Minggu, 14 Agustus 2011

BIMA GUGAT

Untuk orang-orang tercinta yang sedang sakit, berjuanglah secepatnya sesuai kemampuanmu mengambil bagian dari penyembuhan. Hanya itu yang engkau bisa sebelum sesal tiba.


Masa kecil saya kaya pengalaman nonton wayang kulit. Mungkin bukan karena memang saya suka, melainkan sekedar ketundukan pada arus budaya. Masa itu tidak ada mal atau warnet. Bioskop bahkan layar tancap masih benda langka. Televisi masih hitam putih dan hanya tayang sore hingga malam. Maka wayang kulit adalah mabuk utama. Ia sanggup menyedot ketertarikan kanak-kanak saya seluruhnya. Begitulah takdirnya, setiap jaman mempunyai peristiwa yang selalu ditunggu dan menyita semua perhatian. Dan takdir jaman saya kecil sampai pada kesimpulan: wayang adalah satu-satunya.


Setiap berita tentang pentas wayang selalu kami nikmati dengan rakus dan hari penyelenggaraannya kami tunggu dengan kerinduan membabibuta. Di hari H pementasan, kami berangkat selepas jamaah Isyak dengan bekal utama kain sarung untuk melawan udara malam dan melindungi diri dari nyamuk. Menelusuri pematang sawah dengan penerangan senter atau obor bambu bersama teman-teman adalah kemeriahan yang luar biasa. Ketika salah satu dari kami terperosok lubang atau tercebur kubangan lumpur sawah, kemeriahan tadi berlipat-lipat pasang.


Kami setengah berlari menuju tempat pentas untuk memperebutkan posisi ideal; sebuah ruang sempit samping kotak wayang. Posisi itu ideal untuk dua kepentingan: melihat sedekat mungkin dengan layar dan memanfaatkan ruang sempit itu untuk tidur waktu ceritanya menjemukan. Tidur? Menempuh perjalanan sejauh itu hanya untuk tidur? Ya. Karena bagi masa kecil saya, pentas wayang itu hanya menarik saat adegan perang tiba. Perang itulah yang mempertontonkan kepada kami adegan-adegan kepahlawanan para lakon. Tidak ada yang membangunkan kami saat perang tiba. Tetapi gamelan perang menjadi alarm yang menyalak-nyalak mengharuskan kami bangun. Sebentar mengusap mata dan langsung kami menjadi bagian dari para lakon yang diceritakan mencabik, membanting, menendang, merobek atau menguliti Kurawa dan para raksasa. Maka berganti-ganti memenuhi kepala masa kecil saya kepahlawanan Baladewa, Setiyaki, Hanoman, Rama hingga Bima.


Dan tokoh terakhir ini hadir merasuk kembali ke rumah orang tua saya di pinggiran Wonogiri selama sepekan kemarin. Saya memang pulang kampung untuk kepentingan dan kewajiban yang saya sebut birrul walidain: kebaktian kepada orang tua. Berbakti kepada orang tua memang bisa dilakukan di mana saja. Tetapi bila ada kesempatan, berada dekat di samping orang tua yang sedang sakit adalah kebaktian yang lebih tinggi dari doa. Bagi perantau pada masa merintis seperti saya, pulang kampung adalah kemewahan yang tidak mudah diselenggarakan. Jadi pulang kampung kemarin adalah paduan banyak hal: kebaktian, keharuan, pengorbanan, perjuangan, gembira sekaligus kesedihan.


Saat sepekan di rumah itu, Bima datang untuk mengajak saya melakukan seperti apa yang ia lakukan. Dia menegaskan: itulah satu-satunya cara. Saya tidak punya kesempatan bicara. Sang Bima terus mendesak dan mulai memaksa saya menggugat. Kayangan itu rumah kita, maka jangan sungkan-sungkan meminta, begitu ia meyakinkan saya.


Bima adalah Penegak Pandawa. Dialah yang membuat Pandawa tegak berdiri. Dia simbol ketegasan, kegagahan, komitmen, kejujuran, keberpihakan pada kebenaran, dan perjuangan tanpa komproni. Bagi Bima, segala perwujudan adalah hitam dan putih dengan tegas. Hitam untuk dibasmi dan putih untuk diperjuangkan agar lestari. Juga ketika oleh kesewenang-wenangan pada Dewa, mendiang ayahnya, Pandu Dewanata, dimasukkan ke dalam neraka, Sang Bima tidak bisa untuk tidak menggugat. Keputusan menyengsarakan Pandu mengada-ada. Dua alasan yang disampaikan para Dewa tidak berdasar prinsip keadilan. Menurut para Dewa, Pandu layak dihukum karena menggunakan nama Dewanata di belakang nama Pandu. Kedua, Pandu juga dianggap bersikap tidak etis dengan menjadikan Lembu Andini sebagai binatang tunggangan padahal lembu jenis itu adalah kesayangan Dewa Guru, dewa paling senior di Kayangan.


Bertolak dari keyakinan, Bima menggugat Kayangan. Ia tahu: anak yang saleh sanggup mensurgakan bapaknya. Amal, ilmu dan anak adalah tiga kekuatan sinergis yang berpotensi mengubah vonis. Semua tentang keagungan, etika dan ketertiban Kayangan, diporakporandakan oleh Bima. Begitulah: setiap kebesaran yang dibungkus dengan kesewenangan akan kerdil tiba-tiba, setiap kekokohan yang dibalut arogansi, sesungguhnya rapuh dan mudah ditaklukkan. Bima mengerti itu. Atas nama kebenaran dan kewajiban berbakti kepada orang tua, Bima mengerahkan semua kemampuan. Dan para Dewa mengaku salah: Pandu memang tidak layak sengsara. Ia pantas masuk surga.


Begitu kurang lebih Bima bercerita tentang dirinya kepada saya. Saya tidak bisa untuk tidak terprovokasi. Tidak sekedar terprovokasi, saya akhirnya mengerti bahwa keluarga berperan sangat besar membantu kesembuhan seseorang. Kesembuhan setiap orang sakit akhirnya memang bergantung dirinya sendiri. Tetapi dukungan dari tenaga medis dan keluarga sangat dibutuhkan. Kesimpulannya: saya harus menjadi bagian aktif dari kesembuhan bapak.


Saya ingin seperti Bima: pamit sebentar ke langit untuk mengetuk pintu Tuhan meminta kembali kesehatan bapak. Saya ingin seperti Bima: setiap menjelang fajar merayu Tuhan memohon peninjauan kembali atas keputusanNYA memberikan sakit kepada bapak. Saya ingin seperti Bima: selalu ada di samping bapak meski sebenarnya jauh di mata. Ada tidak harus selalu ada karena yang ada belum tentu ada. Saya ingin seperti Bima, karena saya yakin: anak sanggup mensurgakan bapaknya!

oleh Syahid Widi Nugroho pada 28 Juli 2011 jam 9:36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar