Sejuk dan tenang kurasakan...
Saat semilir angin menghembus di antara helaian mahkotaku...
Sepi dan sunyi kurasa...
saat ku ingin mengetahui kemana arah angin berhembus...
Seperti saat kuingin mengetahui petunjuk yang diberikan oleh NYA...
Hangat sinarnya saat pertama kulihat...
sejenak kurasakan hangatnya yang membuat detakan ini selalu ingin tetap ada...
panas dan terik sinarnya...
saat ia berada tepat di atas dan jauh dariku...
Dingin dan beku kurasa saat ia tak tampak olehku...
Malam dan gulita kiranya saat ini...
Tetes air dari surga menyelimuti bumi yang kupijak ini...
Seolah menyuruhku untuk menunduk dan menyadarkanku dimana kuberada...
Tetes air surga menyelimuti bumi untuk menyadarkanku...
Betapa kuat dan kokoh tempatku berpijak...
Dingin dan beku merasuk hingga ketulangku...
Kiranya ku rindu sinar itu...
Kutengadahkan wajah ini dan kulihat ada sinar di tengah gulita itu...
Kurasa itu ia…sinarnya benderang di tengah kegelapan...
Kurasa itu ia yang menerangiku
Tidak,…tidak hangat…
tidak membuat detak ini terpacu untuk ada...
hangat,.. sangat hangat hingga kurasakan hangat itu oleh terangnya sinar di kegelapan itu...
ku lafadzkan lantunan keEsaan NYA...
kuberharap dapat melihat dan merasakan cahaya kehangatan itu...
ku nikmati waktu menunggunya…
ke ufuk timur kulihat seberkas cahaya mulai muncul...
kuhitung waktu menunggunya terlihat jelas...
ialah yang aku tunggu...
ialah yang ragaku butuh dan jiwaku inginkan...
segala darinya yang aku butuhkan...
walaupun ingin rasanya kuhindari amarahnya...
yang ia munculkan lewat terik dan panas yang juga menyengat kulit ini...
silau cahayanya semakin membuatku terkagum akan apa yang adapadanya...
semakin aku terkagum pada sang maha maestro penciptanya...
saat berada di ufuk barat...
kubertanya apa slahku hingga ia mulai meninggalkanku lagi...
hingga kegelapan datang lagi...
ku kira cahaya itu tercipta untukku...
ku kira permohonanku terkabul...
hingga akhirnya membuatku tersadar...
seperti itulah ia tercipta tampak hebat saatku dapat melihat luas...
tampak tak berguna saat aku dalam kegelapan dan kegalauan...
tak mampu aku untuk bersanding dengannya...
kilaunya begitu silau...
panasnya begitu terik...
hangatnya begitu menyebar...
sinarnya begitu terang membuatku lenyap seketika bila didekatnya...
membuat kulitku terasa terbakar bila ia tepat melihat ubun-ubunku...
membuatku mati bila ditinggalkannya...
itu bukan salahnya...
ini bukan salahku...
begini kami tercipta...
paling tidak ku bersyukur dapat mengenal nya...
petujuk yang diberikan Sang Maha dari segala Maha...
bila ia tercipta seperti itu berjalan antara timur hingga barat...
maka biarkanlah jiwaku terkubur bersama raga ini...
agar ku tak dapat melihatnya lagi...
ada ataupun tidak aku...
sedikitpun tak mempengaruhinya bergerak 86.400 detik timur menuju barat setiap tempuhnya...
Dibalik raga ini ku berdoa agar Ia mempertemukanku dengan kehangatan seperti itu lagi...
namun yang dapat berada di sisiku setiap saat...
Kelak bila aku tercipta lagi....
oleh Intan Wijayanti pada 26 September 2010 jam 13:05
Catatan admin tentang Intan Wijayanti dan Puisinya:
Perkenalan dengan de' Intan ini pernah ditulis pada catatan admin sebelumnya jadi bagi yang penasaran klik aja judul tulisannya dibawah ini:
Masih ingat tulisan berjudul: Kelembutan Bernama Perempuan ? Masih ingat catatan admin tentang penulis yang tak berfoto? Ya... inilah penulis dan fotonya.
Usaha tuk "memboyong" fotonya keblog ini tak sia-sia, setelah ucap salam tanya kabar dan utarakan maksud posting puisinya, admin pun pasang jurus memelas: "and please.... kali ini sekalian your Pic. yaa..." Mau tahu jawabannya: "waalaikum salam.... alhamdulillah baik..... posting yang mana lagi... jamaah...oh... jamaah..... ingin tau admin merayu minta ijin share catatannya.... heheheehehehe....." , jawabnya berseloroh. "Jangan2 ini bukan foto aslinya...", kata yang lagi 'mlototin gambarnya penasaran. "Foto terbaru 1 bulan kemarin", jawab Intan waktu admin ajukan pertanyaan yg kurang lebih sama.
Sebetulnya masih banyak "stock" catatan si mba' yg ramah ini, tapi karena postingan yg lalu berbentuk tulisan, maka kali ini sengaja diambil yg berbentuk puisi, berjudul: MATAHARIKU.
Ijinkan admin untuk sedikit berpanjang-lebar dalam berprolog sebelum mengulas "Matahariku" Intan, hal ini guna membantu membaca dan memahami alur pemikiran serta menyelami ungkapan rasa yang ia tuangkan dalam puisinya tersebut.
"Iqra..!" setidaknya ada 3 ayat dlm Al-Qur'an yg diawali dgn kata ini.
1. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu." (Al Israa':14)
2. "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan," (Al 'Alaq:1)
3. "Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,"
Banyak orang yg bisa membaca tapi tak mendapat apapun (hidayah/petunjuk) dari apa yg dibacanya, itu karena mereka hanya menerapkan semangat membacanya saja (dengan nalar) tanpa mengikut sertakan hati dan penciptanya. Pada QS-Al Israa':14 diatas misalnya ada beberapa message yg dpt kita ambil, diantaranya; Allah menyuruh kita tuk bisa 'melihat kedalam' diri agar kita lebih 'tahu diri'. Lho... kenapa?, untuk apa?
Ada ungkapan bijaksana bahwa MAN 'ARAFA NAFSAHU FAQAD'ARAFA RABBAHU' (Barang siapa yang tahu dirinya maka dia akan tahu Tuhannya) Artinya, kesadaran orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan ketidak terbatasan dan kemutlakan Tuhan. Jadi tahu diri sebagai terbatas adalah isyarat tahu tentang Tuhan sebagai Yang Tak Terbatas, yang bersifat serba Maha.
Dalam tingkah laku nyata, “tahu diri” itulah yang membuat orang juga rendah hati. Dan sikap rendah hati itu adalah permulaan adanya sikap jiwa yang suka menerima atau receptive terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman dan jalan menuju Kebenaran.
Sekarang mari kita mencoba melihat keluar "membaca" lingkungan sekitar.
Sikap rendah hati dan tahu dirilah yang dapat dijadikan modal bagi kita untuk dapat cerdas "membaca" tanda2 kekuasaan-Nya. Sikap tersebut mendorong kita untuk bersikap terbuka dengan kata lain sikap terbuka itu sendiri adalah bagian dari sikap”tahu diri”, yaitu tahu bahwa diri sendiri mustahil mampu meliputi seluruh pengetahuan akan kebenaran.
Hidayah memang bukan hadiah meski ia berada dimana-mana termasuk pada matahari seperti yang "didapat" oleh Intan. Hidayah harus dijemput dan dicari layaknya rizqi dan untuk itulah kita butuh sikap terbuka. Terbuka seluruh indra, hati, akal dan budi dalam membaca ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan-Nya). Hal ini ditegaskan dalam Firman-Nya:
Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku. Yaitu mereka yang mendengarkan perkataan, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Alloh, dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi ( “ulu al-albab” ) (QS. Al-Zumar/39:17-18).
Jadi dalam firman itu dijelaskan bahwa salah satu orang yang memperoleh petunjuk atau hidayah Allah ialah bahwa ia suka belajar mendengarkan perkataan ( al-qawl )- yang kata al Razi dan al-Thabari dapat meliputi sabda-sabda Nabi dan firman Ilahi , serta pendapat sesama manusia, kemudian dia berusaha memahami apa yang dia dengar itu dan mengikuti mana yang terbaik. Disebutkan pula dalam firman itu bahwa orang-orang yang berperilaku demikian itu orang-orang yang berakal budi.
Puisi Intan diatas adalah cermin puisi bernuansa hidayah, ini pula yg pernah dilakoni kakek moyang kita Ibrahim AS, dalam "wisata spiritual"nya tatkala mencari Tuhan yang diabadikan dalam Al-Qur'an pada surat ke 6 (Al An'aam 75-79) berikut ini:
75. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.
76. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat".
78. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Jelaslah bahwa hanya orang-orang yang cerdas membaca ayat2-Nya dan bersikap terbukalah yg bisa mendapat hidayah-Nya.
Intan mencoba mengikuti jejak kakek moyangnya , diapun mencoba "membaca" matahari dan menelusurinya lewat goresan puisi. Namun tidak selayaknya puisi yg bermain diranah rasa bertilam hati, kali ini Intan merangkul logika tuk sisipkan bahasa jiwa sehingga memaksa pembaca tuk juga bermain diranah nalar. Lihat saja bagaimana ia mengamati perjalanan sang Matahari dari ufuk timur ke barat dalam bilangan detik, kemudian ia sandingkan dengan fungsinya sebagai sumber energi bagi makhluk dibumi selain juga sebagai pedoman waktu tuk beribadah kepadaNya.
Sinergi akal dan budi yang ia tuangkan dalam puisi inilah yang pada akhirnya dapat meredam panasnya matahari setelah terhujam kesadaran diri demi mendapat petunjuk Ilahi. Itu sebabnya ia dapat meramu do'a disela bait-bait puisinya. Lihat juga bagaimana ia bercengkrama dengan fenomena alam lainnya yg selalu berpasangan semilir udara sejuk dengan kemarahan matahari yg terik menyengat, terangnya siang dengan gelapnya malam.
Puisinya juga menggambarkan bahwa proses Intan dalam gapai hidayahNya memang tidak seperti kakek moyangnya Ibrahim.
Cermati saja reaksinya ketika ternyata sang Matahari perlahan redup dan tenggelam ditelan waktu.
Ibrahim:
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Intan:
saat berada di ufuk barat...
kubertanya apa slahku hingga ia mulai meninggalkanku lagi...
hingga kegelapan datang lagi...
ku kira cahaya itu tercipta untukku...
ku kira permohonanku terkabul...
hingga akhirnya membuatku tersadar...
Sangat tak bijak memang mambandingkan Ibrahim dengan Intan, namun yg ingin admin katakan adalah begitulah hidayah didapat, selalu berproses seiring waktu maka merugilah orang yg mengacuhkannya. Tapi yang terlebih penting adalah sebagaimana Ibrahim menyadari kekeliruannya:
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Intanpun mendapatkan petunjukNya:
silau cahayanya semakin membuatku terkagum akan apa yang adapadanya...
semakin aku terkagum pada sang maha maestro penciptanya...
Sepertinya, Intan mencoba mencampur semua yang ia punya, menaburkan semua yang ia bisa demi tuk 'hormati' matahari tuk kemudian diracik menjadi adonan puisi yg bukan saja mewah menggugah selera tapi juga dalam bermakna. Bermakna? ya... karena pada akhrirnya ia bukan saja mengenal penciptanya tapi juga kagum dan menghamba dihadapan-Nya.
Begitulah admin 'membaca' puisinya, bukan sekedar puisi tapi membawa misi perenungan diri akan kuasa Ilahi. Semoga hidayahNya senantiasa menyertai dan mengisi relung hati.
Terimakasih de' Intan tuk puisinya, tetap berkreasi agar Allah lebih sibuk lagi menggelontorkan pahalanya bagi orang yang mau berbagi dan mengisi untuk kemashlahatan sesama dan agama atas namaNya. Aamiin....
NB:
Mohon maaf jika ulasan admin ternyata lebih banyak dari puisinya de' Intan, tak ada maksud apapun selain niat tulus tuk saling berbagi dan mengisi. Semoga bermanfaat.
Wassalam
ada yang beum terjawab, sudah menikah atau belum bang Admin.?? desas desusnya orang jakarta punya.
BalasHapus@Anonim: Ni jwban mba' Intan mas (pasti anonim ini lk2 kan? he he he...)
BalasHapus
Intan:
@ Pak Ahmad >> sepertinya status berpacaran di fb belum menyakinkan ya pak.....
tp ada warningnya nih mas..:
@ Pak Ahmad >> hehehehe.... awas, yang punya udah kasih warning. heheehehehhe
Jama'aaah.... dah tau jwbnyakan.