Jumat, 29 Juli 2011

Berpuasa Ketika Safar/Bepergian

بسم الله الرحمن الرحيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha bahwasanya Hamzah bin ‘Amr Al Aslami pernah bertanya kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Apakah saya boleh berpuasa sewaktu safar ? (Beliau adalah orang yang banyak berpuasa) Nabi menjawab, “Jika kamu mau berpuasalah, dan jika kamu mau maka berbukalah.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1943, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1121, Malik dalam kitab Shiyaam I/295, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/9, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1662, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2042)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Ada keringanan untuk berbuka dalam kondisi safar, karena pada kondisi itu terdapat kesukaran.
2. Boleh memilih antara puasa atau berbuka bagi orang yang punya kekuatan untuk berpuasa, yang dimaksud dalam hadits ini adalah puasa Romadhon sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain yang dibawakan oleh Imam Abu Dawud dan Al Haakim (lihat Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal. 368-369).

Dari Anas bin Maalik rodhiyallohu ‘anhu beliau mengatakan: “Dahulu kami pernah bersafar bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan orang yang berbuka (juga) tidak mencela orang yang berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1947, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1118, Maalik dalam Al Muwaththo’ kitab Shiyaam I/295, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2405)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Bolehnya berbuka ketika safar.
2. Nabi mentaqrir (mendiamkan) perbuatan para sahabat yang berpuasa dan yang berbuka dalam kondisi safar, ini menunjukkan keduanya boleh dikerjakan (lihat Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal. 370)

Dari Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: “Kami pernah bepergian bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pada bulan Romadhon dalam keadaan udara yang sangat panas, sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat, di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan Abdulloh bin Rowahah.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1945, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1122, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2409 dan Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1663)

Bukan Termasuk Kebaikan Berpuasa Ketika Safar (?)
Dari Jaabir bin Abdulloh rodhiyallohu’anhu beliau berkata: Dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersafar, maka beliaupun melihat segerombolan orang dengan seorang lelaki yang diberi naungan di atasnya, maka beliaupun bertanya, “Apa ini ?” Mereka menjawab, “Orang yang sedang berpuasa.” Beliau bersabda, “Berpuasa di saat safar bukan termasuk kebaikan.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1946, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1115, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2407, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/175, Ad Daarimi dalam kitab Shoum II/9, Ahmad dalam Musnad-nya III/299, 317, 319, 399)
Dan dalam satu lafazh Muslim, “Ambillah rukhshoh dari Alloh yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1115).

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah
1. Bolehnya berpuasa ketika safar dan bolehnya mengambil rukhshoh yaitu dengan berbuka.
2. Berpuasa di waktu bersafar bukan kebaikan tetapi tetap sah dan sekedar menggugurkan kewajiban.
3. Yang lebih utama adalah mengambil rukhshoh dari Alloh yang telah ditetapkan-Nya untuk meringankan hamba-hamba-Nya lihat (Taisirul ‘Allaam Juz 1 hal. 371).

Meraih Pahala Lebih Dengan Berbuka
Dari Anas bin Maalik rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Dahulu kami bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan/safar di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Anas berkata: Kemudian kamipun singgah di suatu tempat dalam suasana siang yang begitu terik. Orang yang memiliki kain dialah yang bisa berteduh lebih baik, dan di antara kami ada yang melindungi (kepalanya) dari teriknya panas matahari hanya dengan tangan. Anas berkata: Maka para sahabat yang berpuasa menjadi lemah sedangkan para sahabat yang berbuka tetap dapat bekerja sehingga mereka dapat mendirikan tenda dan memberi minum binatang kendaraan. Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang berbuka berangkat dengan mendapatkan ganjaran pahala.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Jihad no. 2890, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1119)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah,
1. Boleh berbuka atau tetap puasa ketika bersafar, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari kedua kelompok sahabat dalam kondisinya masing-masing.
2. Keadaan duniawi para sahabat rodhiyallohu ‘anhum ketika itu yang cukup memprihatinkan, meskipun demikian hal itu tidak menghalangi mereka untuk menghadapi berbagai kesulitan dalam berjihad di jalan Alloh Ta’ala.
3. Keutamaan membantu saudara dan sanak keluarga, dan itu merupakan bagian dari agama dan sikap ksatria yang telah diterapkan lebih dahulu oleh generasi terbaik ummat ini, amat berbeda dengan perilaku kebanyakan orang yang sok tinggi lagi menyombongkan diri.
4. Berbuka ketika safar lebih utama, apalagi jika dibarengi dengan munculnya kemaslahatan berupa memperkuat diri demi menghadapi musuh atau semacamnya. Karena dalam kondisi seperti itu manfaat hanya bisa dipetik oleh orang yang puasa, sedangkan orang yang berbuka dapat memberikan manfaat lebih kepada orang lain. Dari sisi inilah alasan kenapa berbuka itu lebih utama.
5. Islam mendorong manusia agar giat bekerja dan meninggalkan kemalasan. Islam memberikan bagian pahala yang besar bagi orang yang giat bekerja serta mengutamakan dirinya daripada orang yang terputus dari kegiatannya dengan alasan beribadah (lihat Taisirul ‘Allaam hal. 374-375)
terputus dari kegiatannya dengan alasan beribadah (lihat Taisirul ‘Allaam hal. 374-375).

Menunda Qodho’ Sampai Sya’ban
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha beliau berkata: “Dahulu aku memiliki hutang puasa Romadhon, akan tetapi aku tidak bisa mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1950, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1146, Maalik dalam Al Muwaththo’ dalam kitab Shiyaam, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2399, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 783, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/191, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1669)
Dalam kitab Shohih-nya Imam Muslim memberikan riwayat tambahan, Hal itu karena kedudukan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (sebagai suamiku).

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Bolehnya mengakhirkan qodho’ puasa Romadhon sampai bulan Sya’ban selama ada alasan yang bisa diterima.
2. Yang lebih utama adalah menyegerakan qodho’ selama tidak ada hambatan, karena ‘Aisyah menjelaskan apa yang menyebabkan beliau melakukan demikian.
3. Tidak boleh menunda qodho’ hingga melampaui bulan Romadhon sesudahnya.
4. Keluhuran budi yang dicontohkan oleh ‘Aisyah (dalam perannya sebagai isteri), semoga Alloh menganugerahkan kepada kaum wanita kita kemampuan untuk meneladaninya (lihat Taisirul ‘Allaam hal. 376).

Hutang Puasa Orang yang Mati
Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dan punya hutang puasa maka walinya yang membayar puasanya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1952, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1147, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2400)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Zhohir hadits ini menunjukkan wajibnya mengqodho’ puasa si mayit, sama saja apakah puasa nadzar atau puasa yang secara asalnya wajib menurut syari’at (puasa Romadhon), ini menyelisihi pendapat Imam Abu Dawud yang menganggap hal itu hanya berlaku untuk puasa nadzar saja.
2. Orang yang menanggung hutang puasa adalah walinya yaitu orang yang akan mendapat bagian warisan apabila dia meninggal (lihat Taisirul ‘Allaam hal. 377).

Dari Abdulloh bin ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma beliau berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan, “Wahai Rosululloh sesungguhnya ibuku telah meninggal dan dia memiliki hutang puasa sebulan apakah aku harus mengqodho’ puasa itu baginya ?” Beliau menjawab, “Seandainya ibumu punya hutang, apakah engkau akan membayarkannya ?” Dia menjawab, “Iya” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka hutang kepada Alloh lebih berhak untuk ditunaikan.” (Hadits riwayat Al Bukhori di dalam kitab Shoum no. 1953 dan Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1148)

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa suatu saat ada seorang perempuan yang datang menemui Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan: “Wahai Rosululloh sesungguhnya ibuku telah meninggal dan dia memiliki hutang puasa nadzar apakah saya harus berpuasa menggantikannya ?” Beliau bersabda, “Bagaimana menurutmu seandainya ibumu memiliki hutang kemudian kamu membayarkannya, apakah hal itu bisa menunaikan hutangnya ?” Dia menjawab, “Iya” Beliau bersabda, “Maka berpuasalah untuk ibumu.” (Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shiyaam no.1148, 156)

Faedah yang bisa dipetik dari dua hadits di atas adalah:
1. Riwayat yang pertama menunjukkan bahwa hutang puasa mayit baik karena nadzar atau puasa wajib (Romadhon -pent) ditunaikan/diqodho’.
2. Riwayat yang kedua menunjukkan bahwa puasa yang ditunaikan hutangnya bagi si mayit adalah puasa nadzar.
3. Zhohir dari kedua hadits di atas menunjukkan kisah yang berbeda, yang satu terjadi pada seorang lelaki dan yang satunya terjadi pada seorang perempuan. Maka kandungan hukum keduanya dibiarkan sendiri-sendiri, riwayat yang pertama tidak disempitkan maknanya oleh riwayat yang kedua, jadi hukumnya tetap berlaku sebagaimana keumuman riwayat yang pertama (yaitu hutang puasa yang harus diqodho’ adalah puasa wajib, baik karena nadzar atau puasa Romadhon-pent).
4. Alasan ditunaikannya tanggungan si mayit yang terdapat di dalam hadits ini berlaku secara umum dalam masalah tanggungannya kepada Alloh, hutang piutang dengan sesama makhluk, kewajiban karena nadzar serta kewajiban lain yang pada asalnya memang diwajibkan oleh syari’at, maka semuanya harus ditunaikan (diqodho’) bagi si mayit. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh Abdurrohman Alu Sa’di menukil dari Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah rohimahumalloh.
5. Di dalam hadits tersebut terkandung penetapan tentang keabsahan dalil qiyas/analogi yang merupakan salah satu pokok yang dipegang oleh Jumhur ulama’ dalam menyimpulkan dalil. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memberikan permisalan bagi mereka berdua (lelaki dan perempuan yang bertanya -pent) dengan permisalan yang sudah disepakati oleh mereka agar memudahkan pemahaman dan supaya hal itu semakin mudah dicerna oleh pikiran mereka, karena sesungguhnya menyerupakan sesuatu yang jauh (agak sulit dijangkau) dengan sesuatu yang dekat (mudah dipahami) akan mempermudah pemahaman dan pengertian.
6. Dalam sabda Nabi “Hutang Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” terkandung dasar hukum didahulukannya zakat dan hak-hak Alloh dalam hal harta apabila hak-hak-Nya dan hak-hak anak Adam saling berbenturan pada harta yang ditinggalkan oleh orang yang mati. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa hak-hak tersebut disamaratakan (lihat Taisirul ‘Allaam juz I, hal. 380-381).

Larangan Puasa Wishol (Bersambung)
Dari Abdulloh bin ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang puasa wishol. Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya anda juga mengerjakan wishol.” beliau bersabda, “Sesungguhnya keadaanku tidak sebagaimana kalian, aku diberi makan dan diberi minum.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1962, Muslim dalam kitab Shiyaam 1102, Maalik dalam Al Muwaththo’ di kitab Shiyaam, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2320)
Dan dalam riwayat Bukhori dari Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu Nabi bersabda, “Barangsiapa di antara kalian ingin wishol maka hendaklah dia wishol (tidak berbuka) sampai waktu sahur.” (Hadits riwayat Al Bukhori no. 1963 dalam kitab Shoum, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2361, Ad Daarimi II/8 dalam kitab Shoum dan Ahmad dalam Musnad-nya III/87)
Al Imam An Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan wishol adalah: berpuasa selama dua hari dan seterusnya tanpa sedikitpun makan dan minum dalam rentang waktu tersebut (lihat Syarah Muslim Jilid IV hal. 434)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Diharamkannya puasa wishol.
2. Wishol boleh dikerjakan bagi orang yang mampu melakukannya sampai waktu sahur dan meninggalkannya itu lebih utama.
3. Kasih sayang Pembuat syari’at Yang Maha bijaksana yang amat menyayangi ummat ini dalam bentuk pengharaman segala sesuatu yang membahayakan diri mereka.
4. Larangan berlebih-lebihan/melampaui batas dalam beragama, karena sesungguhnya syari’at ini adalah syari’at yang lapang dan penuh keseimbangan, dengan menunaikan hak kepada Robb dan juga menunaikan hak badan. Sesungguhnya kewajiban-kewajiban syari’at itu dibebankan demi mencapai kemaslahatan yang nantinya akan kembali kepada hamba itu sendiri, baik dari sisi diniyah maupun duniawiyah. Dan karena perhatian Pembuat syari’at terhadap maslahat tersebut maka hal itu menjadi faktor pendorong pembebanan kewajiban kepada hamba.
5. Puasa wishol merupakan salah satu kekhususan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam karena hanya beliaulah yang benar-benar sanggup untuk melaksanakannya, dan tidak ada seorangpun yang bisa mencapai keadaan sebagaimana yang dimiliki beliau.
6. Makna ungkapan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam diberi makan dan minum dalam hadits ini artinya beliau dianugerahi kelezatan bermunajat kepada Alloh dan kegembiraan jiwa yang amat besar yang meliputi dirinya sebab keinginan berjumpa dengan Dzat yang paling dicintainya. Banyak bukti pada manusia yang menguatkan pendapat ini, dan kenikmatan seperti hanya bisa dicapai oleh Kekasih Ar Rohman dan orang yang paling dicintai-Nya yaitu Muhammad sholawaatulloohi wa salaamuhu ‘alaihi dan tidak ada seorangpun yang bisa mengejar beliau dalam perkara ini [akan tetapi makna diberi makan dan minum dalam hadits ini yang lebih tepat Wallohu a'lam adalah sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, artinya: Alloh menganugerahkan kepada beliau kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum (lihat Syarah Muslim Juz IV hal. 435)].
7. Tenggelamnya matahari adalah waktu untuk berbuka puasa. Dan orang yang berpuasa tidaklah dihukumi sudah berbuka dengan masuknya waktu berbuka -sebagaimana sudah dijelaskan di depan-, kalau tidak demikian niscaya tidak ada artinya wishol sebab secara otomatis ketika matahari tenggelam dia telah dihukumi berbuka karena sudah masuk waktunya.
8. Di dalam hadits ini terkandung kekhususan yang hanya dimiliki Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang merupakan pengecualian terhadap (keumuman dalil-pent) firman Alloh Ta’ala yang artinya, “Sungguh telah ada teladan yang baik bagimu pada diri Rosululloh.” (QS. Al Ahzaab: 21) (Taisirul ‘Allaam juz I hal. 386).

Puasa Dawud
Dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam diberitahu bahwasanya aku pernah berkata, “Demi Alloh, sungguh aku akan berpuasa sepanjang siang dan dan sholat malam sepanjang hidupku.” Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah benar kamu yang mengucapkan itu?” Maka akupun menjawab, “Benar, ayah dan ibuku sebagai tebusannya aku memang benar-benar telah mengatakannya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup melaksanakannya maka berpuasa dan juga berbukalah, tidur dan sholat malamlah, dan berpuasalah 3 hari di setiap bulan, karena satu kebaikan itu dilipatkan pahalanya senilai 10 kebaikan, dan itu sudah seperti puasa sepanjang masa/puasa Dahr.” Aku berkata, “Sesungguhnya saya mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka puasalah sehari dan tidak puasa 2 hari.” Aku berkata, “Sesungguhnya saya mampu lebih dari itu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu maka puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari Itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihis salam, dan itu merupakan puasa yang paling utama.” Maka akupun mengatakan, “Sesungguhnya saya mampu melakukan yang lebih utama dari itu.” Beliau bersabda, “Tidak ada lagi (puasa) yang lebih utama darinya.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1976, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1159)
Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Tidak ada puasa yang boleh dikerjakan melebihi puasa saudaraku Dawud ‘alaihis salam selama separoh masa, maka berpuasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1979 dan no. 6277 dalam kitab Isti’dzan)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Keinginan kuat yang dimiliki Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash dalam melakukan kebaikan dan kekuatan beliau dalam melakukannya, sampai-sampai beliau bersumpah untuk mengerjakan puasa sepanjang masa dan sholat sepanjang malam.
2. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengetahui kapasitas kemampuan dalam mengerjakan amalan dan dampaknya, sehingga beliau bisa mengabarkan kepada Abdulloh bin ‘Amr bahwasanya dia tidak akan mampu melakukannya, ini artinya hal itu akan memberatkan dirinya dan itu benar-benar dialaminya kemudian.
3. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menentukan amalan berdasarkan kemampuan pelakunya. Pada awalnya beliau membatasi Abdulloh bin ‘Amr untuk mengerjakan puasa 3 hari dalam setiap bulan, dan ketika dia meminta tambahan beliau melihat di dalam dirinya terdapat keinginan yang kuat dan kemampuan sehingga beliau memerintahkan, “Berpuasalah sehari dan tidak berpuasalah 2 hari.” Kemudian ketika dia menampakkan keinginannya yang amat kuat dan meminta tambahan lagi maka beliau menunjukkan kepadanya amalan puasa yang paling utama, beliau bersabda, “Maka berpuasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.”
4. Batasan maksimal puasa yang paling utama adalah sehari puasa dan sehari tidak berpuasa, itulah puasa yang dilakukan Nabi Dawud ‘alaihis salaam.
5. Makruhnya puasa sepanjang masa (puasa Dahr) karena amalan itu menyimpang dari sabda Nabi ‘alaihi sholaatu wa salaam dalam sebuah hadits, “Tidak sah puasanya orang yang berpuasa selamanya.”
6. Kelapangan syari’at ini yang di dalamnya tindakan berlebihan dan melampaui batas dibenci, sebab aturan syari’at menuntut adanya kemudahan dan kelapangan, karena hal itu lebih menggiatkan amalan dan lebih bisa dikerjakan secara kontinyu (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 388).

Puasa dan Sholat yang Paling Dicintai Alloh
Dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Alloh adalah puasa Dawud dan sholat yang paling dicintai Alloh adalah sholatnya Dawud; beliau itu tidur setengah malam dan bangun di sepertiga sesudahnya lalu tidur seperenam malam sisanya, dan beliau senantiasa berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Tahajjud no. 1131 dan dalam kitab Ahaaditsul Anbiyaa’ no. 3402, Muslim dalam kitab Shiyaam 1159, 189, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2448, Ad Daarimi II/20 dalam kitab Shoum, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1712 dan Ahmad dalam Musnad-nya II/160)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Sehari berpuasa dan sehari berbuka merupakan amalan puasa yang paling utama karena di dalamnya sudah menyamai puasa Dahr.
2. Tidur di setengah malam pertama, kemudian bangun untuk sholat di sepertiga sesudahnya, lalu tidur seperenam sisanya merupakan tata cara sholat malam yang paling utama karena pada cara ini tubuh dipenuhi kebutuhannya untuk beristirahat terlebih dulu kemudian bangun malam di waktu-waktu turunnya Alloh ke langit dunia lalu tidur seperenam sisanya supaya tubuh lebih segar dalam melakukan sholat shubuh dan untuk berdzikir sesudahnya.
3. Ibadah itu penuh keseimbangan dan keadilan, sehingga tidak boleh lalai dari beribadah kepada-Nya dan juga tidak boleh berlebih-lebihan dalam mengerjakannya, karena Robbmu itu memiliki hak atasmu, demikian juga keluargamu maka tunaikanlah setiap hak kepada pemiliknya.
4. Alloh Tabaaroka wa Ta’aala telah menyediakan berbagai macam ibadah bagimu, apabila kamu terlalu memforsir diri hanya pada salah satunya bisa saja menyebabkan yang lainnya tertinggal, maka sudah semestinya kamu sisakan kekuatan untuk mengerjakan yang lainnya. Kebiasaan yang berjalan pada manusia seperti bergaul dengan keluarga, mengunjungi sahabat-sahabat, mencari rizki, berbincang-bincang dengan anak-anak, tidur; itu semua bisa bernilai ibadah apabila diniatkan untuk meraih pahala dan menunaikan hak-hak sesama. Jadi keutamaan yang Allah sediakan amatlah luas dan kebaikan-Nya amatlah agung (lihat Taisirul ‘Allaam Juz I hal. 388).

Puasa 3 Hari Setiap Bulan
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: “Kekasihku shollallohu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku dengan tiga perkara: Puasa 3 hari setiap bulan, sholat 2 rokaat Dhuha dan sholat witir sebelum tidur.” (Hadits riwayat Al Bukhori di kitab Shoum no. 1981, kitab Tahajud no. 1178, Muslim dalam kitab Sholatul Musafirin no. 721, Abu Dawud dalam kitab Sholat no. 1432, Ad Daarimi dalam kitab Sholat I/339, II/18,19 di kitab Shoum, Ahmad dalam Musnad-nya II/258, 271, 277, 402, 459, 497, 526)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Disunnahkan puasa tiga hari setiap bulan, yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Qotadah bin Malhan yang diriwayatkan oleh Ahlu Sunan, beliau mengatakan: Dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk puasa pada hari-hari putih yaitu pada tanggal 13, 14 dan 15, dan beliau mengatakan “Puasa ini setara dengan puasa sepanjang masa.”
2. Disunnahkan melakukan sholat Dhuha serta sering-sering melakukannya bagi orang yang tidak kuat bangun sholat malam agar dia tidak kehilangan sholat (sunnah) siang dan malam sekaligus.
3. Mengerjakan witir sebelum tidur bagi orang yang berdasarkan perkiraan kuat tidak kuat untuk bangun di akhir malam, adapun orang yang merasa kuat untuk bangun di akhir malam hendaknya dia mengerjakan di akhir malam, dan apabila luput darinya karena tidur atau lupa disunnahkan untuk mengqodho’nya.
4. Tiga hukum yang disebutkan dalam hadits ini termasuk wasiat Nabi yang sangat berharga yang sudah semestinya diperhatikan dan bersemangat dalam mengerjakannya, sebab mengandung manfaat yang amat besar dan kedudukannya sangat mulia (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal 390).

Larangan Puasa di hari Jum’at
Dari Muhammad bin ‘Abbaad bin Ja’far beliau mengatakan: “Aku pernah bertanya kepada Jabir bin ‘Abdillah: ‘Apakah Nabi shollallohu ‘alihi wa sallam melarang puasa di hari Jum’at?’ Dia menjawab: ‘Ya.’” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1984, Muslim dalam kitab Shiyam no. 1143)
Imam Muslim memberikan tambahan riwayat: “(ya) Demi Rabb ka’bah.”
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau bekata: Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa di hari Jum’at, kecuali sehari sebelum atau sesudahnya berpuasa.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1985, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1144, Abu Dawud dalam kitab Shoum no. 2420, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 743, Ibnu Maajah di kitab Shiyam no. 1723)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Larangan mengerjakan puasa di hari Jum’at saja.
2. Hal itu boleh dilakukan apabila diiringi puasa sehari sebelum atau sesudahnya, atau karena bertepatan dengan puasa yang sudah biasa dikerjakan (misal Puasa Dawud, pent).
3. Larangan puasa di dalam hadits ini dibawa menuju hukum makruh li tanzih (bukan haram) karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa pada hari itu dalam rangkaian puasa yang biasa beliau lakukan. Beliau memberikan keringanan bolehnya berpuasa pada hari itu apabila diiringi dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya, seandainya larangan ini dibawa ke hukum haram niscaya tidak boleh puasa di hari itu sebagimana haramnya berpuasa di hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (lihat Taisirul’Allaam juz I hal. 391).

Larangan Puasa di Hari Raya
Dari Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar yang bernama Sa’ad bin ‘Ubaid, beliau berkata: “Aku pernah menghadiri hari raya bersama ‘Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhu dan beliau berkata dalam khotbahnya: Dua hari raya ini dilarang oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk mengerjakan puasa, yaitu hari kalian ber idul fithri dan hari kalian menyembelih kurban.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Shoum no. 1990, kitab Al Adhoohi no. 5571, Muslim dalam kitab Shiyaam no. 1137, Abu Dawud no. 2416, At Tirmidzi dalam kitab Shoum no. 771, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1772)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Diharamkan berpuasa pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.
2. Puasa pada dua hari itu tidak dianggap sebagai puasa sehingga hukumnya tidak sah apabila dilakukan, sama saja apakah karena qodho’ atau puasa sunnah, atau puasa nadzar.
3. Hikmah larangan puasa pada hari itu adalah sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits: masuknya Idul Fithri adalah tanda berakhirnya bulan Romadhon maka hendaknya dibedakan dan supaya diketahui batas puasa wajib dengan merayakan Idul Fithri. Demikian pula beliau melarang puasa sehari atau dua hari sebelum Romadhon dalam rangka membedakan bulan puasa ini dengan bulan-bulan yang lainnya.
4. Disunnahkan bagi khothib mengingatkan hukum-hukum yang terkait dengan kondisi pada saat dia berbicara dan hendaknya dia berusaha memilih tema-tema yang bersesuaian (Lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 392).

Balasan Bagi Orang yang Berpuasa Ketika Berjihad Fii Sabiilillaah
Dari Abu Sa’id Al Khudri rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa berpuasa sehari ketika berjihad di jalan Alloh niscaya Alloh akan menjeuhkan wajahnya dari apai neraka sejauh perjalanan 70 tahun.” (Hadits riwayat Al Bukhori dalam kitab Jihad no. 2840, Muslim dalam kitab Shiyaam 128,1153, At Tirmidzi dalam kitab Fadhooilul Jihad no. 1623, An Nasaa’i dalam kitab Shiyaam IV/173, Ibnu Maajah dalam kitab Shiyaam no. 1717)

Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
1. Keutamaan berpuasa di tengah suasana jihad fii sabiilillaah serta pahala agung yang akan diberikan atasnya.
2. Disunnahkannya berpuasa ketika jihad dengan syarat tidak melemahkan kekuatan berjihad, apabila berpuasa justru membuatnya lemah maka disunnahkan baginya meninggalkan puasa karena jihad termasuk maslahat umum yang lebih luas cakupannya adapun puasa maslahatnya hanya terbatas pada diri orang yang berpuasa, karena semakin luas kemaslahatan yang terkandung dalam suatu ibadah maka itulah yang lebih utama (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 394).

Demikianlah beberapa buah hadits yang berkenaan dengan ibadah puasa beserta faedah-faedah yang bisa dipetik darinya. Semoga bermanfaat. Alhamdulillaahilladzii bi ni’matihi tatimmu sholihaat.

Departemen Ilmiah Divisi Bimbingan Masyarakat
Lembaga Bimbingan Islam Al Atsary Jogjakarta

***
Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Sumber:
http://www.facebook.com/pages/-Sahabat-Cinta-Berbagi-Ilmu-/147189428676512?sk=info


Tidak ada komentar:

Posting Komentar