Sabtu, 02 Juli 2011

BELAJAR TAWADHU DARI DR YUSUF QARDHAWI

Syekh Al-Qaradhawi memberikan sebuah pelajaran penting bagi para ulama dan pendakwah di masa sekarang. Dalam sebuah pertemuan dengan murid-muridnya di Ibukota Qatar pada 14-16 Juli lalu, beliau berkata, “Demi Allah saya bukan seorang pemimpin. Saya juga bukan seorang Imam. Saya hanyalah seorang tentara dari sekian banyak tentara Islam. Dan, saya hanyalah seorang tilmîz (murid). Saya akan senantiasa menjadi tilmîz dan menuntut ilmu hingga akhir perjalanan hidup.”
 
Ini merupakan ungkapan salah seorang ulama besar di zaman ini. Beliau adalah dai yang mampu memadukan antara salafiah dan pembaruan; konsep dasar dan pengembangannya; konsep dan realita; fikrah dan gerakan; serta fokus terhadap Fiqh Al-Sunan, Fiqh Al-Maqasid, dan Fiqh Awlawiyat. Sehingga beliau mampu menyeimbangkan antara Tsawâbit Al-Islâm (hal yang tidak bisa berubah dalam Islam) dan Mutaghaiyirât Al-‘Ashri (hal yang bisa berubah).
 
Beliau menulis lebih dari 80 buku yang memenuhi perpustakaan di berbagai belahan dunia Islam. Buku-buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa yang tersebar di berbagai negara. Sebagian bukunya dicetak ulang sebanyak sepuluh kali. Seiring dengan itu, beliau masih menganggap dirinya sebagai penuntut ilmu, dan bukan seorang ‘âlim maupun imam. Beliau mengungkapakan, “Saya masih membutuhkan orang-orang yang memberi tambahan ilmu. Atau berbagi pengalaman yang bermanfaat; seperti yang dikatakan burung Hud Hud kepada Nabi Sulaiman, “Saya datang kepadamu dengan membawa sebuah berita besar…(Al-Namlu: 22).”
 
Ulama besar ini bersikap terbuka terhadap berbagai hal baru yang bermanfaat. Seperti dalam bidang tekhnologi, beliau termasuk pendakwah pertama yang fokus terhadap internet, sehingga beliau menggagas berbagai situs-situs Islami. Selain itu, beliau juga menggunakan berbagai sarana dakwah lainnya, seperti koran, majalah, televisi, radio, dan sebagainya.
 
Selain itu, Al-Imam Al-Qaradhawi menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Beliau adalah ulama rabbani yang tidak meninggalkan lapangan nyata. Bahkan beliau bergerak di garda terdepan. Misalnya, beliau memimpin Lembaga Al-Quds Internasional (Al-Quds Al-Dauliyah) yang bekerja untuk membantu masyarakat Palestina. Khususnya turut membantu menyelesaikan permasalahan Al-Quds dan masyarakat Palestina yang terjajah.
 
Di samping itu, beliau juga memimpin Persatuan Ulama Internasional (Al-Ittihâd Al-‘Alami Li Al-Ulamâ Al-Muslimîn). Lembaga ini bertujuan untuk menyatukan fikrah ulama dan tidak terjerumus dalam perpecahan; menguatkan barisan ulama dan menjauhkan kelemahan.
 
Beliau juga memimpin Muktamar Al-Qaumi Al-Islami yang di antara tujuannya adalah menjauhkan perpecahan umat, menghadapi penjajahan, kesewenang-wenangan yang merugikan umat Islam, dan sebagainya.
 
Beliau juga memimpin Majlis Eropa untuk berdakwah dan berfatwa. Sehingga beliau mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari berbagai solusi terhadap permasalahan Islam yang terjadi di Barat.
 
Oleh karena itu, sungguh para dai di zaman ini perlu memperhatikan perjalanan dakwah imam ini. Mempelajari kesungguhannya dalam berdakwah dan pergerakan Islam.
 
Tawadhu’, lapang dada, terbuka terhadap khilâfiyah, toleransi, menolak fanatisme, dan berilmu tinggi merupakan sifat yang melekat pada Syekh Al-Qaradawi. Sehingga dengan sifat-sifat itu, dakwah beliau mudah diterima dan berpengaruh kuat. (Rsl/Myj) 
Sumber : sinaimesir.com


Oleh Nizma Agustjik (Album)  · Diambil di DOHA, QATAR


                                        BIOGRAFI SINGKAT DR. YUSUF QARDHAWI:


Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur'an. Menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qardhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Dan lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan", yang kemudian di sempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam "pendidikan" penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidak adilan rejim saat itu.
Qardhawi memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dan hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.
Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.
Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah, karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.
Profil Syekh Yusuf Al-Qardhawi dapat diikuti secara lengkap di situs Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar