Minggu, 06 November 2011

Keteladanan Nabi Ibrahim As dan Nabi Isma’il As Dalam Melaksanakan Perintah Allah SWT

( Intisari khutbah Jum’at tanggal, 31 Desember 2006 M)
oleh : Prof. Dr. Nazaruddin Umar

Salah satu dimensi kebesaran Nabi Ibrahim ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkan kepada Allah melalui ketulusannya dalam mengorbankan putra kesayangannya. Nabi Isma’il lahir setelah melalui penantian yang cukup panjang dari keluarga ini.Kisah keluarga Nabi Ibrahim sarat akan pesan-pesan moral. Nabi Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridhaan Tuhan, rela menyembelih anaknya, bahkan rela mengorbankan diri dalam kobaran api.

Setiap orang mempunyai kelemahan terhadap sesuatu yang dicintainya. Kelemahan Ibrahim terletak pada anak kesayangannya yang sudah lama didambakannya, dan dari sini pula kembali diuji Tuhan berupa godaan setan, tetapi Nabi Ibrahim lulus dari ujian itu. Ia secara tulus dan ikhlas mau mengorbankan putra kesayangannya.Nabi Isma’il adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi melemahkan dan menggoyahkan iman, simbol bagi sesuatu yang dapat membuat kita enggan menerima tanggung jawab.

Simbol bagi sesuatu yang dapat mengajak kita untuk berpikir subyektif dan berpendirian egois. Tegasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan kita.Mari kita  mengintrospeksi  dan mengukur diri kita masing-masing. Seandainya kita adalah figur “Ibrahim”, sudahkah kita memperoleh iman setangguh  beliau? Sudahkah kita menunjukkan pengorbanan yang optimal ke jalan-jalan yang diridhai Tuhan?

Jika kita misalnya berada di puncak karir, sudah relakah kita mengorbankan segalanya demi mempertahankan prinsip-prinsip ajaran yang dianut?“Nabi Isma’il” simbol bagi sesuatu yang amat kita cintai, sudah barang tentu kita semua memiliki sesuatu yang dicintai. Boleh jadi “Isma’il-Isma’il” kita berbentuk harta kekayaan, semisal kendaraan baru, rumah mewah, jabatan penting, deposito, atau kekayaan lainnya. Apakah kita sudah rela mengorbankannya untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencapai ridha Tuhan?

Jika kita sebagai suami, sudah sanggupkah kita meniru ketangguhan iman Nabi Ibrahim, mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya, demi mengamalkan perintah Tuhan? Jika kita sebagai istri, sudah sanggupkah kita meniru ketabahan dan ketaatan Hajar, merelakan suaminya menjalankan perintah Tuhan dan menghargai jiwa besar anaknya? Jika kita sebagai anak, sudahkah kita memiliki idealisme yang tangguh setangguh Nabi Isma’il yang rela menjadi korban untuk suatu tujuan mulia?

Kisah-kisah yang ditampilkan Al-Qur’an sangat patut menjadi pembelajaran buat kita semua. Nabi Ibrahim melahirkan anak paling sejati dalam Al-Qur’an (Q.S. 37. al-Shaffat : 102). Ia bukan hanya anak biologis, melainkan sekaligus anak spiritual. Bandingkan dengan putra Nabi Nuh, meskipun ia seorang putra biologis Nabi, tetapi ia menjadi pembangkang dan kufur. Itulah sebabnya ia dicap hanya sebagai anak biologis, tetapi bukan anak spiritual ayahnya (Q.S.11. Hud : 46).

Fir’aun adalah sosok manusia paling angkuh yang tersebut dalam al-Qur’an, tetapi isterinya mendapatkan pujian sebagai isteri salehah yang beriman (Q.S. 66 At-Tahrim : 11). Bandingkan dengan istri paling pengkhianat dalam Al-Qur’an ternyata istri Nabi Luth dan Nabi Nuh (Q.S. 66 At-Tahrim : 10). Ini merupakan pelajaran penting buat kita bahwa kehebatan atau kelemahan sosok figur dalam keluarga bukan jaminan bagi keluarga lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Semoga anak keturunan kita tidak hanya menjadi anak keturunan biologis kita, tetapi sekaligus anak keturunan spiritual kita. Semoga istri/suami kita bukan hanya istri/suami biologis kita, melainkan sekaligus istri/suami spiritual kita.Hari raya Idul Adha ini juga momentum yang baik untuk mempersiapkan generasi milenium ketiga, suatu generasi yang betul-betul terpilih (the chosen people) atau umat pilihan (khairu ummah) menurut istilah Al-Qur’an (Q.S. 4 Ali Imran : 110).

Al-Qur’an memberikan warning bagi kita agar tidak meninggalkan generasi lemah dan tidak punya daya saing : وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah… “ (Q.S.  An-Nisa : 9)Sebaliknya, Al-Qur’an memberikan dorongan untuk mempersiapkan generasi yang betul-betul professional, memiliki kemampuan kompetisi yang handal, generasi yang kuat dan terpercaya, sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur’an : إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِينُ
….sesungguhnya generasi yang paling baik yang kamu pilih untuk bekerja ialah generasi yang kuat lagi dapat dipercaya” (Q.S. 28 Al-Qashash : 26)

Generasi al-qawiyy al-amin menurut ulama Tafsir ialah generasi yang sehat jasmani dan rohani, serta memiliki berbagai kecerdasan, keterampilan, dan keunggulan, di samping kejujuran dan amanah. Dengan demikian, generasi untuk milenium ketiga ialah generasi al-qawiyy al-amin, yakni generasi tangguh dan terpercaya.Prasyarat untuk mencapai umat ideal (khairu Ummah) ialah terbentuknya pribadi-pribadi utuh dan keluarga-keluarga tangguh sebagai cikal bakal warga umat.

Sulit membayangkan umat yang ideal tanpa pribadi utuh dan keluarga yang sakinah. Itulah sebabnya Al-Qur’an dan hadis lebih  banyak berbicara tentang pembentukan pribadi dan keluarga, bukannya banyak berbicara tentang masyarakat dan negara.Keluarga sakinah sebagai cikal bakal umat dan warga bangsa yang ideal merupakan obsesi Al-Qur’an.

Keluarga sakinah hanya dapat diwujudkan melalui institusi perkawinan sah dan Allah SWT melarang keras perzinahan. Itulah sebabnya perkawinan dalam Islam, menurut Imam syafi’i, bukan sekedar kontrak sosial (‘aqd al tamlik), melainkan juga memiliki makna sakral (‘aqd al ‘ibadah). Institusi perkawinan menuntut berbagai syarat dan ketentuan agar rumah tangga yang terbentuk kelak melahirkan generasi-generasi pilihan. Keluarga dan rumah tangga yang normal dan utuh berpotensi melahirkan generasi yang tangguh, sebaliknya keluarga dan rumah tangga yang berantakan berpotensi melahirkan generasi yang lemah.

Wajarlah kiranya jika Rasulullah pernah mengingatkan bahwa, “Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah ialah perceraian” Perceraian adalah lambang kegagalan sebuah rumah tangga. 

Posted on by Ahmad Suganda

Sumber: 
http://khutbahistiqlal.wordpress.com/2008/03/17/keteladanan-nabi-ibrahim-as-dan-nabi-isma%E2%80%99il-as-dalam-melaksanakan-perintah-allah-swt/ 

 

2 komentar:

  1. alhamdulillah... trrima ksh... sdh d cari2 blognya,, :D

    BalasHapus
  2. blog aku tolong disisipkan dong ni blog aku http://fbban.blogspot.com

    BalasHapus