Oleh Emha Ainun Nadjib Banyak teman-teman yang suka banget kalau 'ngerjain' saya. Digoda dengan berita, isyu atau rumor macam-macam, lantas mereka diam-diam memperhatikan wajah saya -- apakah ada perubahan atau tidak. Apakah urat syarat di air muka saya menjadi tegang atau mengkerut. Warna wajah saya menjadi memerah atau justru memucat. Semua mereka teliti dan nilai dengan pendekatan ilmu teater panggung sekaligus ilmu kamera film dan sinetron. Isyu, rumor dan berita yang disampaikan ke telinga saya itu bisa soal pribadi dan pergaulan, bisa soal politik, dan soal apa saja. Misalnya ada koran memuat foto besar penyanyi dangdut halus Evie Tamala yang shalihah dan dikasih judul: ''Evie Kecantol Cak Nun''. Sesudah terbit wartawannya bingung sendiri karena sesungguhnya yang dimaksud adalah Ikke Nurdjanah. Di media lain beritanya tentang si Ikke yang juga bukan penyanyi dangdut departemen goyang pinggul yang disebut ''Digaet Oleh Cak Nun''. Padahal yang nyanyi bersama Ikke di acara launching ''Perahu Retak'' adalah Gus Dur. Saya cuma ditodong ikut nyanyi dua kalimat terakhir. Tapi saya yang digosipkan, sedemikian rupa sehingga impian saya untuk segera menikah menjadi hancur berantakan. Kaum wartawan adalah utusan Allah swt yang ditugasi untuk menguji iman masyarakat, meneguhkan istiqamah mereka serta memperkukuh ketahanan mereka terhadap segala macam persoalan. Kalau ada hubungan antar manusia atau kalau ada sebuah keluarga yang kisruh berat gara-gara gosip di koran -- itu salah keluarga itu sendiri. Mereka tidak mengerti tugas suci para wartawan yang sebenarnya. Para wartawan tinggi pahalanya, karena kebohongan yang mereka sebarkan sesungguhnya diniati untuk ibadah. 'Kan al-a'malu bin-niyyah. Setiap perbuatan itu ditentukan oleh niatnya. Meskipun kita merampok, asal niatnya untuk beribadah ya insyaallah nilainya tetap merampok...hehehehe... Di dunia ini kewajiban utama manusia adalah bergaul dengan persangkaan-persangkaan. Manusia mempergaulkan persangkaan. Ilmuwan-ilmuwan menuliskan skripsi yang mendobrak sangkaan melalui penelitian untuk kemudian berujung pada persangkaan yang baru. Dalam dunia politik entah berapa ribu orang masuk penjara atau meninggal dunia berkat lalulintas persangkaan nasional dan internasional. Baik persangkaan yang hanya bersubstansi kebodohan dan kesombongan, maupun persangkaan yang diskenariokan oleh rekayasa-rekayasa resmi. Banyak sekali peristiwa-peristiwa politik yang sesungguhnya hanya berpangkal di persangkaan dan berujung di persangkaan berikutnya. Demi budaya dan peradaban persangkaan sangat banyak manusia harus mengorbankan hidupnya, airmatanya, penghidupannya, masa depannya, bahkan nyawanya sekalipun. Bahkan persangkaan seringkali juga merupakan muatan utama dari peta pergaulan teologi antar para pemeluk agama maupun aliran-aliran nilai yang dianggap sebagai agama. Tuhan sendiri memakai idiom dhonn, yang berarti persangkaan, untuk menjelaskan sejumlah fenomena kekufuran, kemunafikan, kemusyrikan, dan lain sebagainya, yang terjadi pada mentalitas, batin, pikiran, dan kejiwaan hamba-hambaNya. Adapun yang sesungguhnya ingin saya kisahkan Minggu pagi ini sesungguhnya adalah betapa sejumlah teman 'ngerjain' saya melalui jenis persangkaan yang agak keterlaluan. Persangkaan itu bisa untuk guyon yang mengasyikkan, tapi kalau terpeleset selangkah saja ke garis keberlebihan, akan menjelma fitnah. Coba tho, saya ini kan orang yang bisa dikatakan nggak punya profesi. Kerja saya ini serabutan saja dan sekenanya. Sudah menyebut 'pekerjaan' di KTP. Satu jenis kegiatan yang saya agak punya kemampuan adalah menulis. Tapi itupun minimal-minimal saja. Misalnya, saya ini nulis puisi -- tapi ya tidak lulus di medan laga perpuisian. Saya nulis banyak buku, tapi tak ada yang ilmiah. Terkadang saya tampil di panggung, tapi saya tak bisa disebut teaterawan, deklamator, mubaligh, da'i atau apapun saja. Hampir di semua bidang yang saya geluti itu saya minimal-minimal saja. Satu-satunya yang saya agak aktif -- dan itu saya andalkan untuk menghidupi banyak orang, anak-anak yatim, sekolahan dll -- adalah menulis di media. Lha dalam keadaan minimal seperti itu sejumlah teman sengaja mengisyukan kepada saya bahwa ada dua pejabat tinggi pusat di bidang penerangan, yang satu militer lainnya sipil -- yang memperingatkan kepada sejumlah pemimpin media massa agar jangan berani-berani memuat tulisan saya. Menurut isyu atau persangkaan yang menjurus fitnah itu sang pejabat mengatakan: ''Kalau Anda memuat tulisan dia, jangan lupa bahwa saya bisa menandatangani surat yang berakibat dibredelnya media Anda!''. Ini kan jelas persangkaan yang tidak bermutu. Isyu macam ini tak akan laku di manapun. Pembuatnya pasti tidak kenal Republik Indonesia, negeri yang penuh keterbukaan, yang demokrasinya mengalir lancar bagai air sungai, yang sistem hukumnya tegak bagai pohon jati berusia ratusan tahun. Mana mungkin ada pejabat yang over acting macam itu. Kita merdeka sudah lebih setengah abad. Kita sudah dewasa dan matang. Kalau ada pejabat yang berkhayal omong seperti itu, bisa jadi tak sampai sebulan kemudian ia akan terlempar dari kursinya. Ini Indonesia, Bung! Sebenarnya secara pribadi diam-diam saya suka kalau benar ada larangan seperti itu. Saya jadi bisa sedikit menganggur. Tak usah tidur sesudah Subuh. Undangan-undangan yang datang, bisa lebih saya perhatikan dan penuhi. Pada hari ketika isyu itu dilontarkan ke telinga saya, pas saya menerima telpon dari Pare-Pare, Sulsel. Teman-teman prajurit di Korem sana bilang ingin bercengkerama. Saya sangat bersemangat. Sulsel adalah kekasih saya. Dan satu di antara orang yang saya kagumi -- Usman Ballo (loreng) -- adalah sesepuh masyarakat dan prajurit di Pare-Pare. Belum lagi, biasanya, kalau sudah sampai di Pare-Pare -- musti terus ke utara. Khusus untuk sholat di mushalla dan Masjid Jami' waliyullah almarhum Imam Lapeo yang juga lebih saya kagumi lagi. Di desa beliau ini lahir manusia langka macam Baharuddin Lopa. Jadi, daripada saya mengurusi persangkaan, lebih baik saya mendekat ke vibrasi keyakinan: karena bagi saya kepribadian dan kemanusiaan tokoh macam Sang Imam dan Sang Ballo, benar-benar mengajarkan kepada saya keyakinan, bukan persangkaan. Untuk mengenal lebih dekat Emha Ainun Najib, Klik DISINI ! Sumber: http://toni.rahayu.tripod.com/emha/emha11.htm |
Berkarya, Berbagi, Berguna; Berilmu, Beramal, Bermu'amalah; Hidup Sekali, Hiduplah yang Berarti.
Rabu, 21 Maret 2012
Dinamika Persangkaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar