Sabtu, 30 Juli 2011

SUASANA RAMADHAN DI BERLIN

Dee Fika, Suami dan kedua putranya
di Völkerschlachtdenkmal Leipzig
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Berlin, terutama di daerah di mana kami akan tinggal untuk beberapa tahun ke depan, saya merasa sepertinya Berlin tidak jauh berbeda suasananya dengan suasana di Pamulang atau Ciputat tempat kami tinggal ketika masih di Indonesia. Karena saya melihat betapa banyaknya perempuan-perempuan berjilbab hilir mudik di jalan-jalan kota. Saya jadi teringat rombongan ibu-ibu majlis taklim yang mau atau pulang dari pengajian atau ibu-ibu para tetangga yang mau pergi belanja, jemput anak sekolah atau melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Hanya saja yang membuat berbeda adalah infrastruktur di sini sangat teratur, rapih dan bebas dari kemacetan serta polusi. 


Berlin yang terletak di jantung Eropa memang merupakan sebuah kota internasional yang dihuni oleh berbagai macam ras, bangsa, dan agama dari berbagai pelosok dunia. Tak heran jika populasi masyarakat muslim menempati jumlah yang cukup signifikan di kota ini. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi kami dalam banyak hal, selain mudah menemukan masjid, kami juga mudah untuk menemukan makanan-makanan berlabel halal atau bahan-bahan makanan asia di kota ini.


Seperti umat muslim di kota-kota lain di dunia, Berliner Muslim juga sangat bersuka cita dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Semaraknya semakin terasa karena seperti tahun yang lalu, pada tahun ini semua organisasi-organisasi Islam dan masjid-masjid di Jerman juga memulai Ramadhan secara serempak yaitu pada hari Senin tanggal 1 Agustus 2011. Setiap masjid tentunya mulai berbenah untuk mempersiapkan program-program Ramadhannya seperti juga yang dilakukan oleh masjid-masjid di Indonesia tak terkecuali masjid Al Falah yang merupakan masjid milik komunitas muslim Indonesia yang berada di Berlin. Masjid yang dibangun 22 tahun yang lalu ini menjadi sentral kegiatan peribadatan bagi masyarakat muslim Indonesia maupun muslim dari negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura yang tinggal di Berlin. 


Biasanya pada setiap bulan Ramadhan, pengurus masjid akan merancang berbagai macam kegiatan untuk seluruh kalangan seperti dewasa, remaja, dan anak-anak. Tadarus Al-Qur’an, diskusi seputar masalah keagamaan, TPA untuk anak-anak sampai pelatihan-pelatihan menjadi khatib, imam dan lain-lainnya untuk para pemuda dan pemudinya adalah di antara jenis kegiatan yang dilakukan oleh pengurus masjid ini. Jika rindu pada ta’jil makanan Indonesia maka kita bisa datang ke masjid ini untuk berbuka puasa karena selama bulan Ramadhan, makanan seperti kolak, bubur kajang ijo dan lain-lainnya akan selalu tersedia di masjid ini. 
Biasanya di akhir pekan KBRI juga mengadakan acara berbuka puasa dan shalat tarawih bersama, maka kegiatan di masjidpun diliburkan dan seluruh pengurus masjid ikut bergabung di KBRI.


Tidak hanya masjid Indonesia saja yang menyediakan ta’jilan untuk berbuka puasa, tetapi seluruh masjid yang ada di Jerman akan melakukan hal yang sama. Bila kita ingin mencicipi hidangan khas berbuka dari negara lain, kita bisa mampir dari satu masjid ke masjid lainnya secara bergantian. Saya dan keluarga biasanya pergi ke masjid Turki yang kebetulan letaknya tidak jauh dari tempat tinggal kami. Di masjid Turki kami bisa mencicipi ta’jilan khas Turki seperti Roti Ramazan Pidesi atau kalau kita terjemahkan mungkin Ramadhan Pide. Roti berbentuk bulat dengan hiasan wijen di atasnya seperti pizza tanpa topping ini dibuat khusus hanya untuk bulan Ramadhan saja, di bulan selain Ramadhan kita tidak akan menemukan roti ini. Selain Ramazan Pidesi, ada satu menu lagi yang juga hanya bisa kita temui di bulan Ramadhan yaitu Gullac. Gullac ini menurut salah seorang sahabat saya yang asli dari Turki dibuat dari semacam pasta yang cara pembuatannya direndam dulu di dalam susu semalaman sebelum diproses menjadi gullac. Makanan ini dibuat bersama dengan kacang pistachio dan biji delima dan rasanya sangat manis sekali.


Selain masjid milik masyarakat Turki, di Berlin juga terdapat banyak masjid milik masyarakat Palestina, India, Pakistan, Bangladesh, Bosnia, dan lain-lain. Nah sambil menyantap menu ifthar, kita juga bisa mengenal lebih dekat tradisi dan kebudayaan mereka selain itu tentu saja kita bisa menjalin tali silaturrahim dengan saudara-saudara kita dari mancanegara yang sangat bersahabat itu. Seperti juga kebiasaan kita di Indonesia, kita sering mengadakan acara buka puasa bersama sahabat. Tempatnya bisa di rumah atau apartemen kami masing-masing atau bisa juga di salah satu kedai makanan yang menyediakan makanan halal tentunya.


Menjalankan Ramadhan di negeri mayoritas nonmuslim ini tidak sedikitpun mengurangi kekhusyukan kami dalam beribadah. Karena masyarakat di sini pada umumnya sangat terbuka terhadap keberadaan para pendatang yang beragama lain termasuk Islam. Kita tidak perlu ragu untuk mengatakan bahwa kita sedang berpuasa kepada teman maupun kolega kita yang beragama nonmuslim jika kita diundang makan atau minum di waktu berpuasa. Karena mereka pada umumnya sangat menghormati perbedaan. Namun banyak pula di antara mereka yang kaget dan merasa tidak percaya bahwa kami bisa menjalani untuk tidak makan dan tidak minum selama itu. Mereka akan mengatakan “super” atau “tol” untuk mengapresiasi ibadah kami yang menurut mereka sangat luar biasa itu.


LAMANYA BERPUASA DI BERLIN


Berapa jam lamanya menjalankan puasa di Berlin. Alhamdulillah sudah dua Ramadhan ini kami menjalani puasa selama 18 jam sehari. Tentu sangat berbeda ketika kami masih di Indonesia yang umumnya hanya menjalani puasa selama 13 jam sehari. Tadinya kami sempat apatis, apakah kuat kami menjalankan puasa selama itu. Apalagi puasa tahun lalu dan tahun ini kan jatuhnya pas di musim sommer atau musim panas. Terbayang sudah bagaimana beratnya nanti kami harus menahan haus dan lapar. Tetapi alhamdulillah tahun lalu kami bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar. Anak saya yang sulung yang sekarang berumur 13 tahun pun hanya satu kali batal puasa karena sakit padahal dia harus sekolah dan berkumpul dengan teman-temannya yang kebanyakan non muslim. Sementara anak saya yang kecil yang sekarang umur 8 tahun, belum kuat puasa sehari penuh. Jadi dia hanya puasa setengah hari saja atau semampu dia saja. Kami biasa sahur pada jam 2 malam karena subuh jatuh pada pukul 3 dini hari dan baru berbuka puasa pada pukul 21.00. Karena biasanya matahari baru akan tenggelan pada pukul 21.00 ini.


Kenapa bisa kuat? Tentu saja karena niat kami yang kuat dan ikhlas untuk menjalaninya. Selain itu, ada faktor lain yang ikut mendorongnya, yaitu cuaca. Alhamdulillah, meski musim panas tetapi udara sangat sejuk sehingga kami tidak merasakan haus yang berlebihan. Apalagi musim panas tahun ini, selalu diwarnai oleh mendung dan hujan yang turun hampir tiap hari. Sampai-sampai setiap orang yang kami jumpai bertanya das ist richtig Sommer oder? Apakah ini betul musim panas atau? Karena saking seringnya turun hujan dan mendung yang disertai angin kencang di musim panas tahun ini. Mudah-mudahan ini memang bagian dari rencana Allah SWT. Agar kami tidak merasa berat dalam menjalani ibadah bulan Ramadhan, amin.


Tantangan yang jauh lebih besar justru adalah ketika harus melaksanakan shalat tarawih karena waktu Isya’ yang hampir mendekati pukul 12 malam. Kalau kami menunggu Isya tentu waktu tidur kami hanya sebentar dan dikhawatirkan nanti sahurnya kesiangan alias kebablasan. Karena itu biasanya setelah berbuka puasa dan shalat maghrib kami usahakan untuk langsung tidur dan baru melaksanakan shalat isya‘ dan shalat tarawih sebelum makan sahur. Bagi kami orang dewasa tentu lebih bisa mengatasi kurangnya jam tidur tetapi bagi anak-anak, rasanya tidak tega ketika harus membangunkan mereka pagi-pagi karena harus bersiap-siap untuk sekolah. Resiko tinggal di negara non muslim tentu saja tidak adanya dispensasi atau berkurangnya jam sekolah.


Kisah Ramadhan ini akan saya tutup dengan shalat Ied yang biasanya dilaksanakan di KBRI. Setelah shalat Ied kami bisa menyantap menu khas lebaran seperti lontong opor ayam, sambal goreng, rendang daging dan lain-lain yang disediakan oleh KBRI untuk warga Indonesia yang ada di Berlin. Seperti yang saya ceritakan di atas, selain warga Indonesia, ada juga warga asing seperti Malaysia, Singapore, Philipine, yang ikut shalat Ied di KBRI. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin bagi semua manusia di seluruh dunia.

Itulah sekelumit kisah Ramadhan yang kami jalani di negeri Hitler. Semoga bermanfaat dan selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. 

Oleh: Dee Fika, 30 Juli 2011

Dee Fika di Lynarstraße Berlin
Catatan admin tentang penulis:

Sebagai mana sahabat admin yang lainnya Dee Fika juga pernah singgah dengan note yang berbentuk puisi tentang hari jadi pernikahannya. Karena itu untuk perkenalan dengan Dee Fika silahkan, klik disini. 

Tulisan diatas admin terima via inbox pagi tadi jam 00.15 WIB atau malam jam 19.15 waktu Berlin (mungkin tuk disana tepatnya sore karena matahari baru terbenam Pkl. 21.00). Disitu Dee Fika memberi gambaran secara umum tentang suasana ramadhan di Berlin, kalaupun ada hal-hal yang secara khusus atau menarik lainnya tentang pengalaman ramadhan nya thn ini, insyaAllah iapun tak segan tuk berbagi cerita lagi pada kita.

Terimakasih Dee Fika telah sudi berbagi pengalaman ramadhannya, semoga ramadhan tahun ini dapat dijalankan dengan khusyu' dan tentunya tidak lebih berat dari tahun sebelumnya. Salam dari kami tuk keluarga dan sahabat di Berlin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar