Ada Ponari, Poniman, Ponisri, Ponidi, Ponimen, Poniyem, Ponijah, kuda Poni juga ada, ada-ada aja. Lha mosok pada nggak muat otak sadar kewarasan sampean untuk menyadari; mana hidayah, mana hidayati,? Jan podo gak pokro! Jamane jaman lingsir wengi, banyak kekalutan dijadikan rujukan, bertebaran statement gawen-gawen jadi alat bukti, lha yang jelas-jelas alat bukti malah digembok di gudang gelapnya pemikiran.
Ada lagi yang labih majnun! Mosok Cak Nun dikuyo-kuyo supaya mau magang jadi presiden, opo yo mau? Lha wong CN itu bukan barang wadag, bukan jenis manusia umumnya (dia tipe manusia yang hanya mau disuap sama Novia), gek disuruh-suruh ngurusi urusan yang dia paling alergi dengan wilayah kepentingan bathinnya,? Mesakne! Makanan model apa politik kuwi? Ibarat baju, CN terlalu bersih untuk gluteh sama najisnya politik kepentingan sesaat. Saya yakin, CN sudah sangat puas untuk menjadi dirinya sendiri.
Lho mayarakat kita butuh presiden handal untuk membawa perahu Indonesia keluar dari badai krisis? Halah gombal! Siapa bilang kondisi masyarakat Indonesia tertekan, stress, kalut, kalang-kabut, morat-marit, gak jelas jluntrung arah hidupnya, mlarat, krismon? Nggedabruus! Mana stressnya? wong tiap saat bisa nyruput pahitnya berbagai kebijakan yang ndak perpihak dengan manisnya cangar-cengir tata-batin ‘udhma. Mana mlaratnya? Lha wong sepedah montor keluaran terbaru selalu ditunggangi anak-anak mereka sambil nenteng Hp keluaran gress untuk sekedar ngisi absen kelas dari pada dibilang suka bolos.
Sisi lain, fenomena Ponari, bukan potret kekalutan masyarakat Indonesia terhadap kecanggihan medis. Itu hanya sekedar intermezzo ritme hidup, seperti dehemnya calon mantu di depan mertua. Apa sampean berpikir tiap orang dehem pasti sakit? Pasti TBC? Terlalu naif!!! Jangan! jangan samakan diagnosa sampean terhadap rakyat Indonesia yang hidupnya penuh langgam indah ini dengan masyarakat post modernisme amerika (sekali kena badai caterina langsung pada bunuh-diri).
Tengok! betapa kepicuntnya Gusti Allah sama kerabat kami di Aceh, saking kangennya Gusti dengan mereka sampai-sampai bersuka cita mendirikan terop-terop keagungan saat kedayohan lebih dari 125 ribu kekasihNya di penghujung Desember. Nggak! Ndak! Indonesia tidak membutuhkan superman, batman, catwomen, atau apapun yang digdaya. Cukup diperintah manusia, makmurlah Indonesia.
Masalahnya adalah; yang pada pegang kewenangan sedang melepaskan baju kemanusiaannya, cuma pada pakai kaos oblong yang bolong sana-sini, jadi ya wajarlah kalau sampaean gebyah-uyah nglihat Indonesia compang-camping. Karena susah ditemui pemimpin yang lengkap baju aurat kemanuasiannya. Sehingga sampaen ngasih resep rakyat Indonesia dengan sekedar baju penutup kemaluan bagi semua rakyat Indonesia raya! Ngawur!. Sebab yang sering sampean ajak dialog adalah mereka yang telanjang, yang sering menghadiri jamuan makan adalah para petinggi porno.
Cak Nun dalam contect udo-ora-udo, adalah sekian banyak diantara rakyat jelata diantara kami yang berbaja gamis putih bersih, jangankan telanjang, udel-e sendiri saja dia nggak pernah lihat (saking hati-hatinya sama auratnya mungkin). Saya yakin sepenuhnya kalau-pun Allah memilihnya untuk mampir di kekuasaan istana, pasti ia tetap rakyat jelata seperti sekarang. Cak jangan mau disembah! Rakyat Indonesia jangan mau nyembah Cak Nun! Cukup Gusti Allah yang kita ciumi telapak kaki keperkasaannya. Jangan pernah mau menciumi organ tubuh orang lain! Salah-salah panjenengan kena pasal cabul!
Bilik Nusantara I/7 23 feb 2009 00.25 WIB
=======================================================================
Profil
Ada lagi yang labih majnun! Mosok Cak Nun dikuyo-kuyo supaya mau magang jadi presiden, opo yo mau? Lha wong CN itu bukan barang wadag, bukan jenis manusia umumnya (dia tipe manusia yang hanya mau disuap sama Novia), gek disuruh-suruh ngurusi urusan yang dia paling alergi dengan wilayah kepentingan bathinnya,? Mesakne! Makanan model apa politik kuwi? Ibarat baju, CN terlalu bersih untuk gluteh sama najisnya politik kepentingan sesaat. Saya yakin, CN sudah sangat puas untuk menjadi dirinya sendiri.
Lho mayarakat kita butuh presiden handal untuk membawa perahu Indonesia keluar dari badai krisis? Halah gombal! Siapa bilang kondisi masyarakat Indonesia tertekan, stress, kalut, kalang-kabut, morat-marit, gak jelas jluntrung arah hidupnya, mlarat, krismon? Nggedabruus! Mana stressnya? wong tiap saat bisa nyruput pahitnya berbagai kebijakan yang ndak perpihak dengan manisnya cangar-cengir tata-batin ‘udhma. Mana mlaratnya? Lha wong sepedah montor keluaran terbaru selalu ditunggangi anak-anak mereka sambil nenteng Hp keluaran gress untuk sekedar ngisi absen kelas dari pada dibilang suka bolos.
Sisi lain, fenomena Ponari, bukan potret kekalutan masyarakat Indonesia terhadap kecanggihan medis. Itu hanya sekedar intermezzo ritme hidup, seperti dehemnya calon mantu di depan mertua. Apa sampean berpikir tiap orang dehem pasti sakit? Pasti TBC? Terlalu naif!!! Jangan! jangan samakan diagnosa sampean terhadap rakyat Indonesia yang hidupnya penuh langgam indah ini dengan masyarakat post modernisme amerika (sekali kena badai caterina langsung pada bunuh-diri).
Tengok! betapa kepicuntnya Gusti Allah sama kerabat kami di Aceh, saking kangennya Gusti dengan mereka sampai-sampai bersuka cita mendirikan terop-terop keagungan saat kedayohan lebih dari 125 ribu kekasihNya di penghujung Desember. Nggak! Ndak! Indonesia tidak membutuhkan superman, batman, catwomen, atau apapun yang digdaya. Cukup diperintah manusia, makmurlah Indonesia.
Masalahnya adalah; yang pada pegang kewenangan sedang melepaskan baju kemanusiaannya, cuma pada pakai kaos oblong yang bolong sana-sini, jadi ya wajarlah kalau sampaean gebyah-uyah nglihat Indonesia compang-camping. Karena susah ditemui pemimpin yang lengkap baju aurat kemanuasiannya. Sehingga sampaen ngasih resep rakyat Indonesia dengan sekedar baju penutup kemaluan bagi semua rakyat Indonesia raya! Ngawur!. Sebab yang sering sampean ajak dialog adalah mereka yang telanjang, yang sering menghadiri jamuan makan adalah para petinggi porno.
Cak Nun dalam contect udo-ora-udo, adalah sekian banyak diantara rakyat jelata diantara kami yang berbaja gamis putih bersih, jangankan telanjang, udel-e sendiri saja dia nggak pernah lihat (saking hati-hatinya sama auratnya mungkin). Saya yakin sepenuhnya kalau-pun Allah memilihnya untuk mampir di kekuasaan istana, pasti ia tetap rakyat jelata seperti sekarang. Cak jangan mau disembah! Rakyat Indonesia jangan mau nyembah Cak Nun! Cukup Gusti Allah yang kita ciumi telapak kaki keperkasaannya. Jangan pernah mau menciumi organ tubuh orang lain! Salah-salah panjenengan kena pasal cabul!
Bilik Nusantara I/7 23 feb 2009 00.25 WIB
=======================================================================
Profil
Emha Ainun Nadjib
Laki-Laki
Islam
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Biografi :
Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dipanggil Cak Nun, dikenal sebagai budayawan dan intelektual muslim asal Jombang, Jawa Timur. Pria kelahiran 27 Mei 1953 itu juga dikenal sebagai musisi yang banyak melantunkan lagu-lagu dakwah.
Cak Nun, yang merupakan anak keempat dari 15 bersaudara itu, menempuh pendidikan formalnya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), meski hanya dilalui satu semester saja. Namun sebelumnya dia pernah menjalani pendidikan di Pondok Modern Gontor-Ponorogo dan menamatkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.
Antara 1970-1975, Cak Nun, menjalani hidupnya di Malioboro-Yogyakarta. Kemudian banyak menekuni aktivitas seni dan menggelar pementasan. Beberapa pementasan spektakuler yang digelarnya di antaranya, Geger Wong Ngoyak Macan (1989), Patung Kekasih (1989), Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Santri-Santri Khidhir (1990), Lautan Jilbab (1990), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993) dan Perahu Retak (1992).
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Hingga kini Cak Nun aktif 'berbaur' dengan masyarakat dan melakukan aktivitas berkesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Ia tetap rutin menjadi narasumber pengajian bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan, di berbagai daerah.
Sementara aktivitas bermusiknya dilalui bersama kelompok musik arahannya, Musik Kiai Kanjeng. Kelompok musik ini membawakan lagu-lagu sholawat nabi dan syair-syair religius yang bertema dakwah.
Selain itu suami aktris Novia Kolopaking ini, adalah seorang penulis buku dan menulis beberapa naskah theater. Di antara bukunya yang populer adalah Lautan Jilbab (1989, Puisi), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (puisi, 1990), Cahaya Maha Cahaya (puisi, 1991), Sastra Yang Membebaskan (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Sudrun Gugat (1994), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995), dll.
Sebelum menikah dengan Novia, Cak Nun pernah menikah dan dikaruniai seorang anak yang kini menjadi vokalis grup band Letto, Noe. Sedangkan dari pernikahannya dengan Novia, Cak Nun dikaruniai empat anak.
Cak Nun, yang merupakan anak keempat dari 15 bersaudara itu, menempuh pendidikan formalnya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), meski hanya dilalui satu semester saja. Namun sebelumnya dia pernah menjalani pendidikan di Pondok Modern Gontor-Ponorogo dan menamatkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta.
Antara 1970-1975, Cak Nun, menjalani hidupnya di Malioboro-Yogyakarta. Kemudian banyak menekuni aktivitas seni dan menggelar pementasan. Beberapa pementasan spektakuler yang digelarnya di antaranya, Geger Wong Ngoyak Macan (1989), Patung Kekasih (1989), Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Santri-Santri Khidhir (1990), Lautan Jilbab (1990), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993) dan Perahu Retak (1992).
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Hingga kini Cak Nun aktif 'berbaur' dengan masyarakat dan melakukan aktivitas berkesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Ia tetap rutin menjadi narasumber pengajian bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan, di berbagai daerah.
Sementara aktivitas bermusiknya dilalui bersama kelompok musik arahannya, Musik Kiai Kanjeng. Kelompok musik ini membawakan lagu-lagu sholawat nabi dan syair-syair religius yang bertema dakwah.
Selain itu suami aktris Novia Kolopaking ini, adalah seorang penulis buku dan menulis beberapa naskah theater. Di antara bukunya yang populer adalah Lautan Jilbab (1989, Puisi), Seribu Masjid Satu Jumlahnya (puisi, 1990), Cahaya Maha Cahaya (puisi, 1991), Sastra Yang Membebaskan (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Sudrun Gugat (1994), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995), dll.
Sebelum menikah dengan Novia, Cak Nun pernah menikah dan dikaruniai seorang anak yang kini menjadi vokalis grup band Letto, Noe. Sedangkan dari pernikahannya dengan Novia, Cak Nun dikaruniai empat anak.
Sumber: http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/e/emha_ainun_nadjib/
Wakakakaka.. Teresah cak! Karepmu! Bebas!
BalasHapusPanjenengan mawon wis menawi pingin dadi presiden,monggo..
Lah dianggap kiai mawon, Cak Nun tiambak mboten purun..