Sabtu, 17 Desember 2011

MEMAHAMI SYARI'AT SUBSTANSIAL

Para pengusung isu "Syari'at Islam" dan pendukungnya selain berfikir utopis, juga cenderung berfikir tanpa konsep yang jelas serta rujukan yang tumpang tindih. Mereka beranggapan dengan isu Syari'at Islam seakan menjadi "Everything for all", atau semacam eliksir/ obat yang akan menyelesaikan semua problem sosial kemasyarakatan. Naifnya belakangan ini muncul orang yang tidak jelas, baik latar belakang akademiknya maupun latar belakang sosialnya yang kemudian tampil bak "malaikat kesiangan" yang hendak menjadi martir bagi penegakkan syari'at Islam.

Pahlawan kesiangan semacam ini biasanya tidak segan-segan menghujat kiri dan kanan serta terhadap siapa saja yang menurut kelompoknya atau menurut kacamata kudanya yang sempit sebagai kafir, antek Yahudi dan Nasrani atau apa saja untuk menyembunyikan ketidakpahamannya terhadap apa sebenarnya yang mereka bela atau yang mereka usung. Analisa mereka kering kerontang kecuali selalu mengaitkan dengan teori-teori usang "konspirasi" dan teori benturan peradaban terhadap kelompok yang tidak sepakat dengan konsepnya. Artinya mereka mengindap penyakit "Paranoid" yang sangat kronis atas siapa saja yang berbeda pandang dengan "mainstream" mereka.

Kelompok ini biasanya anti dialog atau mereka punya pemahaman yang rusak atas dialog. Bagi mereka dialog dipahami sebagai konfrontasi, dengan membaca ayat Tuhan sepenggal-sepenggal sekaligus membawa sekerumunan masa yang siap berteriak "Allahu Akabar-Allahu Akbar" apabila terjadi diskusi yang ulet, dan ujung-ujungnya meraka menyatakan tidak tertarik diskusi semacam ini. Padahal diskusi syari'ah seharusnya membutuhkan ketajaman analisis atas apa yang dimaksud dan tujuan syari'ah (maqasid ash syari'ah) itu.

Ada tiga terminologi yang biasanya dipahami oleh pengusungnya secara tumpang tindih, yakni "Hukum Tuhan", "Syari'at Islam" dan Fiqh. Sebagai sebuah ilustrasi ada baiknya sedikit dijelaskan tentang ketiga terminilogi tersebut. Hukum Tuhan mewakili sebuah gagasan yang abstrak tentang kehendak Tuhan. Hukum Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat abstrak disebut dengan syari'ah (secara etimoligi berarti "jalan") sementara pemahaman dan pelaksanaan kehendak Tuhan disebut fiqh (secara etimologi berarti "pemahaman"). Syari'at adalah kehendak Tuhan dalam bentuk abstrak dan ideal, sedangkan fiqh adalah upaya memahami kehendak Tuhan. Oleh karenanya syari'ah harus selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang, sementara fiqh merupakan upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan syari'ah (maqasid syari'ah).

Tujuan syari'ah adalah "Tahqiq mashalih al-'ibad", mewujudkan kemaslahatan manusia, sedangkan tujuan fiqh adalah memahami syari'ah. Jadi sebaik apapun produk undang-undang bikinan manusia termasuk pemerintah daerah yang "genit" ngusungi isu syari'at itu baru upaya memahami syari'ah. Ibnu Qayim al-Jauziyah salah seorang ulama besar yang sangat concern dengan syari'at Islam mendefinisikan syari'ah sebagai "Ina syari'ata mabnaha waasasuha ilal hikam, wama shalih ibadi wal ma'asi wal ma'adih, wahiya adlu kulluha, wamashlih kulluha, warahmah kulluha, wal-hikmah kulluha" (Makna syari'ah yang paling asasi, paling fundamen adalah menegakkan keadilan bagi sesama, kemaslahatan bagi sesama, rahmat bagi sesama dan hikmah kebijaksanaan bagi sesama). Bahkan kata Ibnu Qayim lebih lanjut, syari'ah yang tidak concern terhadap empat isu di atas itu bukan syariah namanya. Indikator bahwa syari'at itu jalan dalam tatanan masyarakat menurut imam Izzuddin "Fainnama tujjadu al 'adalah fa tsama syar'ullah" (setiap kebijakan yang di dalamnya memuat keadilan di situ ada syari'ah Tuhan). Bahkan kata imam Ali bin Abi Thalib yang dikutib oleh Ibnu Taymiyah mengatakan "Tuhan akan menolong negeri yang adil meskipun penduduknya kafir dan Tuhan akan melaknat negeri yang zhalim meskipun penduduknya mayoritas Muslim"

Jumhur ulama sepakat, pada dasarnya pemahaman manusia atas kehendak Tuhan adalah terbatas dan tidak sempurna, sebab kesempurnaan itu hanya milik Allah. Tetapi sebagai bentuk kasih sayang Tuhan, Tuhan memerintahkan kepada manusia untuk "Badzlul juhd fi thalab al dalil atau badzul juhd fi thalab al ilm", (mengerahkan segala kemampuan untuk menganalisa dalil dan menuntut ilmu). Di sini mestinya para ulama intelektual bermain bukan rebutan kursi rektorat dan jabatan-jabatan duniawi, sekaligus kerja ini merupakan kerja serius bukan menjadi isu yang melibatkan orang yang nggak jelas juntrungannya, ini bukan kerja eksak, apalagi mahasiswa-mahasiswa yang hanya kelompok usrah yang hanya membaca "majalah" picisan yang memuat analisa jin penunngu WC, siksa kubur atau analisa wartawan yang sok senior di Padang dan sok paham segalanya berdasarkan analisa teori konspirasi bernuansa gosip.

Dari sekilas pemikiran di atas maka, berbicara soal syari'at Islam bukan hanya bicara hitam putih, boleh tidak boleh, bisa tidak bisa, bicara syari'at harus secara elegan bukan menjadikannya sebagai komoditas politik atau komoditas bisnis, misalnya hari ini semua bank konvensional punya divisi bank syari'ah, seluruh perusahaan asuransi punya layanan syari'ah padahal status bank sendiri juga perlu kajian ulang apalagi status asuransi dalam hukum Islam, tatapi karena sudah menjadi trend semua lembaga bisnis pakai baju syari'ah, padahal pemilik modalnya tetap kapitalis. Apalagi saat ini trend politik juga syari'ah, maka semakin lakulah isu syari'ah semantara substansi syari'ah entah kemana.

Bicara syari'at Islam harus secara jernih dan tajam, syari'ah minimal memiliki dua level penting yaitu pertama, syari'ah prinsipil, fundamental dan substansial, misalnya sinyal Tuhan " Kayla yakuna dulatan agniya'i minkum", (Bagaimana agar sirkulasi kekayaan tidak hanya berkisar pada orang kaya saja). Ini syari'ah substansial, artinya Negara dalam hal ini pemerintah, memfasilitasi rakyatnya bagaimana mendapatkan jaminan pekerjaan, distribusi ekonomi yang baik dan melindungi aset negara yang menjadi hajat hidup orang banyak, bukan malah diswastanisasi. Kedua, syari'ah teknis, partikular dan skriptural, misalnya perda wajib berpakaian muslim/muslimah, perda wajib pandai baca al-Qur'an, perda Ramadhan khusu' dan perda Jum'at khusus'.

Kami ingin menegaskan, bahwa syari'at Islam ala yang kedua atau yang teknis dan partikular, itu tidak akan "visible", mengingat, sehomogen apapun bentuk kepenganutan Islam di Indonesia, ia bukanlah ranah yang monolitik, sehingga pola-pola seperti itu bertentangan dengan, kenyataan masyarakat sendiri. lalu syari'at yang partikular semacam itu juga akan kontraproduktif dalam pelaksanaannya di tengah masyarakat, setertutup apapun tubuh perempuan oleh jilbab, kalau dia tidak bisa bayar SPP juga tidak akan bisa sekolah, sepandai apapun dia baca al-Qur'an, kalau miskin tetap akan mengalami gizi buruk seperti yang terjadi di beberapa daerah termasuk di daerah ini. Oleh karena itu kritik terhadap kecenderungan isu syari'at jangan dipahami sebagai anti syari'at apalagi tuduhan antek ini dan itu, melainkan ingin menyelamatkan syariah Islam dari kencenderungan pemanfaatan atau komoditas politik dan bisnis tak bermoral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar