Rabu, 05 Oktober 2011

Kita Kritisi Wujudul Hilal, Tetapi Kita Semua Mencintai dan Menghormati Muhammadiyah

Oleh: Prof. DR. Thomas Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN

Kali ini saya ingin menulis hal non-teknis, karena saya banyak disalahpahami terkait kritik saya terhadap hisab wujudul  hilal Muhammadiyah. Kritik demi kebaikan bersama pernah juga saya sampaikan kepada saudara-saudara kita di NU dan ormas-ormas Islam pengamal rukyat ketika ada hasil rukyat kontroversial saat sidang itsbat penentuan awal Dzulhijjah 1422/Februari 2002. Saat itu posisi bulan sangat rendah dan dari 34 lokasi pengamatan di seluruh Indonesia tidak ada yang melaporkan terlihatnya hilal, kecuali di Cakung. Padahal cuaca di Jakarta mendung dan sempat gerimis sore itu. Namun, saat itu kriteria imkan rukyat tidak digunakan secara ketat. Maka rukyat diterima oleh forum, dengan keberatan dari saya dan wakil Persis. Pada saat itu Menteri Agama terpaksa mengubah keputusan hari libur Idul Adha sehari lebih cepat yang sempat menimbulkan kebingungan bagi pelaku bisnis yang terikat perjanjian yang tiba-tiba terkendala akibat berubahnya hari libur Idul Adha. Tetapi setelah itu NU mau berubah, kembali menerapkan imkan rukyat seperti tahun 1418/1998. Pada Idul Fitri 1427/2006, 1428/2007, dan 1432/2011 NU menolak kesaksian Cakung yang sering kontroversial karena tidak mungkin ada rukyat saat bulan terlalu rendah. Bahkan NU kini sudah melengkapi diri dengan fasilitas hisab-rukyat yang canggih seperti NUMO (NU Mobile Observatory) dan fasilitas lainnya untuk menghindari salah lihat dalam mengamati hilal.

***
Sebaliknya Muhammadiyah tidak pernah berubah. Kalau diumpamakan, saat ini Muhammadiyah ibarat anak bandel yang keras kepala. Wajar, karena beberapa saudara  lainnya dalam keluarga  sebenarnya pernah juga bandel dan keras kepala, tidak patuh pada ayah-ibunya. Ketika hari istimewa, keluarga menginginkan semua berseragam dengan baju baru yang sama supaya suasana kebersamaan dan persaudaraan lebih terasa. Namun anak bandel yang keras kepala ini menolaknya, bersikeras memakai baju usang. Katanya itulah yang pas ukurannya dan enak memakainya, tidak perlu direpotkan dengan aturan memakai baju baru. Saudara-saudaranya menghendaki keseragaman. Saya ibaratnya hanyalah bocah kecil yang senang bantu-bantu di rumah itu yang suka mengkritisi anggota keluarga itu. Saya turut memberi masukan untuk mengganti baju usang itu dengan baju baru yang sudah dipakai saudara-saudara yang lain. Ayah-ibunya yang mengakomodasi semua pendapat menginginkan juga adanya keseragaman. Keputusan ayah-ibunya tersebut tidak dipatuhi oleh “anak bandel yang keras kepala” itu.

Memang benar, “anak bandel yang keras kepala” itu sebenarnya baik dan banyak prestasinya bagi keluarga. Namun soal baju usang, dia terlanjur menganggapnya hal prinsip yang seolah tidak bisa diganggu oleh yang lain. Bahkan saran untuk menggantinya ditanggapinya berlebihan, seolah itu sebagai sikap membenci. Memang lucu, pada penentuan hari istimewa itu si anak dengan sopan minta izin untuk berbeda.  Walau nyata tidak patuh pada ibu-bapaknya, namun tetap meminta hak-haknya sebagai anak untuk dilindungi dari kemungkinan ulah jahil saudara-saudaranya.
Sebagai satu keluarga, tidak mungkinlah ayah-ibunya dan saudara-saudaranya membencinya. Saran untuk mengganti baju usangnya dengan baju baru yang seragam hanya demi kebaikan bersama, supaya para tetangga melihat kesan kebersamaan. Memang benar, sebenarnya baju yang berbeda-beda kan tidak masalah, karena itu bukan masalah prinsip. Tetapi kalau bisa berseragam pada hari istimewa itu tentulah akan lebih baik. Tetangga pun akan melihat keharmonisan keluarga secara lebih nyata. Indah sekali. Saran untuk mengganti baju usang dengan baju baru bukan berarti membenci. Kita semua tetap mencintai dan menghormati. Kecintaan dan penghormatan akan lebih menguat kalau di dalam keluarga itu bisa berseragam pada hari istimewa. Ya, hanya keseragaman pada hari istimewa, bukan keseragaman dalam segala hal.

(Peran dalam ibarat perumpamaan  tersebut di atas: Ummat IslamIndonesia ibarat satu keluarga. Pemerintah ibarat ayah-ibu yang mengayomi. Ormas-ormas Islam ibarat anak-anak yang kadang bandel dan keras kepala, tidak patuh pada ayah-ibu, tetapi tetap minta perlindungan ayah-ibu. Kriteria hisab-rukyat ibarat baju yang ingin diseragamkan dengan kesepakatan. Saya pada kisah ini hanyalah ibarat bocah kecil yang suka bantu-bantu, namun perannya tidak seberapa dibandingkan anggota keluarga lainnya. Ummat lain ibarat para tetangga.)
***

Jadi, kritik soal kriteria wujudul hilal yang usang dan saran untuk menggantinya dengan kriteria imkan rukyat yang lebih baru, bukanlah bentuk kebencian. Kita semua mencintai dan menghormati Muhammadiyah yang sudah banyak berkontribusi bagi bangsa ini. Mengapa persatuan ini penting saat ini? Ketika tekanan masalah sosial semakin berat, kesenjangan dan perbedaan mudah disulut untuk menjadi bibit permusuhan. Lihatlah kenyataan saat ini. Hal-hal sepele bisa jadi pemicu tawuran pelajar antarsekolah, tawuran pemuda antarkampung, tawuran mahasiswa antarfakultas, dan perang terbuka antaretnis. Padahal kalau kita lihat di masyarakat awam, masalah hari raya adalah masalah halal-haram yang sangat prinsip. Masyarakat yang awam fikih mudah menyatakan pihak lain melakukan pelanggaran agama. Saudara-saudara kita yang berbuka lebih dahulu bisa dianggap melanggar aturan puasa. Sementara saudara-saudara yang lain yang masih berpuasa bisa dianggap melakukan hal haram karena berpuasa pada hari idul fitri.

Dari perbedaan itu awalnya mungkin sekadar saling ledek dalam gurauan. Tetapi siapa bisa menduga hal sepele seperti itu bisa memicu pertengkaran yang lebih hebat. Beberapa tahun lalu saya mendengar cerita dari seorang hakim agung peradilan agama bahwa di Sulawesi dulu (sekitar 1930-an) pernah terjadi keributan gara-gara perbedaan hari raya. Kita tidak boleh menyederhanakan hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik, walau kita juga tidak boleh membesar-besarkannya. Namun mencegah konflik lebih baik daripada memeliharanya. Dengan adanya perbedaan kriteria, kita sudah bisa memprakirakan tahun-tahun yang berpotensi terjadi perbedaan.

Saya masih terus akan mengangkat tema ini untuk menyadarkan kita semua, bahwa potensi perbedaan akan terus terjadi selama masalah perbedaan kriteria tidak diselesaikan. Kalau khilafiyah (perbedaan) hisab dan rukyat kini bisa diatasi dengan titik temu hisab-rukyat dengan kriteria imkan rukyat, mengapa hisab kriteria wujudul hilal yang antirukyat tetap dipertahankan? Kalau kita bisa bersatu, mengapa kita harus memelihara perbedaan? Kita mengkritisi kriteria wujudul hilal Muhammadiyah, tetapi kita semua tetap mencintai dan menghormati Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Muhammadiyah yang biasa juga mengkritik mestinya memahami fungsi kritik demi kebaikan. Jadi tak perlu merasa “kebakaran jenggot” dengan menyebut pengkritik sebagai provokator. Semoga kita bisa bersatu demi ummat.

Sumber
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/05/kita-kritisi-wujudul-hilal-tetapi-kita-semua-mencintai-dan-menghormati-muhammadiyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar