Keindahan Mesjid Sultan Mahmet [Blue Mosque] di Malam Hari.. |
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #2 [sahur Istimewa] kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang menghirup udara pada sebuah Kota yang terletak di Selatan Turkey, yang
merupakan pusat komersil dan pertanian Turkey, Adana. Tangan terampil penulis membawa kita pada sepucuk memori tanah air, ah...Endonezya
-Rindu Para Pelangiku-
By. Sketz-Adana
Ah sudah lama rupanya tak menulis. Diri ini pun lupa dengan sendirinya bahwa sebenarnya juga perlu waktu untuk mengurus diri sendiri, bukan urusan dunia yang lain. Bahkan
selalu menyempitkan waktu untuk berbincang dengan yang Maha SegalaNya.
Astaghfirullahaladzim..
Ditanggalanku sudah tersetting ini hari kedua puasa Ramadhan, tapi entahlah berbeda rasanya dengan Ramadhan sebelumnya. Walaupun ada terselip rasa bangga bisa menunaikan
ibadah puasa dinegara orang, tapi sebenarnya sungguh hati ini ingin berada disamping keluarga.
Kawan, jika inginku ceritakan.
Selepas aku terjaga diluar kampung halamanku, Balikpapan 4 tahun yang lalu, keberadaanku dirumah jarang terlihat. Aku dipaksa untuk merantaukan diri ke pulau orang dengan
satu tujuanku, mengejar ilmu. Bapakku bilang, “Uang itu bisa dicari. Bapak sekolahkan kamu jauh untuk bisa jadi anak yang sholehah, panutan untuk adek adekmu..” Ah air mata ini
sudah dipelupuk rupanya tiap kali menuliskan nasihat bapak.
Awalnya aku masih belum bisa menerima keberadaan keluargaku yang terbatasi oleh pulau. Tidak jauh, hanya sebatas pulau. Namun nampaknya walau hanya terbataskan pulau,
dirumah hanya bisa bersinggah 2 bulan dalam setahun.
Semenjak perantauanku, hari pertama puasa Ramadhan tidak diherankan namaku selalu absen dirumah. Sungguh, disetiap hari pertama puasa Ramadhan aku selalu merasa sendiri.
Sahur sendiri, buka puasa sendiri, shalat teraweh pun sendiri. Ah tidak, selama satu bulan tidak begitu. Biasa ketika teman teman asramaku yang lain telah datang, sungguh kental
rasanya nikmat Ramadhan. Dibangunin sahur pakai bel super nyaring, ngantri sahur dengan perut bersuarakan cacing, malas buat mandi, tidur seperti kekelawar, dan terakhir buka
puasa bareng diluar. “Aku ikut shalat kloter kedua aja..” alasan yang dipake kalau lagi males buat shalat teraweh. Haha kenangan itu.
Suasana dirumah dengan ditanah rantau berbeda kawan, walaupun masih satu negara.
Dirumah, 4 tahun sebelum perantauanku.
Sekitar jam 3 dibangunin ibu buat sahur, karena melihat makanan belum siap, biasa tidur lagi sambil nunggu diteriakin, “Nurul kalau mau sahur tinggal 20 menit lagi..” haha, Semenit
sebelum imsak biasanya Bapak selalu nuangin air putih digelas besar buat anak anaknya, dan ibu biasanya bilang “Minum yang banyak biar bacaan Qur’annya banyak..”
Rumahku tidaklah terhitung jauh dari masjid, alhasil suara itu selalu terdengar.
“Sahur sahur … bapak bapak ibu ibu sahur tinggal 30 menit lagi..”
“Imsak 10 menit lagi.”
10 menit kemudian.
“Imsak telah habis, selamat menunaikan ibadah puasa..” Ngeeeenggg .. Ah sungguh suara suling peringatan berbunyi ‘Ngeeng’ itu pun ku rindukan saat ini.
“Nurul, Nisa, Nadila cepet ambil wudhu udah mau adzan tuuu. Nggak ada yang shalat dirumah.” Haha suara siapa lagi kalau bukan Ibuku. Karena kebiasaan itu membuat aku selalu
ingat beliau, pelangi nilaku.
Selepas shalat shubuh, bapak dan ibuku rupanya memberikan contoh yang indah, membaca Qur’an sampai pagi. Haha rupanya kebiasaan para pelangiku belum sampai hati ku
terapkan, ku baringkan diriku seraya bergumam, “Baca Qur’annya entar aja waktu shalat dhuha. Sekalian double halaman deh entar..”
Dzuhur, Ashar, Magrib.
Sebelum ke Magrib, diantara setelah Ashar dan mau magrib. Biasa dirumah…
“Yang mau beli makan siapa? Nurul, Nisa, atau Nadila?” Ibuku bertanya dengan mata yang selalu mengarah padaku atau adek terakhirku, Nadila. Buat jajanan buka, kami biasa milih
untuk beli diluar.
“Kemarin udah aku yang beli..” Haha jawaban itu biasanya pelangi merahku yang mengeluarkan, Nadila.
Aku yang pasrah,
“Yaudah Dil kita beli berdua, kamu yang bawa motor.”
Dalam kondisi disini, sebenarnya aku yang aman, karena bagian Nisa biasanya disuruh masak nasi atau nuci piring haha.
“Siapa yang nyuci piring?”
“Aku tadi udah beli makanan..” Begitu suaraku. Dan jadilah bagian nuci piring seluruhnya tugas pelangi biruku, Nisa.
Pelangiku yang lain adalah pelangi jingga, bapakku. Warna jingga itu susah untuk didiskripsikan, beliau pun seperti itu. Bapakku tak pernah lelah walau puasa dan masih beraktifitas
seperti biasa. Yang jarang atau bahkan tak pernah ku lihat, Bapak tak pernah absen berbuka puasa dan shalat di Masjid Sungguh beliau memberi contoh baik ke anak anaknya dengan
caranya sendiri.
Namun detik ini, perantauanku bukan lagi berbataskan pulau, namun samudera.
Kalau tahun sebelumnya, masihlah merasakan puasa bareng keluarga, namun tahun ini benar benar aku tanpa ditemani mereka. Mereka bilang aku harus kuat, aku pun bisa kuat
dengan kalimat itu. Para pelangiku bilang aku harus lebih kuat, mau dihinakan seperti apapun saat ini aku sudah lebih kuat.
Kemarin, tepat hari pertama puasa Ramadhan, sungguh kurindukan mereka, ku tangisi mereka dalam doaku. Ku ceritakan pada sang Maha Pengasih, bahwa diri ini rindu kehadiran
mereka, diri ini rindu suara mereka, diri ini rindu omelan omelan mereka, diri ini rindu 4 tahun yang lalu yang bisa berada didekat mereka, para pelangiku, kebanggaanku.
Ku sadari, Ramadhan dinegara perantauanku taklah semeriah dikampung halamaku.
Suara bapak bapak yang memperingati habisnya imsak tak terdengar olehku.
Ketika ku langkahkan kaki keluar sejenak untuk menghirup udara pagi,
Bukannya menghormati, disini kafe kafe sudahlah dibukai.
Hanya dengan dibalut kain tipis, masihlah bisa ku lirik berapa orang yang bersarapan disana. Atau masihkah ada yang tidak mengetahui bahwa ini bulan berkah?
Mataku pun ternodai dipagi itu ketika seorang wanita dan pria bergandengan tangan.
Astaghfirullahaladzim.
Ah mungkin saja mereka sudah bersuami istri, pikir positifku.
Ah rupanya 17 jam itu waktu yang lumayan lama, sempat ku baringkan diri ini untuk beristirahat dari serangan sinar laptop. Dan tik tok.
20 menit sebelum berbuka, yang terlihat bukan es kelapa melainkan ayran. Bukan kolak namun çorba. Ah yasudahlah kan ku tunggu tahun depan untuk bisa menyantap habis es
kelapa langgananku.
Karena kebanyakan wanita disini bermazhab Hanafi, kami pun tak dapat satu sama lain untuk saling mengimami, alhasil setengah jam sebelum adzan isya kami langkahkan ke masjid
terdekat.
Saat itu sungguh aku terlihat paling berbeda dengan memakai seragam mukena untuk shalat. Seperti umumnya, diawali dengan shalat isya, 20 rakaat shalat terawih dan 3 rakaat
witir. Dihari pertama aku sempat malu pada rakaat terakhir shalat witir, disaat yang lain kembali melakukan gerakan takbirratul ihram sebelum ruku’, aku sendiri yang mengubah posisi
menjadi ruku’, dan dengan refleks ku kembalikan diri menegakkan tubuh. Tidak hanya itu, disaat yang lain membaca qunut dalam hati, aku pun sempat kebingungan apa yang harus
aku baca.
Setelah shalat pun ku tunggui ceramah yang akan disampaikan, “ah tidak rupanya tidak ada.” Sampai jamaah kosong pun ceramah dari masjid itu tak terdengar. Yah perbedaan untuk
kesekian kalinya kutemui.
Dalam perjalananku menuju asrama, ku coba cari langit yang bersinar, yang disebelahnya ada sang rembulan. Ah bangunan bangunan disekitarku sungguh menghalangiku.
Pencarianku berakhir dengan terputarnya memori yang nyaris hilang.
Setahun silam, malam dimana aku berada dalam lintasan kota Istanbul. Tak terdengar suara takbiran yang menandakan esok adalah hari kemenangan. Saat itu diriku masih
berkumpul dengan teman teman dari senegaraku, kami takbirkan sendiri di balkon paling atas asrama. Malam saat itu sungguhlah tak seramai negaraku yang dipenuhi dengan
takbiran dan petasan. Ya yang dalam pikiranku saat itu, benarkah ini negara Islam?
Hampir genaplah sudah aku diperantauan yang tidak lagi berbataskan oleh pulau, namun negara. walau lebaran tahun ini kembali tak bisa bersalaman dengan orang tua, berharap
setidaknya aroma idul fitri bisa kudapatkan dikotaku, Adana. Buat para pelangiku disana, kalian tak kan tergantikan oleh pelangi pelangi yang lain.
#Catatan Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Written by : sketZ-Adana
LKS MIT-ers lovers
Note :
Tulisan merupakan kiriman dari Tim “Penakluk sejarah”
merupakan pusat komersil dan pertanian Turkey, Adana. Tangan terampil penulis membawa kita pada sepucuk memori tanah air, ah...Endonezya
-Rindu Para Pelangiku-
By. Sketz-Adana
Ah sudah lama rupanya tak menulis. Diri ini pun lupa dengan sendirinya bahwa sebenarnya juga perlu waktu untuk mengurus diri sendiri, bukan urusan dunia yang lain. Bahkan
selalu menyempitkan waktu untuk berbincang dengan yang Maha SegalaNya.
Astaghfirullahaladzim..
Ditanggalanku sudah tersetting ini hari kedua puasa Ramadhan, tapi entahlah berbeda rasanya dengan Ramadhan sebelumnya. Walaupun ada terselip rasa bangga bisa menunaikan
ibadah puasa dinegara orang, tapi sebenarnya sungguh hati ini ingin berada disamping keluarga.
Kawan, jika inginku ceritakan.
Selepas aku terjaga diluar kampung halamanku, Balikpapan 4 tahun yang lalu, keberadaanku dirumah jarang terlihat. Aku dipaksa untuk merantaukan diri ke pulau orang dengan
satu tujuanku, mengejar ilmu. Bapakku bilang, “Uang itu bisa dicari. Bapak sekolahkan kamu jauh untuk bisa jadi anak yang sholehah, panutan untuk adek adekmu..” Ah air mata ini
sudah dipelupuk rupanya tiap kali menuliskan nasihat bapak.
Awalnya aku masih belum bisa menerima keberadaan keluargaku yang terbatasi oleh pulau. Tidak jauh, hanya sebatas pulau. Namun nampaknya walau hanya terbataskan pulau,
dirumah hanya bisa bersinggah 2 bulan dalam setahun.
Semenjak perantauanku, hari pertama puasa Ramadhan tidak diherankan namaku selalu absen dirumah. Sungguh, disetiap hari pertama puasa Ramadhan aku selalu merasa sendiri.
Sahur sendiri, buka puasa sendiri, shalat teraweh pun sendiri. Ah tidak, selama satu bulan tidak begitu. Biasa ketika teman teman asramaku yang lain telah datang, sungguh kental
rasanya nikmat Ramadhan. Dibangunin sahur pakai bel super nyaring, ngantri sahur dengan perut bersuarakan cacing, malas buat mandi, tidur seperti kekelawar, dan terakhir buka
puasa bareng diluar. “Aku ikut shalat kloter kedua aja..” alasan yang dipake kalau lagi males buat shalat teraweh. Haha kenangan itu.
Suasana dirumah dengan ditanah rantau berbeda kawan, walaupun masih satu negara.
Dirumah, 4 tahun sebelum perantauanku.
Sekitar jam 3 dibangunin ibu buat sahur, karena melihat makanan belum siap, biasa tidur lagi sambil nunggu diteriakin, “Nurul kalau mau sahur tinggal 20 menit lagi..” haha, Semenit
sebelum imsak biasanya Bapak selalu nuangin air putih digelas besar buat anak anaknya, dan ibu biasanya bilang “Minum yang banyak biar bacaan Qur’annya banyak..”
Rumahku tidaklah terhitung jauh dari masjid, alhasil suara itu selalu terdengar.
“Sahur sahur … bapak bapak ibu ibu sahur tinggal 30 menit lagi..”
“Imsak 10 menit lagi.”
10 menit kemudian.
“Imsak telah habis, selamat menunaikan ibadah puasa..” Ngeeeenggg .. Ah sungguh suara suling peringatan berbunyi ‘Ngeeng’ itu pun ku rindukan saat ini.
“Nurul, Nisa, Nadila cepet ambil wudhu udah mau adzan tuuu. Nggak ada yang shalat dirumah.” Haha suara siapa lagi kalau bukan Ibuku. Karena kebiasaan itu membuat aku selalu
ingat beliau, pelangi nilaku.
Selepas shalat shubuh, bapak dan ibuku rupanya memberikan contoh yang indah, membaca Qur’an sampai pagi. Haha rupanya kebiasaan para pelangiku belum sampai hati ku
terapkan, ku baringkan diriku seraya bergumam, “Baca Qur’annya entar aja waktu shalat dhuha. Sekalian double halaman deh entar..”
Dzuhur, Ashar, Magrib.
Sebelum ke Magrib, diantara setelah Ashar dan mau magrib. Biasa dirumah…
“Yang mau beli makan siapa? Nurul, Nisa, atau Nadila?” Ibuku bertanya dengan mata yang selalu mengarah padaku atau adek terakhirku, Nadila. Buat jajanan buka, kami biasa milih
untuk beli diluar.
“Kemarin udah aku yang beli..” Haha jawaban itu biasanya pelangi merahku yang mengeluarkan, Nadila.
Aku yang pasrah,
“Yaudah Dil kita beli berdua, kamu yang bawa motor.”
Dalam kondisi disini, sebenarnya aku yang aman, karena bagian Nisa biasanya disuruh masak nasi atau nuci piring haha.
“Siapa yang nyuci piring?”
“Aku tadi udah beli makanan..” Begitu suaraku. Dan jadilah bagian nuci piring seluruhnya tugas pelangi biruku, Nisa.
Pelangiku yang lain adalah pelangi jingga, bapakku. Warna jingga itu susah untuk didiskripsikan, beliau pun seperti itu. Bapakku tak pernah lelah walau puasa dan masih beraktifitas
seperti biasa. Yang jarang atau bahkan tak pernah ku lihat, Bapak tak pernah absen berbuka puasa dan shalat di Masjid Sungguh beliau memberi contoh baik ke anak anaknya dengan
caranya sendiri.
Namun detik ini, perantauanku bukan lagi berbataskan pulau, namun samudera.
Kalau tahun sebelumnya, masihlah merasakan puasa bareng keluarga, namun tahun ini benar benar aku tanpa ditemani mereka. Mereka bilang aku harus kuat, aku pun bisa kuat
dengan kalimat itu. Para pelangiku bilang aku harus lebih kuat, mau dihinakan seperti apapun saat ini aku sudah lebih kuat.
Kemarin, tepat hari pertama puasa Ramadhan, sungguh kurindukan mereka, ku tangisi mereka dalam doaku. Ku ceritakan pada sang Maha Pengasih, bahwa diri ini rindu kehadiran
mereka, diri ini rindu suara mereka, diri ini rindu omelan omelan mereka, diri ini rindu 4 tahun yang lalu yang bisa berada didekat mereka, para pelangiku, kebanggaanku.
Ku sadari, Ramadhan dinegara perantauanku taklah semeriah dikampung halamaku.
Suara bapak bapak yang memperingati habisnya imsak tak terdengar olehku.
Ketika ku langkahkan kaki keluar sejenak untuk menghirup udara pagi,
Bukannya menghormati, disini kafe kafe sudahlah dibukai.
Hanya dengan dibalut kain tipis, masihlah bisa ku lirik berapa orang yang bersarapan disana. Atau masihkah ada yang tidak mengetahui bahwa ini bulan berkah?
Mataku pun ternodai dipagi itu ketika seorang wanita dan pria bergandengan tangan.
Astaghfirullahaladzim.
Ah mungkin saja mereka sudah bersuami istri, pikir positifku.
Ah rupanya 17 jam itu waktu yang lumayan lama, sempat ku baringkan diri ini untuk beristirahat dari serangan sinar laptop. Dan tik tok.
20 menit sebelum berbuka, yang terlihat bukan es kelapa melainkan ayran. Bukan kolak namun çorba. Ah yasudahlah kan ku tunggu tahun depan untuk bisa menyantap habis es
kelapa langgananku.
Karena kebanyakan wanita disini bermazhab Hanafi, kami pun tak dapat satu sama lain untuk saling mengimami, alhasil setengah jam sebelum adzan isya kami langkahkan ke masjid
terdekat.
Saat itu sungguh aku terlihat paling berbeda dengan memakai seragam mukena untuk shalat. Seperti umumnya, diawali dengan shalat isya, 20 rakaat shalat terawih dan 3 rakaat
witir. Dihari pertama aku sempat malu pada rakaat terakhir shalat witir, disaat yang lain kembali melakukan gerakan takbirratul ihram sebelum ruku’, aku sendiri yang mengubah posisi
menjadi ruku’, dan dengan refleks ku kembalikan diri menegakkan tubuh. Tidak hanya itu, disaat yang lain membaca qunut dalam hati, aku pun sempat kebingungan apa yang harus
aku baca.
Setelah shalat pun ku tunggui ceramah yang akan disampaikan, “ah tidak rupanya tidak ada.” Sampai jamaah kosong pun ceramah dari masjid itu tak terdengar. Yah perbedaan untuk
kesekian kalinya kutemui.
Dalam perjalananku menuju asrama, ku coba cari langit yang bersinar, yang disebelahnya ada sang rembulan. Ah bangunan bangunan disekitarku sungguh menghalangiku.
Pencarianku berakhir dengan terputarnya memori yang nyaris hilang.
Setahun silam, malam dimana aku berada dalam lintasan kota Istanbul. Tak terdengar suara takbiran yang menandakan esok adalah hari kemenangan. Saat itu diriku masih
berkumpul dengan teman teman dari senegaraku, kami takbirkan sendiri di balkon paling atas asrama. Malam saat itu sungguhlah tak seramai negaraku yang dipenuhi dengan
takbiran dan petasan. Ya yang dalam pikiranku saat itu, benarkah ini negara Islam?
Hampir genaplah sudah aku diperantauan yang tidak lagi berbataskan oleh pulau, namun negara. walau lebaran tahun ini kembali tak bisa bersalaman dengan orang tua, berharap
setidaknya aroma idul fitri bisa kudapatkan dikotaku, Adana. Buat para pelangiku disana, kalian tak kan tergantikan oleh pelangi pelangi yang lain.
#Catatan Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Written by : sketZ-Adana
LKS MIT-ers lovers
Note :
Tulisan merupakan kiriman dari Tim “Penakluk sejarah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar