Berkarya, Berbagi, Berguna; Berilmu, Beramal, Bermu'amalah; Hidup Sekali, Hiduplah yang Berarti.
Senin, 29 Juli 2013
Jumat, 26 Juli 2013
-Pesona Kabar Ramadahan dari Turkey- Catatan Sang -Penakluk Sejarah- Kabar Ramadhan Edisi #8
Foto : suasana Kota Kayseri pada musim dingin, tram way [kendaraan kota dengan sistem listrik] |
Kabar Ramadhan Edisi #8 from Turkey kali ini ditulis oleh salah satu Kontributor team yang berasal dari kota kecil yang tenang dan unik. Nuansa ramadhan yang kental. Membacanya,
haru, gembira, plus bangga menjadi bagian yang terlahir sebagai anak-anak indonesia, plus ikut rindu tanah air #aisshh dahh -Selamat Membaca temani serampung santap berbuka Puasa-
haru, gembira, plus bangga menjadi bagian yang terlahir sebagai anak-anak indonesia, plus ikut rindu tanah air #aisshh dahh -Selamat Membaca temani serampung santap berbuka Puasa-
RAMADHAN DI ANADOLU-TURKI
Oleh : Dhika Suci
Ramadhan tiba.. ramadhan tiba...
Itulah kata pertama yang terucap dari mulutku saat memasuki bulan ramadhan, bulan yang dinanti oleh seluruh muslim di dunia. Walaupun ini adalah ramadhan keduaku di negara
orang, tapi tetap saja terasa berbeda. Ramadhan kali ini, aku jalankan di sebuah kota yang terletak di bagian anadolu Turki, atau kota yang berada di bagian tengah Turki. Kota itu
bernama Kayseri.
Berbeda sekali dengan Ramadhan tahun lalu di Istanbul, disini cuaca terasa lebih panas dan gersang. Bahkan pada suatu hari cuaca disini mencapai 34 derajat celcius. Namun begitu,
suasana ramadhan dapat dirasakan disini. Bila kita berjalan-jalan d pusat keramaian misalnya, jarang kita temui orang orang yang makan atau minum saat waktu berpuasa.
Menariknya, mungkin karena cuaca yang begitu panas, maka banyak sekali masyarakat terutama kaum pria yang tidur di taman-taman kota sambil menunggu waktu berbuka.
Ramadhan tahun ini tidak kujalani sendiri, semua teman putri yang berasal dari Indonesia tidak pulang ke Indonesia. Kami memang berkeinginan untuk pulang bersama tahun depan
insya Allah. Amin.
Normalnya, kami tinggal di rumah bersama teman-teman Turki lainnya. Namun, karena teman Turki kami semua pergi ke kampung halaman di kota lain, maka kami pun dipindahkan
untuk tinggal di asrama. Awalnya kami sempat takut untuk tinggal di asrama, karena untuk sahur, biasanya mereka tidak menyediakan sajian untuk santap sahur. Namun
Alhamdulillah, kami ditempatkan di asrama yang memiliki dapur sendiri di setiap ruangannya. Walhasil, kami pun menyusun menu sahur dan tentunya masakan Indonesia. Uang
untuk membeli bahan- bahan pun kami kumpulkan secara ‘patungan’. Beruntungnya, kami mempunyai teman yang jago memasak, jadilah sedikit demi sedikit rindu akan kampung
halaman terobati.
Makanan Indonesia seperti pempek, gulai ayam, sop, sambal goreng kentang, sambal terasi, es buah bahkan onde onde pun masih dapat kami cicipi. Ibadah sahalat terawih pun masih
bisa kami jalani. Uniknya umat muslim disini menganut mazhab hanafi. Akhirnya kami memutuskan untuk berjamaah tarawih sendiri di ruang asrama dengan penuh rasa syukur.
