Selasa, 16 Agustus 2011

Mencari Mahasiwa Taqwa di Kampus Sekuler

Setiap masuk bulan Ramadhan, mendadak masyarakat Indonesia terlihat dan terkesan sangat religius. Semua tayangan TV di penuhi dengan nuansa dakwah, syiar Islam dengan beragam acara. Demikian pula dengan musholah, masjid, surau ramai dengan taraweh dan tadarus. Tidak ketinggalan, perkantoran, mall dan juga institusi pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA,  sampai kampus-kampus bergantian melaksanakan ceramah atau minimal sekedar bukber (buka bersama).

Tentunya semua itu hanyalah fenomena semusim saja. Maraknya syiar Islam tersebut tidak mampu menutupi buruk rupa para politikus yang korup, kemarup harta dan jabatan yang jauh dari beretika. Tidak juga mampu menutupi jurang kehidupan orang kaya dengan kaum miskin. Juga tidak bisa melupakan kenyataan masyarakat yang gemar tawuran, mahasiswa pengagung syahwat (hedonis), remaja gaul tanpa jati diri.

Hal ini mirip dengan jilbab dan pesta kelulusan. Jilbab sebagai bentuk perilaku religius dan pesta kelulusan sebagai muntahan hasrat pemeberontakan. Ambil  Contoh adalah aksi merayakan pengumuman kelulusan pelajar Pamekasan dengan membuka jilbab mewarnai konvoi kelulusan siswa/siwi SMA/MA dan SMK di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Siswi yang biasanya diharuskan menggunakan jilbab, saat konvoi tidak lagi menggunakan jilbab. Bahkan jilbab para siswi ini dijadikan bendera sambil berboncengan dengan teman laki-laki mereka. Para siswi ini juga merayakan kelulusan dengan menggunting rok. Sembari berkonvoi mereka juga menjarah pedagang kaki lima. Konvoi mereka pun berakhir di kawasan Pantai Kenjeran, Surabaya dan dengan masih mengenakan baju yang di corat-coret, dengan berpasangan mereka pun berpeluk cium di tempat umum tanpa sungkan. (suarakarya-online 27 April 2010).

Pernah seorang gadis muslim ditanya mengapa pada usianya yang sudah dewasa ia belum mengenakan jilbab padahal ia tahu anjuran berjilbab dalam Islam. Jawaban yang dikemukakannya adalah bahwa ia belum siap berjilbab. Pada kasus lainnya, banyak orang yang shalat dan berpuasa, tetapi masih berperilaku buruk di tempat kerja atau dalam keluarganya. Tawuran selepas subuh bulan Ramadhan menjadi biasa di kawasan Cilincing, Jakarta. Banyak orang yang membaca Al Quran, tetapi tidak mengamalkan perintah dan menjauhi larangan di dalamnya. Banyak orang memiliki pengetahuan agama yang luas, menjalankan ibadah yang diperintahkan dengan begitu rajinnya, dan meyakini kebenaran ajaran agamanya, tetapi perilaku kesehariannya tidak sesuai dengan tingginya dimensi intelektual, ritualistik, atau ideologis yang dimiliki.

Glock dan Stark (dalam Paloutzian, 1996) mengemukakan lima dimensi yang menjelaskan religiusitas seseorang. Kelima dimensi tersebut adalah dimensi ideologis,intelektual, ritualistik, ekperiensial, dan konsekuensial. Dimensi ideologis meliputi keimanan yang diharapkan dimiliki oleh penganut agama. Dimensi intelektual meliputi pengetahuan dan informasi dasar tentang ajaran-ajaran agama dan ayat-ayat suci yang diharapkan diketahui oleh penganut agama.Dimensi ritualistik meliputi praktik-praktik peribadahan yang diharapkan dilakukan oleh penganut agama. Dimensi eksperiensial mengacu pada perasaan, persepsi dan sensasi dari berkomunikasi dengan Tuhan. Dimensi konsekuensial meliputi pengaruh dari keyakinan pada agama, ibadah, pengetahuan, dan pengalaman pada kehidupan sehari-hari penganut agama. Pertanyaan yang kemudian diajukan adalah apa indikator rendah atau tingginya religiusitas seseorang.[1]

 Sekulerisme : kambing hitam kerusakan moral

Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus.

Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shalih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama dan pesantren yang dikelola oleh Kementerian Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional.

Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Kemendiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.

Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.

Demikian juga dengan yang terjadi di UNAS. Walaupun dalam situs resminya mengenai Pernyataan Mutu UNAS mengatakan : Melahirkan Lulusan Yang Memiliki Kompetensi Yang Mumpuni Dan Memiliki Komitmen Terhadap Cita-Cita Bangsa Serta Berbudi Pekerti Luhur, tapi dalam prakteknya komponen pembentukan karakter berbudi pekerti luhur hanyalah materi kuliahan sambil lalu saja.

Syukri, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram mengatakan : “Memang pola kegiatan perkuliahan mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia, dipengaruhi gaya hidup masyarakat barat. Shapiro menggambarakan bahwa dalam proses perkuliahan masyarakat liberal seperti Amerika sangat takut dengan nilai-nilai moral, karena mereka terlalu mengangungkan nilai-nilai kebebasan berpikir, bayangan masa depan yang terbuka, dan selalu memburu rencana kehidupan politik, sosial dan ekonomi yang lebih baik. Dalam otak mereka, kehidupan itu harus individual, demokratis, kebebasan berpendapat, profesionalitas, dan persamaan hak asasi manusia. Akibat menerapkan gaya hidup yang tidak mengindahkan nilai-nilai agama dan moral, maka banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan intelektual yang sedang berproses dan juga oleh intelektua sejati.”[1] Seperti tawuran dalam kampus, pembunuhan seperti yang dilakukan mahasiswa asal Korea selatan di Virginia Teck yang menewaskan 33 orang, pemalsuan data penelitian seperti yang dilakukan peneliti kloning manusia di korea dan sebagainya.

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan Pengetahuan tentang ajaran Islam.

Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.

Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korupsi. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular.

 Sekulerisme Barat : Munafiq dan Memuakkan

Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan.[2]

Berkembangnya sekulerisme di Eropa di dasari pada kekecewaan mereka terhadap kekuasaan dan ajaran Gereja Kristen yang bertolak belakang dengan fakta ilmiah dan kebebasan. Sekulerisme dalam masyarakat muslim saat ini copy paste sekularisme barat melalui media dan para marketer ciptaan Barat.

Cara pandang dan perilaku sekuler – yang tidak harus melalui indoktrinasi atau pelajaran sekolah – adalah sarana mempertahankan sistem yang ada di Barat (yakni untuk siswa mereka sendiri), dan juga mengekspornya ke seluruh dunia melalui orang-orang asing (mahasiswa) yang bersekolah di Barat.  Mahasiswa asing ini nantinya diharapkan menjadi “marketer” tentang keramahan bangsa Barat, kehandalan produk Barat, dan kemajuan cara pandang Barat.[3]

Pada kasus beasiswa untuk ilmu-ilmu humaniora, pandangan sekuler ini akan tertanam dalam prinsip-prinsip ilmiah yang dikaji.  Penerima beasiswa dari negara-negara berkembang selama bertahun-tahun, bahkan setelah lulus, diharapkan menghasilkan paper-paper tentang berbagai hal yang dilihat dari sudut pandang kapitalis.

Sedang pada beasiswa untuk ilmu-ilmu sains dan teknologi, secara khusus memang tidak ada pengkondisian sekulerisme di kampus.  Namun realitas kehidupan Barat itu sendiri adalah cara “dakwah” terbaik tentang sekulerisme – sehingga tak sedikit mahasiswa muslim yang berkesimpulan bahwa sistem di Barat serba lebih “islami” daripada di negeri Islam sendiri.

Dengan orang-orang ini, maka imperialisme dapat dilanjutkan.  Keunggulan sains dan teknologi akan dijadikan alat imperialisme, misalnya melalui hutang LN atau ketergantungan produk LN – dan ini sering melalui anak-anak kandung umat Islam sendiri.

Walaupun semua Negara Barat menyatakan diri sebagai negara Sekuler, tapi pada praktek politiknya masih bercampur dengan sentimen agama asli mereka ; kristen baik katolik maupun protestan. Lobi-lobi pengusaha Yahudi juga ikut membuat warna politik barat menjadi bernuansa Yahudi. Saat Obama mencalonkan diri jadi presiden AS, Agama ayahnya yang Islam jadi bahasan. Prancis menjadi negara sekuler pertama yang mencampuri keberagaman penduduknya khususnya kaum Muslim dengan pelarangan Jilbab di sekolah negeri dan burqa di tempat umum. Islamofobia di negara-negara Barat pada akhirnya terlihat sebagai gesekan antara kristen fudamentalis yang kebakaran jenggot dengan makin banyaknya penganus Islam.

Produk nyata dari sekularisme adalah meningkatnya para Atheis atau orang yang tidak mempercayai tuhan. Pada .penelitian James H. Leuba (psikolog terpandang Amerika) Th.1914: 58% dari 1000 ilmuwan Amerika yang dipilih acak tidak percaya adanya Tuhan.  Tahun 1934 jumlahnya naik menjadi 67%.  Edward J. Larson (Prof. Hukum & Sejarah-University of Georgia, Amerika & pemenang Pulitzer 1998) meneliti lebih lanjut pada ilmuwan top anggota National Academy of Science.  Pada pertanyaan “Apakah percaya adanya Tuhan” ada jawaban 72,2% tidak percaya Tuhan.

Sayangnya, sekulerisme, tidak mempercayai tuhan menggiring orang dalam keraguan dan ketidak bahagiaan. Alkohol, pesta, dan seks tidak selalu dapat memuaskan manusia. Saat Islam mendapat promo gratis akibat liputan terus menerus tetang terorisme, puluhan ribu masyarakat barat malah terdorong mencari tahu tentang Islam dan berujung pada masuk Islamnya mereka.
  • NBC NEWS: 20000 Americans Convert To ISLAM Each Year, 75% Of Them Women.
  • CNN WORLD NEWS: Islam is the fastest-growing religion
  • Times on line: Thousands of british people convert to islam every year
  • Washington Post: Islam Attracting Many Thousands Survivors of Rwanda Genocide

Tidak di ragukan lagi, di mata orang Barat yang masuk Islam, Sekular-kapitalistik sudah barang usang.

Dari banyak wawancara yang dilakukan televisi Amerika, Eropa maupun Timur Tengah terhadap mereka yang masuk Islam atau video-video blog yang banyak menjelaskan motivasi para new converters ini masuk Islam, menggambarkan konfigurasi latar belakang yang beragam.

Pertama, karena kehidupan mereka yang sebelumnya sekuler, tidak terarah, tidak punya tujuan, hidup hanya money, music and fun. Pola hidup itu menciptakan kegersangan dan kegelisahan jiwa. Mereka merasakan kekacauan hidup, tidak seperti pada orang-orang Muslim yang mereka kenal. Dalam hingar bingar dunia modern dan fasilitas materi yang melimpah banyak dari mereka yang merasakan kehampaan dan ketidakbahagiaan. Ketika menemukan Islam dari membaca Al-Qur’an, dari buku atau kehidupan teman Muslimnya yang sehari-harinya taat beragama, dengan mudah saja mereka masuk Islam.

Kedua, merasakan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakannya dalam agama sebelumnya yaitu Kristen. Dalam Islam mereka merasakan hubungan dengan Tuhan itu langsung dan dekat. Beberapa orang Kristen taat bahkan mereka sebagai church priest mengaku seperti itu ketika diwawancarai televisi. Allison dari North Caroline dan Barbara Cartabuka, seorang diantara 6,5 juta orang Amerika yang masuk Islam pasca 9/11, seperti diberitakan oleh Veronica De La Cruz dalam CNN Headline News, Allison mengaku “Islam is much more about peace.” Sedangkan Barbara tidak pernah merasakan kedamaian selama menganut Katolik Roma seperti kini dirasakannya setelah menjadi Muslim. Demikian juga yang dirasakan oleh Mr. Idris Taufik, mantan pendeta Katolik di London, ketika diwawancara televisi Al-Jazira. Mantan pendeta ini melihat dan merasakan ketenangan batin dalam Islam yang tidak pernah dirasakan sebelumnya ketika ia menjadi mendeta di London. Ia masuk Islam setelah melancong ke Mesir. Ia kaget melihat orang-orang Islam tidak seperti yang diberitakan di televisi-televisi Barat. Ia mengaku, sebelumnya hanya mengetahui Islam dari media. Ia sering meneteskan air mata ketika menyaksikan kaum Muslim shalat dan kini ia merasakan kebahagiaan setelah menjadi Muslim di London.

Ketiga, menemukan kebenaran yang dicarinya. Beberapa konverter mengakui konsep-konsep ajaran Islam lebih rasional atau lebih masuk akal seperti tentang keesaan Tuhan, kemurnian kitab suci, kebangkitan (resurrection) dan penghapusan dosa (salvation) ketimbang dalam Kristen. Banyak dari masyarakat Amerika memandang Kristen sebagai agama yang konservatif dalam doktrin-doktrinnya. Eric seorang pemain Cricket di Texas, kota kelahiran George Bush, berkesimpulan seperti itu dan memilih Islam. Sebagai pemain cricket Muslim, ia sering shalat di pinggir lapang. Di Kristen, katanya, sembahyang harus selalu ke Gereja. Seorang konverter lain memberikan kesaksiannya yang bangga menjadi Muslim. Ia menjelaskan telah berpuluh tahun menganut Katolik Roma dan Kristen Evangelik. Dia mengaku menemukan kelemahan-kelemahan doktrin Kristen setelah menyaksikan debat terbuka tentang “Is Jesus God?” (Apakah Yesus itu Tuhan?) antara Ahmad Deedat, seorang tokoh Islam dari Afrika Selatan dan seorang teolog Kristen. Argumen-argumen Dedaat dalam diskusi menurutnya jauh lebih jelas, kuat dan memuaskan ketimbang teolog Kristen itu. Menariknya, misi awalnya ia menonton debat agama itu justru untuk mengetahui Islam karena ia bertekad akan menyebarkan gospel ke masyarakat-masyarakat Muslim. Yang terjadi sebaliknya, ia malah menemukan keunggulan doktrin Islam dalam berbagai aspeknya dibandingkan Kristen. Angela Collin, seorang artis California yang terkenal karena filmnya Leguna Beach dan kini menjadi Director of Islamic School, ketika diwawancarai oleh televisi NBC News megapa ia masuk Islam, ia mengungkapkan: “I was seeking the truth and I’ve found it in Islam. Now I have this belief and I love this belief,” katanya bangga.

Keempat, banyak kaum perempuan Amerika Muslim berkesimpulan ternyata Islam sangat melindungi dan menghargai perempuan. Dengan kata lain, perempuan dalam Islam dimuliakan dan posisinya sangat dihormati. Walaupun mereka tidak setuju dengan poligami, mereka melihat posisi perempuan sangat dihormati dalam Islam daripada dalam peradaban Barat modern. Seorang convert perempuan Amerika bernama Tania, merasa hidupnya kacau dan tidak terarah jutsru dalam kebebasannya di Amerika. Ia bisa melakukan apa saja yang dia mau untuk kesenangan, tapi ia rasakan malah merugikan dan merendahkan perempuan. Setelah mempelajari Islam, awalnya merasa minder. Setelah tahu bagaimana Islam memperlakukan perempuan, ia malah berkata “women in Islam is so honored. This is a nice religion not for people like me!” katanya. Dia masuk Islam setelah mempelajarinya beberapa bulan dari teman Muslimnya.

Memanfaatkan Ramadhan : Ketaqwaan musuhnya sekulerisme

Kampus, lembaga pendidikan Indonesia sepertinya masih lama bisa menyatukan asas ilmiah dengan ilahiyah. Dikotomi iptek dengan imtaq akan terus terjadi. Untuk keluar dari lingkaran setan pendidikan amburadul ini kembali pada individu masing. Tiap orang wajib mencari selamat untuk dirinya sendiri baru kemudian oranglain. "Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan.” [QS.27:92]

Salah satunya dalah dengan memaksimalkan puasa Ramadhan. Firman Alloh SWT : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kama agar kamu bertaqwa.( al Baqara : 183)

Salah satu solusi memutus perilaku sekuler Muslim Indonesia adalah dengan memanfaatkan secara maksimum momentum puasa Ramadan. Tujuan puasa Ramadhan adalah membentuk manusia taqwa.

Seruan Allah pada surat Ali Imran ayat 102 yang berbunyi, “Bertaqwalah kamu sekalian dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam keadaan muslim”, bermakna bahwa Allah harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.


Taqwa adalah bentuk peribadatan kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya dan jika kita tidak melihat-Nya maka ketahuilah bahwa Dia melihat kita. Taqwa adalah tidak terus menerus melakukan maksiat dan tidak terpedaya dengan ketaatan. Taqwa kepada Allah adalah jika dalam pandangan Allah seseorang selalu berada dalam keadaan tidak melakukan apa yang dilarang-Nya, dan Dia melihatnya selalu melakukan kebaikan. Menurut Sayyid Quth dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—taqwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri kehidupan.

Saat Umar ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah taqwa!”

Demikian banyak ayat Al-Qur`an yang menyerukan kita untuk bertaqwa dalam bingkai taqwa yang sebenarnya, dalam kadar taqwa yang semestinya, dalam bobot taqwa yang mampu kita lakukan. Lihat umpamanya (QS. Al-Ahzab : 70) dan (QS. At-Taubah : 119).
Dalam hadits juga sangat banyak seruan agar taqwa menjadi penghias perilaku kita dan menjadi mutiara batin kita. Seperti sabda Rasulullah, :

“Bertaqwalah kamu kepada Allah, dimanapun kamu berada, dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan itu. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Darimi).

Ciri Manusia Taqwa

Seseorang akan disebut bertaqwa jika memiliki beberapa ciri. Dia seorang yang melakukan rukun Iman dan Islam, menepati janji, jujur kepada Allah, dirinya dan manusia dan menjaga amanah. Dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Manusia taqwa adalah sosok yang tidak pernah menyakiti dan tidak zhalim pada sesama, berlaku adil di waktu marah dan ridha, bertaubat dan selalu beristighfar kepada Allah. Manusia taqwa adalah manusia yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sabar dalam kesempitan dan penderitaan, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, tidak peduli pada celaan orang-orang yang suka mencela, menjauhi syubhat, mampu meredam hawa nafsu yang menggelincirkan dari shiratal mustaqim. Itulah diantara ciri-ciri sosok manusia taqwa itu.

Agar seseorang bisa mencapai taqwa diperlukan saran-sarana. Dia harus merasa selalu berada dalam pengawasan Allah, memperbanyak dzikir, memiliki rasa takut dan harap kepada Allah. Komitmen pada agama Allah. Meneladani perilaku para salafus saleh, memperdalam dan memperluas ilmu pengetahuannya sebab hanya orang berilmulah yang akan senantiasa takut kepada Allah (QS. Fathir: 28). Agar seseorang bertaqwa dia harus selalu berteman dengan orang-orang yang baik, menjauhi pergaulan yang tidak sehat dan kotor. Sahabat yang baik laksana penjual minyak wangi dimanapun kita dekat maka akan terasa wanginya dan teman jahat laksana tukang besi, jika membakar pasti kita kena kotoran abunya (HR. Bukhari).

Membaca Al-Qur`an dengan penuh perenungan dan mengambil ‘ibrah juga merupakan sarana yang tak kalah pentingnya untuk mendaki tangga-tangga menuju puncak taqwa. Instrospeksi, menghayati keagungan Allah, berdoa dengan khusyu’ adalah sarana lain yang bisa mengantarkan kita ke gerbang taqwa. Pakaian dan makanan kita yang halal dan thayyib serta membunuh angan yang jahat juga sarana yang demikian dahsyat yang akan membawa kita menuju singgasana taqwa.

Buah Taqwa

Manusia dengan ciri dan karakterisrik di atas akan memetik buah ranum dan manisnya taqwa. Bukan hanya individual sifatnya namun masyarakat juga akan menikmatinya.
Manusia taqwa akan mendapatkan mahabbah Allah (Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, (QS. At-Taubah: 4), Allah akan selalu bersama langkah dan pikirnya (Sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. An-Nahl; 128), mendapat manfaat dari apa yang dibaca di dalam Al-Qur`an (QS. Al-Baqarah; 2), lepas dari gangguan syetan –“sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa apabila ditimpa was-was dari syetan, mereka ingat kepada Allah maka seketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al-A’raf: 35), diterima amal-amalnya (QS. Al-Maidah: 27), mendapatkan kemudahan setelah kesulitan dan mendapat jalan keluar setelah kesempitan (QS. Ath-Thalaq: 2 dan 4)

Manusia taqwa akan memiliki firasat yang tajam, mata hati yang peka dan sensitif sehingga dengan mudah mampu membedakan mana yang hak dan mana pula yang batil.
(QS. Al-Anfaal : 29). Mata hati manusia taqwa adalah mata hati yang bersih yang tidak terkotori dosa-dosa dan maksiat, karenanya akan gampang baginya untuk masuk surga yang memiliki luas seluas langit dan bumi yang Allah peruntukkan untuk orang-orang yang bertaqwa (QS. Ali Imran: 133 dan Al-Baqarah: 211).

Taqwa yang terhimpun dalam individu-individu ini akan melahirkan keamanan dalam masyarakat. Masyarakat akan merasa tenteram dengan kehadiran mereka. Sebaliknya pupusnya taqwa akan menimbulkan sisi negatif yang demikian parah dan melelahkan. Umat ini akan lemah dan selalu dilemahkan, akan menyebar penyakit moral dan penyakit hati. Kezhaliman akan merajalela, adzab akan banyak menimpa. Masyarakat akan terampas rasa aman dan kenikmatan hidupnya. Masyarakat akan terenggut keadilannya, masyarakat akan hilang hak-haknya.

Semakin taqwa seseorang -baik dalam tataran individu, sosial, politik, budaya, ekonomi- maka akan lahir pula keamanan dan ketenteraman, akan semakin marak keadilan, akan semakin menyebar kedamaian. Taqwa akan melahirkan individu dan masyarakat yang memiliki kepekaaan Ilahi yang memantulkan sifat-sifat Rabbani dan insani pada dirinya.

oleh Marzuki Umar pada 13 Agustus 2011 jam 8:52



Dari admin tentang Marzuki Umar:

Admin belum sempat berkorespondensi dengan penulis tentang data pribadinya, sehingga hanya catatan ini sajalah tentang penulis yang bisa didapat.

SMAN 1 bekasi Angkatan 1990
Unas Angkatan 1996 · Biologi,  
CV. Marintekindo


Kutipan Favorit:
Jangan pernah mendahului takdir dan jangan pula membantahnya.

Sampaikanlah pendapatmu. Jika pendapat itu benar ia telah memperlihatkan satu kenyataan. Jika salah maka ia akan mendorong munculnya kebenaran. Baik ketika benar maupun salah, menyampaikan pendapat itu jauh lebih baik dari pada diam sama sekali.


Referensi:

[1] http://kesppi.wordpress.com/

[2] Syukri, Peran Pendidikan di Perguruan Tinggi Terhadap Perubahan Perilaku Kaum Intelektual (sosial-ndividu), Jurnal Ilmiah Kreatif Vol. VI No. 1 Januari 2009.

[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme

[4] Dr.-Ing. Fahmi Amhar : Realitas Pendidikan di Barat. Alumnus Vienna University of Technology, Austria.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar