Kamis, 25 Agustus 2011

Puasa, Bikin Kita Lebih Peduli!


 
DI dunia ini,  pernah hadir seorang  yang bernama Karl Marx. 
Lelaki yang hidup seabad lalu itu pernah menyodorkan satu teori, bahwa segala persoalan di dunia ini berpusat pada perut. Semua orang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya hingga tidak kelaparan. Itulah yang menyebabkan terjadinya persaingan, perebutan, bahkan pertumpahan darah sepanjang sejarah. Kesimpulannya, perang dan damai ditentukan oleh perut. 

Lima puluh tahun kemudian muncul seorang lagi dengan membawa teori baru. Pria ini bernama Sigmund Freud. 
Dalam teorinya ia membantah, bahwa bukan perut yang menjadi pangkal persoalan hidup ini, tapi faraj (kelamin). Sukses atau gagalnya seseorang, cerdas atau tidaknya manusia berpangkal pada satu soal, yaitu libido, keinginan jantan kepada betina, dan sebaliknya.
Menurut teori ini, pangkal persialan dunia bukan pada perut, tapi di bawah perut. 

Tujuh abad sebelum Karl Mark dan Sigmund Freud, telah lahir pujangga dan filosof Islam, Imam Al Ghazali. Ia menyatakan bahwa kedua faktor—perut dan faraj—itu—memang sangat penting. “Andai kata kaum lelaki  tidak berkeinginan terhadap wanita, maka tiada lagi keturunan manusia. Andai manusia tidak ingin makan, binasalah semua,” katanya. Tetapi Al Ghazali tidak berhenti di situ. Ia mengingatkan bahwa manusia telah dikaruniai oleh Allah akal sehat, yang punya kemampuan untuk menimbang yang baik dan buruk. Allah juga menurunkan agama, yang membeberkan halal dan haram, yang boleh dan yang dilarang. Dengan agama, manusia akan terbimbing hidupnya sehingga dapat menikmatinya dengan penuh bahagia dan sejahtera. Pada kenyataannya, perut memang kecil saja. Panjangnya kira-kira sejengkal, lebarnya dua jengkal. Akan tetapi bila kemauannya dituruti, semua isi dunia ini akan ditelan. Asalnya berebut sepiring nasi, ingin menyimpan untuk esok hari, lama-lama ingin mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk diwariskan ke anak cucu hingga turunan ke tujuh. Dari sekadar nafsu makan, akhirnya lahir keinginan yang lebih besar, yaitu keinginan untuk menguasai. 
Dari sana lahir paham kapitalisme dan imperialisme. Manusia menguasai manusia. Manusia memperbudak sesamanya. 

Demikian halnya syahwat. Sejak dikumandangkan ajaran Freud, wanita telah maju beberapa langkah menuju kepada kehidupan binatang. Rasa malu yang seharusnya dimiliki kini ditanggalkan, pakaian yang seharusnya dikenakan, kini dilucuti. Aurat yang seharusnya ditutupi kini dibuka lebar-lebar. Keelokan dan kecantikan yang seharusnya dirawat dan dijaga, malah diperlombakan. Persis kontes satwa di kebun binatang. Pemain dan penonton sama-sama tertawa, walau sejatinya ada dalam kerangkeng kaptalisme-materialisme. Untuk mempercepat kebebasan jiwa guna mendapatkan kepuasan seks, maka minuman keras adalah alternatifnya. Dengan minuman keras, orang menjadi lupa terhadap ikatan hidup, termasuk agama. Orang menjadi fly antara sadar dan tidak. Karenanya, antara seks dan minuman keras tak bisa dipisahkan. Tak puas dengan minuman keras, mereka lari ke narkotika, ganja, dan obat-obatan lainnya. Harganya yang tinggi tidak menjadi masalah, bagi mereka yang penting nafsu terpuaskan. Narkoba kini bahkan sudah menjadi ‘konsumsi umum’ yang mengerikan. Para penggunanya sudah merambah ke mana-mana, mulai  kaum muda hingga anak-anak di kota dan desa; guru, lurah, aparat keamanan, pejabat pemerintah, publik figure, lelaki perempuan telah begitu akrab dengan barang haram yang satu ini. Di kantor, di sekolah hingga penjara jadi ajang transaksi—bahkan produksi-- benda haram ini. Demi kebebasan seksual, orang berganti-ganti pasangan. Tak puas dengan yang satu, cari yang lain. Sebagian kaum lelaki ada  yang bosan dengan wanita, begitu sebaliknya, maka timbullah kaum homo dan lesbi. Demi alasan hak azasi manusia, mereka menuntut agar mendapat kedudukan yang sama dan diakui keberadaannya. Dari gonta-ganti pasangan sejenis iniah kemudian tumbuh penyakit baru yang sangat mengerikan, AIDS. 

Asal manusia mau menggunakan akal sehatnya, mereka akan mengatakan bahwa kondisi ini sangat membahayakan. Apalagi bagi kaum muslimin yang menjunjung akhlak mulia, tentu menyatakan bahwa hal ini merupakan krisis yang membahayakan kehidupan di masa depan. 

Pesan strategis puasa 

Di sinilah letak peran strategisnya puasa Ramadhan. Shiyam (puasa) adalah kendali nafsu perut dan nafsu syahwat. Sebulan penuh umat Islam dilatih dengan penuh kesadaran agar dapat mengendalikan kedua nafsu ini. Puasa bagi ummat Islam, adalah pengabdian  sekaligus training mental. Puasa tidak hanya mengajarkan kepada kita menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri di siang hari, tapi juga menahan nafsu-nafsu pancaindera, dan hati. Puasa Ramadhan tidak hanya sekadar masalah ubudiyah yang mendatangkan pahala dan ganjaran di akhirat kelak, tapi juga mendatangkan pengaruh yang langsung dalam kehidupan dunia ini. 

Dari segi jasmaniyah, puasa bermanfaat sekali dalam menjaga kesehatan. Para dokter sepakat bahwa puasa itu menyehatkan, sebagaimana Rasulullah telah menetapkan 14 abad yang lalu dalam sebuah haditsnya, ”Puasalah, tentu kamu sehat.” 

Dari segi ruhiyah, puasa adalah latihan disiplin terhadap peraturan. Melaksanakan dan menjauhi larangan bukan karena takut sanksi dan hukuman, tapi merupakan pengabdian atas dasar cinta kepada hukum-hukum Allah. Puasa membentuk sikap mental, watak dan kepribadian yang patuh dan disiplin. Selain itu, puasa juga mengajarkan kesabaran. Orang yang sedang berpuasa berjuang menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya, dengan mempertinggi sifat sabar, yaitu kemampuan untuk mengatur dan memimpin, memperkuat daya tahan dan kesanggupan menderita. Dari Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ”Puasa itu separuh kesabaran.”  

Dari segi kemasyarakatan, puasa mendidik kaum muslimin untuk mengurangi bibit-bibit diskriminasi, sekaligus memperkokoh kesetiakawanan sosial. Di luar bulan Ramadhan, orang kaya menikmati segala kemewahannya, makan serba  ada dan memenuhi segala selera. Sebaliknya, orang miskin hidup serba kekurangan, dapat makan 3 kali sehari untung-untungan, apalagi utuk memenuhi standar gizi. Akan tetapi, dalam bulan Ramadhan ini semuaa manusia punya kedudukan sama. Baik yang kaya maupun yang miskin sama-sama laparnya. Tidak makan dan minum, juga tidak berhubungan suami istri. Bila tiba saat berbuka, mereka serentak makan. Semua merasakan nikmatnya. Banyak masjid, mushalla atau rumah menyediakan ta’jil bersama. Di sana semua kaum muslimin membaur jadi satu, tak peduli kaya dan miskin, bersila dan berderet menghadapi makanan. Diharapkan dari sana tumbuh rasa kebersamaan dan hilang diskriminasi sosial… Pada bulan Ramadhan, semua kaum muslimin dilatih untuk merasakan pahit getirnya menahan lapar. Maksudnya, agar mereka ikut juga merasakan derita lapar yang dialami sebagian besar masyarakat  ‘akar rumput’ yang menahan lapar setiap hari dalam jangka waktu yang panjang. Orang yang merasakan derita lapar seperti ini jumlahnya tidak sedikit, dan menyebar di berbagai belahan bumi, di negara maju maupun di lingkungan komunitas suku-suku. Harapan selanjutnya, lahir sifat santun dan kasih sayang kepada orang yang nasibnya tak semujur dirinya. 
Kepada orang kaya, lewat ibadah puasa ini Allah hendak mendidik mereka agar  tajam ruhaninya, peka perasaan sosialnya, mau peduli terhadap sesama yang nasibnya kurang beruntung, misalnya yatim piatu, fakir miskin, anak jalanan, kaum gelandangan, dst. Orang tidak selamanya kaya. Setiap saat manusia bisa mengalami kebangkrutan. Tak menutup kemungkinan anak sendiri menjadi yatim, bahkan yatim piatu, sebab kematian siapa yang menduga datangnya. 

Peluang beramal terbuka luas di depan kaum muslimin. Apalagi hadirnya krisis ekonomi di negeri kita masih nampak belum kunjung berakhir. Inilah saatnya mendemonstrasikan amal di bulan Ramadhan. Jika kita lihat, sebagian besar orang yang kurang beruntung adalah juga kaum muslimin, dengan jumlah yang mancapai 40 juta jiwa lebih. Apa artinya? Bahwa memiliki sikap peduli kepada orang yang kurang beruntung merupakan tuntunan agama. Malah orang yang tidak mau peduli dengan nasib mereka disebut pendusta agama. Omong kosong seseorang mengaku Islam kalau tidak memiliki sikap ingin membantu saudaraanya yang dalam kesusahan. Terkait dengan dengan hal ini Allah Swt mengingatkan,” Tahukan kamu orang yang mendustakan agama? Itulah mereka yang menghardik anak-anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin.”(Al-Ma’uun: 1-3) Orang-orang miskin, kaum dhu’afa dan anak yatim sangat membutuhkan makanan, kasih sayang dan tempat bernaung. Mereka juga haus keadilan, perhatian dan hak-hak hidup yang lain sebagai sesama anak adam. 

Setidaknya, inilah yang hendak digugah dalam Ramadhan kali ini. Setelah di malam harinya ruhani kita diasah dengan qiyamul lail dan tartil Qur’an, dengan perut yang lapar, siangnya kita datangi saudara-saudara kita yang kurang mujur. Kita bantu secukupnya. Kita selami problematika yang dialami dan membantu mencari solusinya. Jangan sampai ada yang menangis—apalagi pada saat lebaran tiba nanti--pada saat kita sedang gembira bersama keluarga tercinta. 

Semoga Allah menjadikan kita orang yang peduli. Semoga tergugahlah hati kita. 

[aql/hidayatullah.com]

20 Agustus 2010 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar