Selasa, 30 Agustus 2011

Menyikapi Beda Lebaran


Sabtu, 27 Agustus 2011 pukul 11:48:00

Oleh Dr H AF Wibisono MA
Dosen UIN Jakarta
Koordinator Pendidikan dan Pelatihan Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Ahmad Izzuddin di harian Republika 26 Agustus 2011, memprediksi kemungkinan beda Lebaran tahun 1432 H/2011 M.

Dalam artikel tersebut, penulis lebih menganjurkan kepada umat Islam untuk lebih mengikuti pemerintah. "Sebagai masyarakat awam sebaiknya mengikuti penetapan pemerintah, mengingat pemerintah dalam penetapan selalu merujuk pada hasil musyawarah Badan Hisab Rukyah yang beranggotakan para pakar dalam bidang keilmuan terkait yang objektif ilmiah. Lebih baik tunggu pengumuman sidang itsbat pemerintah tentang 1 Syawal 1432 yang akan dilaksanakan pada Senin malam Selasa, 29 Agustus 2011."

Dalam tulisan ini yang akan dieksplorasi lebih jauh adalah yang terkait dengan posisi pemerintah dan bagaimana idealnya beda Lebaran disikapi. Berbeda pendapat boleh saja, asal tidak akan menimbulkan masalah. Setidaknya ada tiga kategori dalam menyikapi perbedaan ini. 

Pertama, al-tanawwu' fi al-'ibâdah; keanekaragaman dalam kaifiat dan bacaan dalam beribadah. Istilah ini berasal dari Ibn Taimiah (Majmû' Fatâwâ) untuk menyebut keanekaragaman kaifiat; tata cara dan bacaan dalam ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Kedua, khilâfiah. Beda pendapat kategori ini, berasal dari produk pemikiran atau penafsiran terhadap suatu nash; baik Alquran ataupun sunah. Contohnya perbedaan pendapat mengenai batal tidaknya wudhu seseorang bila bersentuhan dengan lawan jenis.

Ketiga, al-khurûj 'an al-haqq; keluar dari kebenaran atau penyimpangan. Perbedaan pendapat yang dapat dimasukkan ke kategori ini adalah pendapat yang bertentangan dengan nash; Alquran dan sunah. Contoh populer dalam hal ini adalah pengakuan seseorang sebagai nabi atau rasul.

Perbedaan dalam kategori al-tanawwu' fi al-'ibâdah, disikapi dengan menerima apa adanya keanekaragaman kaifiat dan aneka ragam bacaan dalam ibadah sepanjang hal itu diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dalam soal khilâfiah, toleransi antarsesama mutlaq diperlukan. Ada baiknya beda pendapat yang masuk kategori khilâfiah dikelola secara baik dengan berasaskan kemaslahatan.

Untuk beda pendapat yang masuk kategori al-khurûj 'an al-haqq, sikap yang perlu dikedepankan adalah mengajak para penganutnya kembali ke jalan yang benar dengan bijak dan hikmah, menghindari cara-cara kekerasan dan tidak main hakim sendiri dengan tetap mengacu pada QS 16:125.

Pertanyaannya, masuk kategoari apa perbedaan dalam menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah? 

Jawabannya, penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah masuk kategori khilafiah karena ia merupakan produk ijtihadiah. Perbedaan tersebut merupakan produk pemahaman terhadap nash. Yang diperdebatkan adalah cara memastikan kapan hilal dianggap telah ada. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya ada tiga cara yang dipergunakan untuk penetapan awal bulan.

Pertama, ru'ya? al-hilâl bi al-fi'li: melihat hilal (bentuk semu bulan/bulan sabit yang paling kecil) dengan mata telanjang. Metode ini memutlakkan terlihatnya hilal oleh mata telanjang sebagai penentu awal bulan. Jika hilal tidak kelihatan disebabkan oleh cuaca mendung, tertutup awan atau sebab lainnya yang menyebabkan hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam satu bulan digenapkan menjadi 30 hari.
Argumentasi untuk metode ini adalah hadis riwayat  Bukhari dari Abu Hurairah dan hadis riwayat Bukhari dari Ibn Umar ra. Pada hadis dari Abu Hurairah itu Nabi SAW menegaskan bahwa kewajiban berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihatnya. Apabila terhalang melihatnya, maka umur bulan Sya'ban disempurnakan dalam bilangan 30 hari. Pada hadis dari  Ibn Umar ra, Nabi SAW berpesan untuk  tidak berpuasa Ramadhan sehingga hilal dilihat, dan tidak berbuka sebelum melihat hilal. Jika terhalang (melihat) hilal, usia Ramadhan digenapkan 30 hari.

Kedua, imkân al-ru`yah (Kemungkinan terlihat hilal): Dalam metode ini, hadis Rasulullah SAW mengenai ru'ya? al-hilâl di atas dijadikan dalil sebagaimana pada metode pertama (ru'ya? al-hilâl bi al-fi'li), namun yang menjadi substansi dari hadis tersebut dalam metode ini, bukan terletak pada melihat hilal akan tetapi terletak pada mungkinnya hilal itu dapat dilihat.
Untuk menentukan kemungkinan terlihatnya hilal, dalam metode ini digunakan ilmu hisab atau astronomi. Namun, para ahli hisab yang mendukung aliran ini masih berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria hilal yang mungkin dapat dilihat. Ada yang hanya menetapkan ketinggian hilal saja dan ada yang menambah dengan kriteria sudut pandang (angular distance).
Kriteria ketinggian hilal pun masih terdapat perbedaan, ada yang menetapkan minimal tujuh derajat, ada yang enam derajat, dan ada pula yang hanya tiga derajat. Bahkan, di Indonesia ditetapkan minimal kemungkinan terlihatnya hilal dua derajat. Penetapan batas minimal di Indonesia tersebut banyak ditentang oleh ahli astronomi/hisab karena sangat kecil kemungkinan atau bahkan mustahil hilal bisa terlihat.

Ketiga, Hisab Hakiki/ wujûd al-hilâl:  metode ini menegaskan bahwa awal bulan qamariah (termasuk Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah) dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimâ' (konjungsi atau batas dan tanda usia bulan berakhir), dan bulan (hilal) pada saat itu belum terbenam, tapi masih berada di atas ufuk (horizon). Dengan demikian, secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan qamariah adalah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimâ' dan pada saat terbenam matahari.
Metode terakhir ini, sebagaimana imkân al-ru'yah, dan ijtimâ' qabl al-ghurûb menggunakan ilmu hisab/astronomi. Adapun perbedaannya, metode wujûd al-hilâl tidak mempermasalahkan tingkat ketinggian atau besarnya hilal sebagaimana dalam imkân al-ru`yah. Yang penting hilal itu telah wujud berapa pun ketinggiannya. Sedangkan perbedaan dengan ijtimâ' qabl al-ghurûb, wujûd al-hilâl mensyaratkan kedudukan bulan masih belum terbenam atau masih di atas ufuk saat matahari terbenam.

Pilihan sikap
Upaya mencari titik temu selalu dilakukan. Namun, belum ditemukan kriteria yang disepakati dalam menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Para pihak dengan keyakinannya bertahan pada posisi masing-masing. Penganut rukyat bertahan dengan rukyatnya. Penganut imkân al-ru'yah bertahan dengan imkân al-ru'yah-nya. Penganut wujûd al-hilâl bertahana dengan wujûd al-hilâl-nya. Ketiga aliran ini terkadang bisa memulai puasa atau berlebaran bareng ketika posisi hilal tiga hingga lima derajat.

Dengan kriteria tinggi hilal minimal dua derajat dan bisa dilihat, pemerintah diperkirakan akan menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Dengan mengacu pada konstitusi tersebut, pemerintah ada baiknya tetap memberi peluang kepada masyarakat yang sesuai dengan pemahaman yang diyakini, menetapkan 1 Syawal 2011 jatuh pada 30 Agustus 2011.

Sumber
http://koran.republika.co.id/koran/24/142313/Menyikapi_Beda_Lebaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar