Rabu, 17 Juli 2013

Ramadhan di Norwegia (7)

Edisi Home Schooling

Kalau anak sekolah di Indonesia tetap bersekolah di sebagian besar bulan Ramadhan, anak sekolah di Norwegia justru sudah mulai libur sejak pertengahan Juni lalu hingga pertengahan Agustus nanti. Tentu liburan panjang ini tak ada hubungannya dengan Ramadhan dan Lebaran, melainkan karena Norwegia menerapkan sistem liburan musim panas yang panjang selama dua bulan penuh! Kebetulan saja tiga Ramadhan terakhir bertepatan dengan musim panas. Jadi keluarga kecil kami selalu bisa mudik menjelang Lebaran tanpa terlalu banyak mengorbankan waktu sekolah si bocah.

Beruntunglah teman - teman muslim di mana anak - anak mereka bisa memanfaatkan momen Ramadhan dengan pesantren Ramadhan dan program religius lainnya, jadi orang tua tak perlu pusing menyiapkan materi sendiri untuk itu. Di sini? Tentu saja jauh berbeda. Jangankan pesantren Ramadhan, mencari guru mengaji pun susahnya bukan main. Sebagai orang tua, sebaiknya kondisi minimalis ini bukan jadi penghalang untuk tetap memperhatikan kebutuhan religius anak, bukan?

Dengan berbekal berbagai buku panduan pengajaran agama Islam untuk anak yang kudapat dari hasil berburu setiap mudik, dan juga bermacam buku penunjang belajar sekolah, buku cerita dan lainnya, menjelang libur panjang sekolah biasanya aku mulai menyusun jadwal kegiatan harian si bocah, yang mencakup bermain dan belajar (dengan porsi yang kurang lebih seimbang).

Bagaimana materi dan kurikulumnya?
Aku jelas bukan pendidik atau psikolog anak secara profesi, jadi jujur saja aku tak akrab dengan berbagai metode pedagogik rancangan ahli manapun. Bisa dibilang metode yang kupakai adalah a la Bunda Icha, yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pribadi si bocah. Inilah keuntungan punya anak semata wayang: bisa fokus sepenuhnya untuk perkembangan si anak. 

Sistem yang kurancang sederhana saja. Biasanya jadwal belajar dimulai setelah si bocah bangun dan mandi pukul 10.00. Dimulai dengan mengaji (berbekal buku Iqro') selama 30 menit. Kemudian istirahat sekitar 10 menit. Dilanjutkan dengan belajar matematika selama 30 menit, setelah itu si bocah boleh bermain apapun selama 2 jam (kecuali menonton TV atau bermain iPad karena itu ada waktu tersendiri yang kubatasi). Jam istirahat ini biasa kumanfaatkan untuk sholat dhuha dan tadarrus.
Setelah berbuka puasa dan ba'da sholat dhuhur, dia kuharuskan istirahat siang selama 2 jam.
Bangun tidur, dia boleh main dan nonton TV atau lainnya selama 1 jam. Setelah itu lanjut dengan menggambar, melukis, membaca atau menulis apapun yang dia inginkan (baik untuk melatih konsentrasi dan kemampuan motoriknya). Selesai dengan kegiatan yang satu ini, kalau cuaca memungkinkan, dia boleh main di sekitar rumah (naik sepeda, mencari serangga, atau bermain di taman kompleks). 
Setelah dia makan malam, jadwal selanjutnya adalah sholat 'asar, kembali mengaji, dan belajar matematika lagi. Hari ditutup dengan sesi "bedtime stories" yang bergantian kami lakukan. Kadang aku yang mendongeng, kadang si bocah mendongengi bundanya.

Di mana si ayah? Beliau bekerja mencari nafkah, tentu saja. Ayah tetap berperan, dengan meluangkan waktu juga untuk bermain dan mengajari si bocah pengetahuan lain (terutama dunia fauna dan sains).
Atas kesepakatan bersama, tugas "sekolah di rumah" adalah tugas Bunda. Dan hal ini dengan senang hati kujalani. Nikmat lho menjadi guru untuk anak sendiri. Banyak seninya. Berdasarkan pengalaman singkatku menjadi guru TK di negeri ini, mengajari anak sendiri terkadang lebih sulit daripada mengajari anak orang. Harus lebih disiplin namun harus tetap menyenangkan. Istilahnya tarik ulur begitu.

Sobat, metodeku ini belum tentu bisa diterapkan oleh orang lain, yang tentunya berbeda situasi dan kondisinya. Namun ini hanya sebagai gambaran, bahwa orang tua manapun bisa menjadi guru bagi anaknya sendiri. Selagi sarana dan prasarana memadai, tinggal kemauan dan konsistensi orang tua sajalah penggerak utamanya.

Walaupun kemungkinan besar hasil pengajaranku tertinggal jauh dengan hasil pengajaran a la sekolah atau guru mengaji profesional, tapi aku bersyukur bisa menjalani peran yang satu ini selagi aku mampu, selagi si anak masih sangat lentur dan kemampuan otaknya masih luar biasa potensial. Ada rasa syukur dan bangga terbersit di sanubari ini, setiap kali ada yang bertanya, "siapa yang mengajarimu membaca, berhitung (termasuk menghitung uang!), sholat dan mengaji?", dan si bocah selalu menjawab "Bunda". Paling tidak aku (dan suami) sudah bisa menegakkan prinsip "pendidikan sejati dimulai dari rumah", dan "ibu adalah guru bagi generasi penerus bangsa". Aku yakin sangat banyak sahabat di luar sana yang juga sudah menerapkan metode mereka sendiri untuk mendidik anak, dan malah sudah bisa pula melihat hasil positifnya.

Aku yakin kita semua bisa ya menjadi guru terbaik bagi anak - anak kita? Harus yakin dan semangat dong! Insya Allah bisa.


Haugesund, 15 Juli 2013

* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik  disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar