Senin, 11 Juli 2011

Siapakah Aku?

“Wahai hamba Allah... sayangilah dirimu..., sesungguhnya orang yang paling butuh kepada nasehat-nasehatmu yang kau bagikan di status facebook adalah dirimu sendiri sebelum orang lain”. (Status FB – Hamba Allah)
 
Astaghfirullaah....... ! saya terhenyak membaca status seorang sahabat. Bukan karena tidak tahu, tapi seperti diingatkan jika selama ini ternyata saya lebih suka menujuk keluar dari pada merujuk kedalam. Alhamdulillah jika ini merupakan sentilan dari-Nya dan tentu terimakasih dari lubuk hati terdalam tuk sahabat yang telah mengingatkan.

Pada Firman-Nya juga ditegaskan:  
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
(Ash-Shaff/61: 2-3)

Tentu saja kita harus bisa dan bijak meletakan, baik tulisan sahabat diatas ataupun firman-Nya itu, pada proporsi yang benar yaitu sebagai peringatan yang sugestif agar kita lebih cerdas lagi membaca dan memaknai ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan-Nya.  
Jika tidak, kita akan terjebak dalam keraguan untuk menulis atau mengatakan hal-hal yang baik ketika kita ragu apakah kita bisa melakukan /mengerjakannya. Semoga dengan itu pula-lah kita akan tersugesti tuk melakukan hal-hal baik dari apa yang kita tulis atau katakan, tentunya setelah kita mau dan mampu melihat kedalam diri.
Diatas saya menulis kata ‘ragu’ dalam bersikap bahkan lebih jauh timbul sikap ambivalent (perasaan yg bertentangan); disatu pihak kita disuruh berkata yang baik, tapi dilain pihak kita ‘sepertinya dilarang’ mengatakan apa yg tidak dapat kita lakukan/kerjakan/perbuat.
Secara sederhana bisa saja kita putar logika atau pengertian dari ayat tsb dgn tetap berpegang pada substansi dan nilai yg dikandungnya, sehingga lebih bersifat suggestif. 
Jangan mengatakan hal yg tidak dapat kita lakukan = Mengharuskan kita tuk melakukan apa yg kita katakan (hal-hal yg baik tentunya)

Masalahnya menjadi tidak sederhana ketika kita kerap terbentur dan terkendala dalam menerapkannya, saya tahu bohong itu salah, tapi saya kerap melakukannya, seperti juga saya tahu bahwa berkata benar dan jujur itu harus- tapi sulit mempraktekannya. (sengaja kata “kita” diganti “saya” saja agar lebih aman... he he he... jgn terlalu serius ah biar ga ngantuk bacanya). So, what wrong with us?

Rupanya Sang Khaliq ‘memahami’ kegundahan hati makhluq-Nya, sehingga Dia ‘berbaik hati’ memberikan solusinya, antara lain pada QS,Al-Israa': 14

"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu."   
Banyak orang yg bisa membaca (dlm arti yg luas) tapi tak mendapat apapun (hidayah/petunjuk) dari apa yg dibacanya, itu karena mereka hanya menerapkan semangat membacanya saja (dengan nalar) tanpa mengikut sertakan hati (pandangan mata batin) dan penciptanya. Pandangan mata batin menembus sekat ruang dan waktu. Pandangan mata batin itulah yang disebut ma`rifat, orang yang memiliki ma`rifat disebut `arif. (bukan arif dalam bahasa Indonesia.)  
Pada QS-Al Israa':14 diatas misalnya ada beberapa message yg dpt kita ambil, diantaranya; Allah menyuruh kita tuk bisa 'melihat kedalam' diri agar kita lebih 'tahu diri' dan akhirnya kenal diri (‘arif). Lho... kenapa?, untuk apa?

MAN 'AROFA NAFSAHU FAQOD 'AROFA ROBBAHU' (Barang siapa yang kenal dirinya maka dia akan kenal Tuhannya)
Maksudnya, kesadaran orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan ketidak terbatasan dan kemutlakan Tuhan. Jadi kenal diri sebagai terbatas, adalah isyarat kenal tentang Tuhan sebagai Yang Tak Terbatas, yang bersifat serba Maha.

Asal kata bahasa Arabnya `arofa >ya’rifu>ma`rifat >`arif>ma`ruf yang arti dasarnya adalah kenal. Kenal berbeda dengan tahu. Tahu bersifat kognitif, bersifat pengetahuan, berbasis pengamatan atau teori. Sedangkan kenal sudah bersifat afektif berbasis pengalaman langsung.

Ada seorang wanita yang sudah hidup bersama dengan suaminya selama 20 tahun, ternyata ia belum mengenal siapa sesungguhnya suaminya itu. Ia dibuat terkaget-kaget setelah mengenal siapa sesungguhnya manusia yang sudah seranjang selama duapuluh tahun, karena selama ini ia keliru pandang atau tertipu oleh penampilan lahir.

`Arif bukan hanya bermakna horizontal tetapi juga vertikal. Orang yang secara vertikal sudah `arif disebut mencapai ma`rifat, yaitu mengenal Allah, bukan sekedar tahu ada Allah. Oleh karena seorang `arif sudah mengenal Tuhannya sebagai Yang Maha Baik, maka ia tabah ketika menerima kegagalan atau musibah, karena boleh jadi musibah itu hanya sekedar ujian yang diberikan Allah kepadanya. Ia sadar-sesadarnya bahwa kesulitan adalah bagian dari sistem kehidupan. Ia sadar bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan sistem hukum dimana tidak ada gelap yang selamanya, setiap habis gelap pasti terbit terang.

Begitupun dalam hidup, dibalik kesulitan ada kemudahan. Orang arif tetap tersenyum dalam kesulitan, bersiap kecewa dan sedihpun tanpa kata-kata, karena ia melihat makronya kehidupan, bukan mikronya. Sedangkan orang yang belum `arif mudah frustrasi, mengeluh dalam kesulitan, tidak siap kecewa, dan jika bersedih ia ungkapkan dengan berbagai kata cacian,karena ia hanya bisa melihat kehidupan secara mikro dengan dirinya menjadi pusat perhatian. Kata hadis Nabi, seorang `arif adalah juga orang yang sudah mengenali siapa dirinya dalam struktur makro, horizontal dan vertikal, maka iapun tahu diri. Jika orang sudah benar-benar mengenal siapa dirinya, pasti ia mengenal siapa Tuhannya.

Dalam tingkah laku nyata, “kenal diri” itulah yang membuat orang juga "rendah hati". Dan sikap rendah hati itu adalah permulaan adanya sikap jiwa yang suka menerima atau receptive terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman dan jalan menuju Kebenaran. 
Sikap rendah hati dan kenal dirilah yang dapat dijadikan modal bagi kita untuk dapat cerdas "membaca" tanda2 kekuasaan-Nya baik diluar ataupun didalam diri kita. Sikap tersebut mendorong kita untuk bersikap terbuka dengan kata lain "sikap terbuka" itu sendiri adalah bagian dari sikap ”kenal diri”, yaitu tahu bahwa diri sendiri mustahil mampu meliputi seluruh pengetahuan akan kebenaran.

Hidayah memang harus dijemput dan dicari layaknya rizqi dan untuk itulah kita butuh sikap terbuka. Terbuka seluruh indra, hati, akal dan budi dalam membaca ayat-ayat Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya termasuk yg ada pada diri kita) sehingga hati kita tidak tertutup, jiwa kita tetap terbuka terhadap kebenaran yang mengandung kebaikan. Hal ini ditegaskan dalam Firman-Nya:

Yaitu mereka yang mendengarkan perkataan, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Alloh, dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi ( “ulu al-albab” ) (QS. Al-Zumar/39: 18).

Dalam firman itu dijelaskan bahwa salah satu ciri orang yang memperoleh petunjuk atau hidayah Allah ialah bahwa ia suka belajar mendengarkan perkataan ( al-qawl )- yang kata al Razi dan al-Thabari dapat meliputi sabda-sabda Nabi dan firman Ilahi , serta pendapat sesama manusia, kemudian dia berusaha memahami apa yang dia dengar itu dan mengikuti mana yang terbaik. Disebutkan pula dalam firman itu bahwa orang-orang yang berperilaku demikian itu orang-orang yang berakal budi
( “ulu al-albab” )
Termasuk sikap seorang ‘arif adalah suka belajar menyalahkan dan mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang lain. Para salaf menasehati agar kita tatkala melihat orang lain, berusahalah untuk melihat kebaikan-kebaikan mereka, adapun tatkala melihat diri kita sendiri maka hendaklah kita berusaha melihat kekurangan-kekurangan kita agar kita tidak tertimpa penyakit ujub, dan mengakui serta menghargai kelebihan orang lain, serta berusaha mencari udzur untuk kesalahan orang lain.
Semoga ada manfaat dan pelajaran yang dapat dipetik dari tulisan ini, khususnya tuk pribadi yang masih jauh dari sifat dan sikap tersebut dan umumnya tuk sahabat pengunjung, pembaca.
Oleh: AS 110711-1:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar