Sumber Foto : Google.com |
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #4 kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang tinggal di kota terbesar ketiga Turki dengan iklim mediterania yang khas. Keindahan pantai Izmir
adalah wajah yang menyimpan keajaiban tersendiri bagi kota penyimpan Clock Tower (Saat Kulesi) Selamat membaca..
Oleh : Qurriyah Ika Finasti
(Kontributor Izmir)
"Rindu Petasan, Rindu Ramadhan di Tanah Air"
Bulan Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan pertama saya di luar Indonesia. Sengaja saya tidak menyebutkan ‘bulan Ramadhan pertama saya jauh dari keluarga’ karena
sebelumnya saya sudah mengalami pengalaman Ramadhan jauh dari keluarga ketika saya kuliah di luar kota. Kata ‘jauh’ di sini bisa jadi relatif memang karena sama-sama jauh dari
keluarga, saat itu ke-jauh-an yang ada secara hitungan matematis tidak bisa dibandingkan dengan ‘jauh’ yang saya rasakan sekarang.
Menuntut ilmu ribuan milnya dari tanah air, di sebuah negara dengan kultur dan iklim yang sangat berbeda, sebenarnya membuat saya penasaran dengan suasana Ramadhan di
negeri ini. Di sebuah negeri yang pernah menjadi simbol kejayaan Islam dan secara de jure mayoritas penduduknya Muslim. Jujur, harapan bahwa suasana Ramadhan di sini sangat
hidup pernah muncul sebelum saya sampai di sini.
Maka sampailah saya di bulan Ramadhan. Ah, setelah melihat sendiri kenyataan yang terjadi di sini, saya semakin merindukan Indonesia. Saya rindu suasana Ramadhan di Indonesia.
Sebenarnya, saya sudah merendahkan ekspektasi saya terhadap hidupnya suasana Ramadhan di sini begitu saya mendapati kenyataan bahwa Muslim di sini sehari-harinya pun jarang
beribadah.
Pagi ini ketika saya akan kembali dari masjid di zemin kat menuju kamar saya yang berada di lantai 2, saya berhenti sejenak di dekat jendela yang terbuka. Langit masih gelap dan ada
sedikit angin yang masuk. Tiba-tiba saya merasa nyesek. Buru-buru saya tarik napas panjang.
Biasanya suasana Ramadhan di Indonesia dihidupkan dengan orang-orang yang berbondong-bondong ke masjid saat tarawih, suara bacaan Al Quran ketika tadarus, anak-anak kecil
dan remaja yang membangunkan dan mengingatkan untuk sahur, dan satu lagi, petasan. Semua itu sangat khas di bulan Ramadhan, hal-hal yang menghidupkan Ramadhan di
Indonesia. Saya tiba-tiba merindukan itu semua, bahkan saya merindukan suara petasan yang biasanya ketika saya berada di Indonesia hanya membuat saya menggerutu
berkepanjangan.
Namun, ketika pagi ini saya bangun tidur, saya sedikit berpikir dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Ramadhan itu bisa hidup jika kita bisa menghidupkannya. Setidaknya bagi
saya sendiri saya akan berusaha menghidupkan Ramadhan kali ini (meskipun tentu saja tanpa petasan). In syaa Allaah teman-teman lain yang berada di Turki pun mampu untuk
menghidupkan Ramadhan ini. Bukan begitu, teman-teman?
Size Ramazan mübarek olsun diliyorum.
tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
adalah wajah yang menyimpan keajaiban tersendiri bagi kota penyimpan Clock Tower (Saat Kulesi) Selamat membaca..
Oleh : Qurriyah Ika Finasti
(Kontributor Izmir)
"Rindu Petasan, Rindu Ramadhan di Tanah Air"
Bulan Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan pertama saya di luar Indonesia. Sengaja saya tidak menyebutkan ‘bulan Ramadhan pertama saya jauh dari keluarga’ karena
sebelumnya saya sudah mengalami pengalaman Ramadhan jauh dari keluarga ketika saya kuliah di luar kota. Kata ‘jauh’ di sini bisa jadi relatif memang karena sama-sama jauh dari
keluarga, saat itu ke-jauh-an yang ada secara hitungan matematis tidak bisa dibandingkan dengan ‘jauh’ yang saya rasakan sekarang.
Menuntut ilmu ribuan milnya dari tanah air, di sebuah negara dengan kultur dan iklim yang sangat berbeda, sebenarnya membuat saya penasaran dengan suasana Ramadhan di
negeri ini. Di sebuah negeri yang pernah menjadi simbol kejayaan Islam dan secara de jure mayoritas penduduknya Muslim. Jujur, harapan bahwa suasana Ramadhan di sini sangat
hidup pernah muncul sebelum saya sampai di sini.
Maka sampailah saya di bulan Ramadhan. Ah, setelah melihat sendiri kenyataan yang terjadi di sini, saya semakin merindukan Indonesia. Saya rindu suasana Ramadhan di Indonesia.
Sebenarnya, saya sudah merendahkan ekspektasi saya terhadap hidupnya suasana Ramadhan di sini begitu saya mendapati kenyataan bahwa Muslim di sini sehari-harinya pun jarang
beribadah.
Pagi ini ketika saya akan kembali dari masjid di zemin kat menuju kamar saya yang berada di lantai 2, saya berhenti sejenak di dekat jendela yang terbuka. Langit masih gelap dan ada
sedikit angin yang masuk. Tiba-tiba saya merasa nyesek. Buru-buru saya tarik napas panjang.
Biasanya suasana Ramadhan di Indonesia dihidupkan dengan orang-orang yang berbondong-bondong ke masjid saat tarawih, suara bacaan Al Quran ketika tadarus, anak-anak kecil
dan remaja yang membangunkan dan mengingatkan untuk sahur, dan satu lagi, petasan. Semua itu sangat khas di bulan Ramadhan, hal-hal yang menghidupkan Ramadhan di
Indonesia. Saya tiba-tiba merindukan itu semua, bahkan saya merindukan suara petasan yang biasanya ketika saya berada di Indonesia hanya membuat saya menggerutu
berkepanjangan.
Namun, ketika pagi ini saya bangun tidur, saya sedikit berpikir dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Ramadhan itu bisa hidup jika kita bisa menghidupkannya. Setidaknya bagi
saya sendiri saya akan berusaha menghidupkan Ramadhan kali ini (meskipun tentu saja tanpa petasan). In syaa Allaah teman-teman lain yang berada di Turki pun mampu untuk
menghidupkan Ramadhan ini. Bukan begitu, teman-teman?
Size Ramazan mübarek olsun diliyorum.
tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar