Taken at KBRI London, UK by Nizma Agustjik |
Prof. DR. KH. M. Quraish Shihab
Bulan Ramadhan bisa diibaratkan sebagai lahan subur yang siap ditaburi benih-benih kebijakan. Siapa yang menabur, maka ia akan manuai hasil sesuai yg ditanam. Siapa yang melatih diri dalam bentuk menahan diri dengan berpuasa, niscaya ia akan sukses menghadapi segala tantangan ke depan.
Bulan Ramadhan adalah bulan suci. Ia diibaratkan sebagai lahan yang subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan. Semua orang dipersilahkan menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya. Bagi yang lalai, tanah garapannnya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna. Dari sini sangat penting memanfaatkan lahan itu dan penting pula memilih benih yang ditabur.
Salah satu yang terpenting dalam bulan ini adalah menahan diri dengan berpuasa. Ia merupakan cara yang paling efektif untuk melatih diri menghadapi segala tantangan yang merupakan syarat mutak untuk meraih kesenangan dan kesejahteraan. Ia dibutuhkan oleh setiap orang, baik kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit, manusia modern yang hidup masa kini maupun manusia primitif yang hidup masa lalu.
Karena itu, cara yang paling efektif untuk menciptakan kemampuan itu adalah berpuasa. Itu pula sebabnya kenapa sejak dahulu hingga kini putera-puteri Adam berpuasa dengan berbagai tujuan. Bahkan, tidak jarang mereka sendiri yang mewajibkan atas dirinya, Agaknya, itu sebabnya al-Qur'an menggunakan kata "diwajibkan" pada firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" (al-Baqarah: 183). Ayat ini tidak menyebut siapa yang mewajibkan untuk memberi isyarat tentang hal tersebut.
Ini berarti seandainya bukan Allah yang mewajibkan puasa, niscaya manusia sendiri yang mewajibkannya. Memang Rasulullah Saw. juga menegaskan bahwa "Seandainya manusia mengetahui keistimewaan bulan Ramadhan, niscaya mereka ingin agar sepanjang tahun adalah Ramadhan". Karena puasa dibutuhkan oleh setiap manusia kapan dan di manapun, maka tidak heran jika semua agama mengenalnya. Bukan hanya agama-agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam, tetapi selainnya pun demikian.
Pakar-pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir Kuno pun - sebelum mereka mengenal agama samawi -- telah mengenal puasa. Dari mereka praktek puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang. Ibnu an-Nadim dalam bukunya al-Fahrasat menyebutkan, agama para penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari dan ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang dipercaya sebagai bintang nasib, dan juga kepada matahari.
Walaupun inti dari setiap puasa adalah menahan diri, namun cara dan tujuan akhirnya berbeda-beda antara satu agama dengan agama lain, bahkan boleh jadi antara seorang dengan orang lain. Dari sini diperlukan pengetahuan tentang tata cara puasa menurut tuntunan agama serta tujuan pokoknya, bahkan diperlukan pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan kehadirannya dan benih-benih apa saja yang harus ditabur pada lahannya.
Satu hal yang ingin penulis garis bawahi menyangkut ciri ajaran Islam, dalam konteks pelaksanaan ritualitas puasa Ramadhan, yaitu kesatuannya dalam prinsip-prinsip pokok dan keragamannya dalam rincian ajaran. Ini karena rincian permasalahan yang lahir dari aktivitas manusia, sejak kehadiran Islam hingga kini, jauh melebihi teks-teks al-Quran dan Hadis yang menjadi sumber rujukan. Dari sini pakar-pakar hukum berupaya sekuat tenaga dan pikiran untuk menganalisis dan menalar berbagai teks tersebut guna menemukan ketetapan hukum menyangkut rincian permasalahan yang lahir itu.
Tidak jarang hasil penalaran mereka berbeda, bukan saja diakibatkan oleh perbedaan kondisi masyarakat dan perkembangan ilmu, tetapi juga karena perbedaan cara penalaran dan syarat-syaratnya, dan bahkan boleh jadi karena perbedaan rujukannya, di mana yang satu merujuk pada teks A sedangkan yang lain merujuk pada teks B.
Di sisi lain perlu diingat bahwa Rasullulah Saw. yang hidup di tengah umatnya sebagai nabi dan rasul selama lebih kurang 23 tahun, tidak jarang pula mengucapkan, memperagakan cara yang berbeda, atau membenarkan keragaman cara yang diperagakan para sahabat beliau. Sehingga, lahir apa yanng dikenal dengan istilah "tanawwu' al-'ibadah" (keragaman cara beribadah).
Berdasarkan faktor-faktor itu - dan masih banyak lainnya - maka seringkali ditemukan perbedaan dan keragaman dalam rincian, seperti penentuan awal Ramadhan dan jumlah raka'at taraweh misalnya. Namun, kiranya semua dapat diterima, walau berbeda, selama bersumber dari pemahaman yang bertanggung jawab terhadap teks-teks al-Quran dan Sunnah. Apa yang dikemukakan di atas - sedikit atau banyak - tercermin dalam tulisan ini.
Sumber :
Disunting dari Sekapur Sirih M. Quraish Shihab dalam buku “Panduan Puasa bersama Quraish Shihab” yang diterbitkan oleh Penerbit Republika, cet. V, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar