Sumber foto: Admin's Collection |
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #3 kali ini datang dari salah satu Tim penulis dengan kota bersalju tinggi pada pegunungan Uludag, pun kelezatan Iskender Kebab yang terkenal
kelezatannya...Bursa, di sini penulis mengukirkan keindahan Ulucamii masjid dengan kepiawaiannya melukiskan keindahannya, pun kita akan di bawa penulis seolah sedang ikut
serta berjamaah tarawih di masjid yang menakjubkan itu. Selamat membaca
-JIKA BENAR 2 PAHALA, JIKA SALAH 1 PAHALA UNTUK IJTIHADMU-
By. Fatimah Azzahra -Bursa
Tahun lalu di pinggiran masjid Jakarta Timur, shalat tarawih saya tak khusyu, 3 hari berturut-turut shaf di samping saya adalah ibu dengan sajadah merah dengan ujung merk “MADE
IN IZMIR, TURKEY”. Saya yang sedang menunggu pengumuman Turkiye Burslari terus menguatkan doa, mengeksponensialkan jumlah doa sampai limit yang tidak bisa diintegrasi.
Tahun ini, ketika secara resmi doa saya di-approved oleh pemilik Arsy saya tidak menjumpai sajadah merah disebelah shaf shalat tarawih saya. Ya, lebih dari Izmir, pemilik Arsy
mengirimkan saya ke bumi Utsmani, kota pertama Khalifah Utsmani, kota hijau Bursa.
Malam ketiga Ramadhan, masjid Ulucami masih penuh jamaah. Ulucami atau Grand Mosque dibangun pada masa Sultan Beyazid I dan dirancang bergaya arsitektur Selcuk.
Dibangun pada 1396-1399 masjid ini memliki 20 kubah dan 2 menara. Ulucami adalah masjid terbesar di kota tempat saya tinggal, sebuah peninggalan sejarah arsitektur zaman
Utsmani (Ottoman).
Menariknya diantara gaya masjid Turki lainnya yang memiliki kubah tunggal dan banyak menara, Ulucami memiliki lebih banyak kubah dan hanya dua menara. Dua puluh kubah ini
tersusun dalam empat lajur. Sejarah pembangunan dua puluh kubah ini juga menarik, Sultan Beyazid I berjanji jika memenangkan pertempuran di Nicopolis tahun 1396 dan akan
membuat dua puluh masjid berbeda, namun setelah kemenangannya, Sultan tidak punya cukup waktu melunasi nadzarnya sehingga dibangunlah satu masjid besar dengan dua
puluh kubah ini.
Tinggal di negara mayoritas muslim dengan beda mahzab sejatinya membuka lebih lebar jarak pandang kita tentang Islam yang bhineka, bahwa bhineka bukan berarti berbeda,
bhineka adalah khazanah.
Imam masjid Ulucami mengumumkan sebelum jamaah sempurna berdiri shalat tarawih bahwa shalat tarawih ini mengikuti pelaksanaan shalat tarawih di zaman Utsmani. Saya
berbisik-bisik dengan teman Indonesia dan Turki saya, menanyakan berapa rakaat shalat akan dilaksanakan. Tarawih masjid-masjid Turki umumnya 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3
rakaat shalat witir). Saya memegang informasi umum ini sebelum takbir shalat dimulai.
Shalat tarawih di Turki umumnya dilaksanakan dengan cepat. Al-Fatihah selesai dengan dua kali tarikan nafas dan bacaan surat hanya satu atau dua ayat lalu dilanjutkan rukuk dan
sujud seperti biasa. Rakaat satu dan dua lancar tanpa kendali, tetapi mulai memasuki rakaat ketiga, imam tidak berniat bangkit setelah sujud kedua, namun duduk iftirasy seperti
hendak tasyahud. Rakaat shalat akhirnya diselesaikan dengan 4 rakaat 1 kali salam dengan tasyahud awal seperti layaknya shalat isya. Empat rakaat ini diulang lima kali sehingga total
20 rakaat. Witir tiga rakaat pun menarik sekali dibahas karena dilaksanakan selayaknya shalat maghrib ada tasyahud diantara rakaat ke dua dan ketiga ditambah dengan adanya
qunud di rakaat kedua.
Entah karena masih kentalnya pengaruh sejarah muslim Osmanli atau memang begitu pula pelaksanaan shalat tarawih di kota lain saya tidak tahu pasti. Sepanjang jalan pulang
sambil melihat penjual macunu (gulali turki) atau penjual eskrim yang laku keras saya sibuk bertanya, jadi bagaimana duduk perkaranya, shalat tarawih 20 rakaat dengan 5 kali 4
rakaat dengan satu kali salam namun tasyahud melekat diantara rakaatnya? Bukankah ini sama dengan shalat wajib? Dalah satu riwayat, pembeda empat rakaat shalat sunnah
tarawih dengan shalat wajib (Isya ataupun Ashar) adalah ketiadaan tasyahud awal.
Sejatinya saya mengetahui bahwa shalat malam empat rakaat dengan salam hanya sekali merupakan mahzab Imam Abu Hanifah (Hanafi). Namun penjelasan lebih lanjut baru saya
dapatkan setelah bertanya sana sini dari para pemilik ilmu. Dan, ya.. tentu saya semakin menyadari, para pemilik ilmu adalah serupa gula yang selalu dicari semut, serupa mata air
untuk para musafir yang kehausan. Begitulah hakikat ilmu selayaknya menjadi cahaya dan beruntunglah para pemilik ilmu yang terus belajar dan berbagi ilmunya. Kelak, mereka
akan seperti pohon teduh dengan banyak cabang dan buah, menyejukkan bagi yang dibawahnya.
Kembali ke pembahasan tarawih, pengikut Imam Ibu Hanifah ini mendasarkan dalilnya pada keumuman hadits shahih dari Aisyah ra, “bahwa nabi sawshalat malam 4 rakaat, maka
jangan tanya kau tanya tentang kualitas dan panjangnya”. Namun, jumhur ulama berpendapat hadits tersebut masih umum tidak menjelaskan apakah 1 kali salam (langsung 4 rakaat)
atau dua kali salam (masing-masing 2 rakaat). Oleh karenanya hadits ini dikhususkan dengan hadits-hadits shahih lain yang menjelaskan secara lebih spesifik antara lain hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Shalat malam dua-dua, jika kalian khawatir masuk waktu subuh tutuplah dengan satu rakaat witir”. Ibnu Umar sebagai perawi
hadits ini ditanya oleh sebagian muridnya, “Apa yang dimaksud dua-dua?”, Ibnu Umar menjawab, “Salam disetiap dua rakaat”. Sementara itu sebagian ulama lain mengatakan tidak
ada pengkhususan artinya Rasulullah pernah salam tiap dua rakaat, kadang dalam tiap empat rakaat.
Di Ulucami, pelaksanaan shalat witir pun menyerupai shalat maghrib, 3 rakaat dengan tasyahud awal di dalamnya, juga di sertai qunut. Mengenai hal ini, narasumber saya yang tidak
lain adalah salah satu anak dari sepuluh bintang Al-Quran anak kandung Ustadz Mutamumul Ula dan Ustz. Wiryaningsih, menyatakan bahwa doa qunut witir memang disepakati oleh
semua ulama tentang kesunnahannya, hanya jumhur berbeda pendapat mengenai mulai kapan dilaksanakan, apakah dimulai dari awal Ramadhan ataukah dimulai di paruh akhir
(15 hari kedua) Ramadhan.
Yang shahih dari tradisi salaf adalah setelah masuk 15 hari kedua. Sedangkan, praktik yang saya deskripsikan (shalat witir dengan tasyahud awal dan qunud) memang tidak sesuai
dengan apa yang dicontohkan nabi dan salaf, namun tidak apa diikuti sebagai makmum karena tetap berpahala dengan sandaran bahwa masih sesuai dengan petunjuk Rasulullah
agar tetap bersama imam. Imam biasanya melaksanakan praktik ini setelah ijtihad mazhab tertentu sedangkan hasil ijtihad antara dua pahala (jika benar) atau 1 pahala (jika salah).
Lalu bagaimana pelaksanaan shalat empat rakaat yang serupa shalat fardhu yaitu dengan adanya tasyahud? sebenarnya tidak perlu ada tahiyat namun kembali ke pijakan awal untuk
mengikuti imam yang sudah berijtihad insyaallah akan tetap mendapat pahala.
Di zaman Turki Utsmani mazhab yang dominan memang Hanafi (Imam Ibnu Hanifah). Mazhab ini pernah menjadi mazhab resmi Khalifah Utsmaniyah selama ratusan tahun sampai
masa keruntuhannya. Oleh karenanya, mazhab yang sebarannya paling luas di dunia Islam dari mazhab 4 fiqh tidak lain adalah mazhab Hanafi.
Setelah ini mungkin saya akan menemui potongan-potongan perbedaan lainnya selama atmosfer Ramadhan masih melekat. Maka, bertanya bukan berarti membuka aib kebodohan
diri sendiri, tetapi bertanya membuka pintu cahaya untuk melihat Islam lebih terang benderang.
Salam
#Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Fatimah Azzahra, Bursa.
LKS MIT-ers lovers
Note : Keindahan Mesjid Ulu camii Bursa..
Tulisan merupakan kiriman dari Tim "Penakluk sejarah"
kelezatannya...Bursa, di sini penulis mengukirkan keindahan Ulucamii masjid dengan kepiawaiannya melukiskan keindahannya, pun kita akan di bawa penulis seolah sedang ikut
serta berjamaah tarawih di masjid yang menakjubkan itu. Selamat membaca
-JIKA BENAR 2 PAHALA, JIKA SALAH 1 PAHALA UNTUK IJTIHADMU-
By. Fatimah Azzahra -Bursa
Tahun lalu di pinggiran masjid Jakarta Timur, shalat tarawih saya tak khusyu, 3 hari berturut-turut shaf di samping saya adalah ibu dengan sajadah merah dengan ujung merk “MADE
IN IZMIR, TURKEY”. Saya yang sedang menunggu pengumuman Turkiye Burslari terus menguatkan doa, mengeksponensialkan jumlah doa sampai limit yang tidak bisa diintegrasi.
Tahun ini, ketika secara resmi doa saya di-approved oleh pemilik Arsy saya tidak menjumpai sajadah merah disebelah shaf shalat tarawih saya. Ya, lebih dari Izmir, pemilik Arsy
mengirimkan saya ke bumi Utsmani, kota pertama Khalifah Utsmani, kota hijau Bursa.
Malam ketiga Ramadhan, masjid Ulucami masih penuh jamaah. Ulucami atau Grand Mosque dibangun pada masa Sultan Beyazid I dan dirancang bergaya arsitektur Selcuk.
Dibangun pada 1396-1399 masjid ini memliki 20 kubah dan 2 menara. Ulucami adalah masjid terbesar di kota tempat saya tinggal, sebuah peninggalan sejarah arsitektur zaman
Utsmani (Ottoman).
Menariknya diantara gaya masjid Turki lainnya yang memiliki kubah tunggal dan banyak menara, Ulucami memiliki lebih banyak kubah dan hanya dua menara. Dua puluh kubah ini
tersusun dalam empat lajur. Sejarah pembangunan dua puluh kubah ini juga menarik, Sultan Beyazid I berjanji jika memenangkan pertempuran di Nicopolis tahun 1396 dan akan
membuat dua puluh masjid berbeda, namun setelah kemenangannya, Sultan tidak punya cukup waktu melunasi nadzarnya sehingga dibangunlah satu masjid besar dengan dua
puluh kubah ini.
Tinggal di negara mayoritas muslim dengan beda mahzab sejatinya membuka lebih lebar jarak pandang kita tentang Islam yang bhineka, bahwa bhineka bukan berarti berbeda,
bhineka adalah khazanah.
Imam masjid Ulucami mengumumkan sebelum jamaah sempurna berdiri shalat tarawih bahwa shalat tarawih ini mengikuti pelaksanaan shalat tarawih di zaman Utsmani. Saya
berbisik-bisik dengan teman Indonesia dan Turki saya, menanyakan berapa rakaat shalat akan dilaksanakan. Tarawih masjid-masjid Turki umumnya 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3
rakaat shalat witir). Saya memegang informasi umum ini sebelum takbir shalat dimulai.
Shalat tarawih di Turki umumnya dilaksanakan dengan cepat. Al-Fatihah selesai dengan dua kali tarikan nafas dan bacaan surat hanya satu atau dua ayat lalu dilanjutkan rukuk dan
sujud seperti biasa. Rakaat satu dan dua lancar tanpa kendali, tetapi mulai memasuki rakaat ketiga, imam tidak berniat bangkit setelah sujud kedua, namun duduk iftirasy seperti
hendak tasyahud. Rakaat shalat akhirnya diselesaikan dengan 4 rakaat 1 kali salam dengan tasyahud awal seperti layaknya shalat isya. Empat rakaat ini diulang lima kali sehingga total
20 rakaat. Witir tiga rakaat pun menarik sekali dibahas karena dilaksanakan selayaknya shalat maghrib ada tasyahud diantara rakaat ke dua dan ketiga ditambah dengan adanya
qunud di rakaat kedua.
Entah karena masih kentalnya pengaruh sejarah muslim Osmanli atau memang begitu pula pelaksanaan shalat tarawih di kota lain saya tidak tahu pasti. Sepanjang jalan pulang
sambil melihat penjual macunu (gulali turki) atau penjual eskrim yang laku keras saya sibuk bertanya, jadi bagaimana duduk perkaranya, shalat tarawih 20 rakaat dengan 5 kali 4
rakaat dengan satu kali salam namun tasyahud melekat diantara rakaatnya? Bukankah ini sama dengan shalat wajib? Dalah satu riwayat, pembeda empat rakaat shalat sunnah
tarawih dengan shalat wajib (Isya ataupun Ashar) adalah ketiadaan tasyahud awal.
Sejatinya saya mengetahui bahwa shalat malam empat rakaat dengan salam hanya sekali merupakan mahzab Imam Abu Hanifah (Hanafi). Namun penjelasan lebih lanjut baru saya
dapatkan setelah bertanya sana sini dari para pemilik ilmu. Dan, ya.. tentu saya semakin menyadari, para pemilik ilmu adalah serupa gula yang selalu dicari semut, serupa mata air
untuk para musafir yang kehausan. Begitulah hakikat ilmu selayaknya menjadi cahaya dan beruntunglah para pemilik ilmu yang terus belajar dan berbagi ilmunya. Kelak, mereka
akan seperti pohon teduh dengan banyak cabang dan buah, menyejukkan bagi yang dibawahnya.
Kembali ke pembahasan tarawih, pengikut Imam Ibu Hanifah ini mendasarkan dalilnya pada keumuman hadits shahih dari Aisyah ra, “bahwa nabi sawshalat malam 4 rakaat, maka
jangan tanya kau tanya tentang kualitas dan panjangnya”. Namun, jumhur ulama berpendapat hadits tersebut masih umum tidak menjelaskan apakah 1 kali salam (langsung 4 rakaat)
atau dua kali salam (masing-masing 2 rakaat). Oleh karenanya hadits ini dikhususkan dengan hadits-hadits shahih lain yang menjelaskan secara lebih spesifik antara lain hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Shalat malam dua-dua, jika kalian khawatir masuk waktu subuh tutuplah dengan satu rakaat witir”. Ibnu Umar sebagai perawi
hadits ini ditanya oleh sebagian muridnya, “Apa yang dimaksud dua-dua?”, Ibnu Umar menjawab, “Salam disetiap dua rakaat”. Sementara itu sebagian ulama lain mengatakan tidak
ada pengkhususan artinya Rasulullah pernah salam tiap dua rakaat, kadang dalam tiap empat rakaat.
Di Ulucami, pelaksanaan shalat witir pun menyerupai shalat maghrib, 3 rakaat dengan tasyahud awal di dalamnya, juga di sertai qunut. Mengenai hal ini, narasumber saya yang tidak
lain adalah salah satu anak dari sepuluh bintang Al-Quran anak kandung Ustadz Mutamumul Ula dan Ustz. Wiryaningsih, menyatakan bahwa doa qunut witir memang disepakati oleh
semua ulama tentang kesunnahannya, hanya jumhur berbeda pendapat mengenai mulai kapan dilaksanakan, apakah dimulai dari awal Ramadhan ataukah dimulai di paruh akhir
(15 hari kedua) Ramadhan.
Yang shahih dari tradisi salaf adalah setelah masuk 15 hari kedua. Sedangkan, praktik yang saya deskripsikan (shalat witir dengan tasyahud awal dan qunud) memang tidak sesuai
dengan apa yang dicontohkan nabi dan salaf, namun tidak apa diikuti sebagai makmum karena tetap berpahala dengan sandaran bahwa masih sesuai dengan petunjuk Rasulullah
agar tetap bersama imam. Imam biasanya melaksanakan praktik ini setelah ijtihad mazhab tertentu sedangkan hasil ijtihad antara dua pahala (jika benar) atau 1 pahala (jika salah).
Lalu bagaimana pelaksanaan shalat empat rakaat yang serupa shalat fardhu yaitu dengan adanya tasyahud? sebenarnya tidak perlu ada tahiyat namun kembali ke pijakan awal untuk
mengikuti imam yang sudah berijtihad insyaallah akan tetap mendapat pahala.
Di zaman Turki Utsmani mazhab yang dominan memang Hanafi (Imam Ibnu Hanifah). Mazhab ini pernah menjadi mazhab resmi Khalifah Utsmaniyah selama ratusan tahun sampai
masa keruntuhannya. Oleh karenanya, mazhab yang sebarannya paling luas di dunia Islam dari mazhab 4 fiqh tidak lain adalah mazhab Hanafi.
Setelah ini mungkin saya akan menemui potongan-potongan perbedaan lainnya selama atmosfer Ramadhan masih melekat. Maka, bertanya bukan berarti membuka aib kebodohan
diri sendiri, tetapi bertanya membuka pintu cahaya untuk melihat Islam lebih terang benderang.
Salam
#Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Fatimah Azzahra, Bursa.
LKS MIT-ers lovers
Note : Keindahan Mesjid Ulu camii Bursa..
Tulisan merupakan kiriman dari Tim "Penakluk sejarah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar