingat, bahwa kita ini berada dalam pengawasan Allah, jiwa, harta dan segala sesuatu yang kita miliki berada dalam genggaman-Nya. Sebaiknya kita selalu mengusahakan agar dalam hidup, kita tidak mengundang murka dan azab Allah. Bila ada orang datang memohonkan suatu bantuan, mungkin saja Allah SWT sedang menguji kita melalui orang tersebut.
Perhatikan sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini: ”Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman di hari kiamat,” Wahai anak Adam, dulu Aku sakit tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.” Manusia bertanya,” Tuhanku, bagaimana kami dapat menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Tuhan menjawab,” Tidak tahukah engkau bahwa si fulan sakit, tetapi engkau tidak menjenguknya? Tidak tahukah engkau jika engkau menjenguknya, engkau pasti dapati Aku ada di sisinya.” Tuhan berfirman lagi,” Wahai anak Adam, dulu Aku minta makan kepada engkau tetapi engkau tidak memberi Aku makan.” Manusia bertanya,” Tuhanku, bagaimanakah aku dapat memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Tuhan menjawab,” Tidak tahukah engkau bahwa hamba-Ku si fulan meminta makan kepadamu dan engkau tidak memberinya makan? Tidak tahukah engkau bahwa jika engkau memberinya makan, engkau pasti dapati ganjarannya ada di sisi-Ku.” Tuhan befirman,” Wahai anak Adam, dulu Aku minta minum kepadamu dan engkau tidak memberi-Ku minum.” Manusia bertanya,” Tuhanku, bagaimanakah aku dapat memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan alam semesta?” Tuhan berfirman,” Hamba-Ku fulan meminta minum padamu dan engkau tidak memberinya minum. Apakah engkau tidak tahu bahwa seandainya engkau berikan ia minum engkau pasti dapati ganjarannya ada di sisi-Ku.” ( HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)

Perhatikan hadits Rasulullah SAW diatas dengan seksama, Allah SWT bersama orang-orang yang menderita, kepiluan hati mereka adalah kepiluan Tuhan. Rintihan mereka pada manusia adalah suara Tuhan. Tangan mereka yang menengadah adalah tangan Tuhan. Ketika seseorang memberikan derma kepada fakir miskin atau seseorang memberikan bantuan atas kesulitan orang lain, sebelum sedekah dan sebelum pertolongan tersebut sampai di tangan orang yang membutuhkan, tangan Tuhanlah yang pertama-tama menerimanya.

Namun kadang ada dari kita yang masih lebih ”mempercayai apa yang ada ditangan kita, ketimbang apa yang ada ditangan Allah.” Hingga kadang seseorang merasa sangat sulit sekali untuk bisa memberikan suatu bantuan pertolongan betapapun sebenarnya ia mampu. Ini mungkin karena orang itu lebih memikirkan kedepannya nanti bagaimana, kalau ia memberikan pertolongan. Ini yang disebut dengan ”lebih mempercayai apa yang ada ditangannya sendiri, ketimbang apa yang ada ditangan Allah” padahal seluruh hidupnya, jiwa raganya, ada ditangan Allah. Tapi dia masih lebih mempercayai apa yang ada ditangannya, ketimbang apa yang ada ditangan Allah. Orang ini masih lebih mempercayai akal pikiran /logika nya. Padahal Allah SWT lah Yang Maha Menggenggam segala sesuatu, Allah SWT lah Yang Maha Lebih mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi nantinya, seperti, apa yang akan terjadi bila ia memberikan pertolongan dan apa yang akan terjadi bila ia tidak memberikan pertolongan, yang sebenarnya ia mampu untuk menolong. Allah SWT Maha Memudahkan, Maha Menyulitkan, Maha Menyaksikan, Maha Mengatur segalanya. Maha Meninggikan, Maha merendahkan. Allah SWT lah yang Maha Kuasa Memberikan apa saja kepada siapapun yang dikendaki-Nya dan menarik atau mengambil apa saja, dari siapapun yang dikendaki-Nya. Kekuasaan Allah SWT tidak terbatas dan tidak terhingga.

Karena itu, bila ada seseorang yang datang atau menghubungi kita meminta suatu pertolongan dan kita mengetahui bahwa kita mampu memberikan pertolongan yang diminta, maka segeralah berikan pertolongan. Sebaiknya kita menjadi seorang hamba yang benar-benar bisa ”mempercayai apa yang ada ditangan Allah, ketimbang apa yang ada ditangan kita sendiri”. Dan sebaiknya kita benar-benar bisa menjadi hamba Allah yang lebih mempercayai Ilmu Pengetahuan Allah yang Maha Meliputi segala sesuatu, ketimbang akal pikiran/logika kita yang sangat terbatas, agar kita tidak ragu terhadap segala kemungkinan yang terjadi bila kita memberikan bantuan pertolongan terhadap seseorang.

Sadarilah segera, bahwa semua, seluruh hidup kita ini, berada dalam genggaman-Nya, Allah yang Menggenggam segala sesuatu, Mengatur segala sesuatu. Jangan sampai akal pikiran kita yang terbatas serta kecemasan kita memikirkan ”bagaimana atau apa yang akan terjadi pada kita, kedepannya nanti bila kita memberikan pertolongan” membuat kita menjadi hamba Allah yang tidak perduli dan enggan memberikan pertolongan walau sebenarnya kita mampu. Janganlah mengundang kesulitan dalam hidup kita, jangan mempersempit urusan kita, dan jangan mengundang azab dan murka Allah. Tapi undanglah kemudahan, kelapangan urusan, cinta, kasih sayang dan pertolongan dari Allah, dengan memberikan bantuan, pertolongan kepada orang yang membutuhkannya.

Wallahua'lam....

Wassalamu a'laykum,warahmatullah,wabarakatuh,,