Ada satu kejadian lucu, ramadhan kali ini jatuh pada musim panas dan beberapa sekolah memiliki program summer school. Tahun lalu, summer school di kota ini berakhir sebelum
ramadhan tiba. Namun tahun ini summer school berakhir pada minggu kedua ramadhan. Sebagian anak-anak pun mengeluh dan enggan masuk sekolah pada bulan ramadhan. Tiga
hari sebelum ramadhan aku bertanya pada satu anak “Dek, kamu akan puasa di bulan ramadhan kan?” dia pun menggeleng, aku terkejut dan kembali bertanya “loh kenapa?” dia
menunjukan luka bkar kecil yang ada d lengannya “aku gak puasa kak, abis tangan aku sakit” aku terkejut dan merasa geli apa hubungannya sakit luka bakar dengan berpuasa?
Kemudian aku bertanya pada satu anak lagi dan kali ini pun dia menjawab dia tidak akan berpuasa. “aku gak akan kuat puasa kak, aku bisa pingsan, bahkan bisa mati” aku tersenyum
dan sambil menceritakan tentang anak-anak di Indonesia yang tetap berpuasa walaupun harus pergi ke sekolah. Dan ia berkata, “wah hebat ya mereka!”
Ramadhan kali ini mengandung banyak makna bagi diriku pribadi. Berpuasa di negara orang, membuat kita dapat lebih merasakan arti puasa sesungguhnya. Yaitu arti berbagi
kegembiraan kepada teman-teman lain. Dan tenteng ari kesabaran, kesabaran menahan kerinduan untuk pulang ke tanah air, serta arti sebuah persahabatan yang erat layaknya
seperti sebuah keluarga.
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
LKS Mit-ers
Oleh : Dhika Suci
Ramadhan tiba.. ramadhan tiba...
Itulah kata pertama yang terucap dari mulutku saat memasuki bulan ramadhan, bulan yang dinanti oleh seluruh muslim di dunia. Walaupun ini adalah ramadhan keduaku di negara
orang, tapi tetap saja terasa berbeda. Ramadhan kali ini, aku jalankan di sebuah kota yang terletak di bagian anadolu Turki, atau kota yang berada di bagian tengah Turki. Kota itu
bernama Kayseri.
Berbeda sekali dengan Ramadhan tahun lalu di Istanbul, disini cuaca terasa lebih panas dan gersang. Bahkan pada suatu hari cuaca disini mencapai 34 derajat celcius. Namun begitu,
suasana ramadhan dapat dirasakan disini. Bila kita berjalan-jalan d pusat keramaian misalnya, jarang kita temui orang orang yang makan atau minum saat waktu berpuasa.
Menariknya, mungkin karena cuaca yang begitu panas, maka banyak sekali masyarakat terutama kaum pria yang tidur di taman-taman kota sambil menunggu waktu berbuka.
Ramadhan tahun ini tidak kujalani sendiri, semua teman putri yang berasal dari Indonesia tidak pulang ke Indonesia. Kami memang berkeinginan untuk pulang bersama tahun depan
insya Allah. Amin.
Normalnya, kami tinggal di rumah bersama teman-teman Turki lainnya. Namun, karena teman Turki kami semua pergi ke kampung halaman di kota lain, maka kami pun dipindahkan
untuk tinggal di asrama. Awalnya kami sempat takut untuk tinggal di asrama, karena untuk sahur, biasanya mereka tidak menyediakan sajian untuk santap sahur. Namun
Alhamdulillah, kami ditempatkan di asrama yang memiliki dapur sendiri di setiap ruangannya. Walhasil, kami pun menyusun menu sahur dan tentunya masakan Indonesia. Uang
untuk membeli bahan- bahan pun kami kumpulkan secara ‘patungan’. Beruntungnya, kami mempunyai teman yang jago memasak, jadilah sedikit demi sedikit rindu akan kampung
halaman terobati.
Makanan Indonesia seperti pempek, gulai ayam, sop, sambal goreng kentang, sambal terasi, es buah bahkan onde onde pun masih dapat kami cicipi. Ibadah sahalat terawih pun masih
bisa kami jalani. Uniknya umat muslim disini menganut mazhab hanafi. Akhirnya kami memutuskan untuk berjamaah tarawih sendiri di ruang asrama dengan penuh rasa syukur.
Ada satu kejadian lucu, ramadhan kali ini jatuh pada musim panas dan beberapa sekolah memiliki program summer school. Tahun lalu, summer school di kota ini berakhir sebelum
ramadhan tiba. Namun tahun ini summer school berakhir pada minggu kedua ramadhan. Sebagian anak-anak pun mengeluh dan enggan masuk sekolah pada bulan ramadhan. Tiga
hari sebelum ramadhan aku bertanya pada satu anak “Dek, kamu akan puasa di bulan ramadhan kan?” dia pun menggeleng, aku terkejut dan kembali bertanya “loh kenapa?” dia
menunjukan luka bkar kecil yang ada d lengannya “aku gak puasa kak, abis tangan aku sakit” aku terkejut dan merasa geli apa hubungannya sakit luka bakar dengan berpuasa?
Kemudian aku bertanya pada satu anak lagi dan kali ini pun dia menjawab dia tidak akan berpuasa. “aku gak akan kuat puasa kak, aku bisa pingsan, bahkan bisa mati” aku tersenyum
dan sambil menceritakan tentang anak-anak di Indonesia yang tetap berpuasa walaupun harus pergi ke sekolah. Dan ia berkata, “wah hebat ya mereka!”
Ramadhan kali ini mengandung banyak makna bagi diriku pribadi. Berpuasa di negara orang, membuat kita dapat lebih merasakan arti puasa sesungguhnya. Yaitu arti berbagi
kegembiraan kepada teman-teman lain. Dan tenteng ari kesabaran, kesabaran menahan kerinduan untuk pulang ke tanah air, serta arti sebuah persahabatan yang erat layaknya
seperti sebuah keluarga.
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
LKS Mit-ers
-Pesona Ramadahan dari Turkey- Catatan Sang -Penakluk Sejarah- Kabar Ramadhan Edisi #7
Keindahan masjid Adana.., sumber google.com |
Kabar Ramadhan Edisi #7 from Turkey kali ini ditulis oleh salah satu Kontributor team yang berasal dari kota Kota tropis nan menyengat di musim panas, juga hangat di musim dingin.
Kota ini ternyata menyimpan banyak cerita dan kenangan bagi teman-teman Indonesia kita yang tinggal di sana. Tulisan kali ini akan mengajak kita untuk berfikir sekaligus berjalan
menembus waktu, kembali ke awal bulan penuh berkah ini. selamat membaca. Kisah dari kota ADANA #bener-bener terharu...
Membatin
Oleh : Tri Permata Sari
Marhaban ya syahro ramadhan marhaban ya sharo syiam, selamat datang wahai ramadhan, wahai bulan ampunan. Segala puji hanyalah bagi Allah saja. Segenap rasa syukur saya
ucapkan kepada Nya.
Teman, sebenarnya saya tidak tahu harus membahas apa, karena memang tidak memiliki ide apa yang hendak saya tulis. Namun Insya Allah, melalui pengalaman di bulan Ramadhan,
saya akan berusaha bercerita mengenai salah satu sifat Allah Azza wa Jalla yaitu, A’limul ghaib atau Allah maha mengetahui. Semoga cerita sederhana lagi sedikit mengandung
hikmah ini bisa bermanfaat. Bismillahirrahmanirrahim.
Teman, siapakah kita ini? Ya benar, kita adalah manusia. Lalu sifat manusia itu seperti apa? Ya benar, manusia adalah makhluk yang terbatas dan dibatasi. Jangankan melihat wajah
Allah SWT, melihat benda di balik dinding pun kita tak sanggup. Suatu ketika Firaun berlari ke atas menara yang tinggi dan berkata “Wahai Musa! aku tidak akan beriman kepadamu,
sebelum aku melihat Allah dengan jelas.” Peristiwa ini diabadikan oleh Allah dalam Qs. Albaqarah: 5. Lalu apakah pantas, kita seorang makhluk yang terbatas menyombongkan diri
serta tidak mengakui Tuhan kita karena tidak melihat wujud Tuhan?
Sangatlah bodohnya diri ini apabila kita menyombongkan diri dengan segala instrument terbatas yang kita miliki. Misalkan saja mata, mata adalah instrument yang terbatas, bahkan
melihat mata itu sendiri mata pun tak sanggup. Tapi tidak demikian dengan Allah. Allah maha melihat, bahkan sekalipun yang tesembunyi didalam hati kita. “…Dia Maha halus, maha
mengtahui.” (Qs. Al Mulk:14)
***
Hari itu adalah hari pertama bulan Ramadhan 9 juli 2013 di Adana. Adana adalah kota dengan iklim tropis. Kondisi ini memungkinkan Kota Adana mendapatkan pasokan sinar
matahari yang lebih dibanding kota lain di Turki. Apabila musim panas tiba, jangan tanya, apalagi dibayangkan, jika ingin tahu secara langsung silahkan saja datang ke Adana . Panas
membuat tubuh dehidrasi lebih cepat, dehidrasi memicu timbulnya rasa lapar dengan cepat pula. Namun dengan inilah Allah menguji. Ia menunjukkan kasih sayangnya pada kami,
agar iman dan sabar bisa kami tercetak melalui bulan Tarbiyah ini.
Sesekali, seduakali hingga setakterhingga saya melirik sang waktu yang masih belum juga menunjukkan pukul 20:10 waktu Turki bagian timur. Dengan izinnya, Alhamdulillah azan
maghrib berkumandang. Saya dan beberapa teman saya pun bersiap mencari santapan berbuka, bahkan sebenarnya kami sudah siap sejak jam enam sore.
Kami pun siap bersaing menyantap makanan buka dihari pertama yang telah disediakan oleh bu asrama. Kami harus berkompetisi karena letak yemekhane berada dilantai 11
sedangkan kami berada dilantai 4. Kami harus berkompetisi dengan orang orang yang bermukim di dalam 40 kamar, satu kamar bisa berisi 3 orang, dengan doa yang lirih di dalam
batin ”ya Allah, semoga makananya cukup untuk semua.”
Teman, hidup adalah bak persaingan, right? Berbicara mengenai persaingan, jauh ketika kita masih menjadi nutfah atau masih berada di alam ruh, sebenarnya kita sudah mengalami
sebuah persaingan. Alhamdulillah kita ini adalah pemenang diantara jutaan sel yang bersaing untuk menjadi anak dari ayah dan ibu kita. Bahkan Allah pun memerintahkan kita
dalam QS Al-Baqarah :2 bahwasannya kita diminta untuk berlomba lomba dalam kebaikan.
Bahkan nabi mengatakan “Al ma’tsuuru bil qurbi makruuhun” mendahulukan orang lain dalam hal ibadah adalah makruh. Begitupula dalam ber-ifthar, Rasulullah SAW
memerintahkan kita untuk menyegerakan berbuka. Kami (dua orang siswi dari negeri kepulauan Indonesia) berusaha berkompetisi untuk menyegerakan ifthar, tak mau ketinggalan
mendapat keutamaan dari bulan yang penuh berkah.
Didepan kendaraan Maha karya yang tiada duanya dan masya Allah luar biasa manfaatnya ini, kami mengantri untuk diangkut ke yemekhame dilantai 11. Ya, kendaraan istimewa itu
adalah asansor Darende. Jangankan berfasilitas asansor seperti di Shanghai Cina yang mendapat julukan ‘Elevator tercepat didunia’ dengan kecepatan 18 meter per detik,
tersuguhnya asansor unik seperti ini sudah menyenangkan hati, alhamduilillah. Untuk membedakannya dengan spesies lainnya saya biasa memanggilnya dengan panggilan sayang
“asansor ratu”, atau asansor rada butut.
Alhamdulillah setelah sangat lama menunggu akhirnya dapat juga giliran diangkut ke lantai 11. Kami memasuki asansor dengan penuh hikmat, dengan tendangan dua hingga tiga
kali dari dalam sambil mengarahkannya ke muka asansor, Alhamdulillah kendaraan ber-aerodinamis ini mulai bergerak. Seperti biasa, diawali dengan keluarnya suara semacam sapi
mendengkur sang elevator pun mulai menggerakkan motornya. Dan meluncurlah asansor ini dengan lembut bak kereta sapu jagat, alhamdulillah.
Tak ada habisnya kami bersyukur dengan keberadaan sang asansor ratu yang mengantarkan kami memenuhi panggilanNya, menyegerakan ifthar demi melaksanakan ibadah kepada
Allah. Kenapa sekedar makan saja dikatakan ibadah? Kalau kita coba runut firman Allah dalam Qs.Adzariyat : 56 maka pahamlah kita bawa hidup kita di dunia ini memanglah dituntut
untuk beribadah saja. Terbesit pertanyaan nakal dari otak kananku ‘’Tidakkah Allah memberatkan kita, jika dalam sehari semalam kita beribadah tanpa henti?’’
Wahai diri ini yang masih lemah dalam memahami setitik dari luasnya qalam ilahi, sesunggunya maksud dari ayat tersebut bahwa ibadah itu tidak hanya berbentuk lahiriah saja
(sholat, puasa, zakat,sadakah, dsb) melainkan amal perbuatan itu tergantung niatnya. Banyak perkara ibadah menjadi tak bernilai dimata Allah karena niatnya. Banyak perkara remeh
namun begitu bernilai dan berbuah pahala ibadah dimata Allah karena niatnya pula. Walau hanya sekedar makan namun terselip niat tulus agar tubuh ini bisa tegak dengan mantap
mengerjakan permintaanNya, bekeluh kesah kepadaNya, meraih kasih langsung dari sang Maha Pengasih, maka Insyallah kita bisa berharap mendapatkan nilai dimataNya.
Lanjut ke cerita, setelah kami mengantri dan tiba dihadapan ibu asrama, beliau melemparkan senyuman yang aduhai ramahnya. Ya, selain beliau sangat menyukai kami, beliau juga
sangat mengenal kami. Begitu saya melirikkan mata pada menu hari ini. Amboii, luar biasa menunya daging berbumbu sop. Perut dan hati berdendang seirama, sama-sama riang
melihat fenomena didepan mata. Dalam hati saya membatin “Ya, Allah ibu ini sudah sangat mengenal kami, semoga kami mendapat bagian yang banyak, kalau bisa dua kali lipat,
aamiin ya Allah.”
Sudah siap piring yang ada di tangan saya menangkap potongan daging yang banyak, dan Alhamdulillah saya mendapat kuah yang banyak beserta 2 potong dadu kentang dan
daging yang saking dikitnya bisa habis hanya dalam satu suapan. Aku melirih ke arah OT (orang Turki) yang lain dan Masa Allah tiga kali lipat banyaknya di bandingkan saya, namun
ketika saya melihat teman saya si Nurul, saya ingin menangis dengan rasa syukur karena rupanya dia mendapat bagian lebih sedikit dibanding saya, Astagfirullah, maaf ya Rul.
Saya pun kembali membatin “Alhamdulillah ya Allah, ini adalah rezeki hari ini, Trimakasih Engkau suguhkan makanan favorit sup daging dihari pertama bulan berberkah ini”. Setelah
membaca doa, dengan riang saya santap makanan itu. Tak lama kemudian datanglah si ibu asrama, dia mendekat dan memberi kami sepiring penuh daging berbumbu sup. Rupanya,
beliau memisahkannya untuk kami. Masya Allah, ini semua diluar dugaan kami, kami tak pernah meminta sedikitpun bagian sebanyak ini. Sungguh Allah SWT maha mengetahui apa
yang tersimpan didalam hati kami. Alhamdulillah. Kisah sederhana ini sontak membuat hati saya tersentuh bukan main. Ya Allah, Ya a’limul ghaib.
Teman, ada syair yang mengatakan “Aku jauh, engkau jauh, aku dekat engkau dekat”. Apakah benar Allah itu jauh apabila kita jauh? dan Apa mungkin Allah akan mengubah
firmannya yang telah termaktub dalam QS Qaaf : 16 “Aqrobu illaihi min hablu wariid” , yang berarti Dan sesungguhnya kami lebih dekat dari urat lehermu. Allah yang tak ingkar janji
juga tak akan mengugurkan firmannya dalam Qs Al- israa: 25 : ”Allah lebih mengetahui apa yang terdapat pada diri kamu”. Tidak kawan! Allah tidak jauh dengan kita namun
sesungguhnya Allah amat dekat dengan kita. Allah tidak menjauhi kita namun kadang kita yang menjauhiNya.
Teringat perkataan Syeikh Rohimuddin Nawawi , “Doa itu bukan memberi tahu Allah akan hajatmu, karena Allah maha Tahu, juga buka meminta, karena Allah maha pemurah,
memberi tanpa diminta. Namun doa hanyalah menunjukkan keperluamu kepadaNya, karena Allah maha kaya dan suka mendengar hambaNya yang menujukkan kefaqirannya.”
Allah hears more than we say, He gives more than we imagine, so just keep praying!
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
LKS Mit-ers
Kota ini ternyata menyimpan banyak cerita dan kenangan bagi teman-teman Indonesia kita yang tinggal di sana. Tulisan kali ini akan mengajak kita untuk berfikir sekaligus berjalan
menembus waktu, kembali ke awal bulan penuh berkah ini. selamat membaca. Kisah dari kota ADANA #bener-bener terharu...
Membatin
Oleh : Tri Permata Sari
Marhaban ya syahro ramadhan marhaban ya sharo syiam, selamat datang wahai ramadhan, wahai bulan ampunan. Segala puji hanyalah bagi Allah saja. Segenap rasa syukur saya
ucapkan kepada Nya.
Teman, sebenarnya saya tidak tahu harus membahas apa, karena memang tidak memiliki ide apa yang hendak saya tulis. Namun Insya Allah, melalui pengalaman di bulan Ramadhan,
saya akan berusaha bercerita mengenai salah satu sifat Allah Azza wa Jalla yaitu, A’limul ghaib atau Allah maha mengetahui. Semoga cerita sederhana lagi sedikit mengandung
hikmah ini bisa bermanfaat. Bismillahirrahmanirrahim.
Teman, siapakah kita ini? Ya benar, kita adalah manusia. Lalu sifat manusia itu seperti apa? Ya benar, manusia adalah makhluk yang terbatas dan dibatasi. Jangankan melihat wajah
Allah SWT, melihat benda di balik dinding pun kita tak sanggup. Suatu ketika Firaun berlari ke atas menara yang tinggi dan berkata “Wahai Musa! aku tidak akan beriman kepadamu,
sebelum aku melihat Allah dengan jelas.” Peristiwa ini diabadikan oleh Allah dalam Qs. Albaqarah: 5. Lalu apakah pantas, kita seorang makhluk yang terbatas menyombongkan diri
serta tidak mengakui Tuhan kita karena tidak melihat wujud Tuhan?
Sangatlah bodohnya diri ini apabila kita menyombongkan diri dengan segala instrument terbatas yang kita miliki. Misalkan saja mata, mata adalah instrument yang terbatas, bahkan
melihat mata itu sendiri mata pun tak sanggup. Tapi tidak demikian dengan Allah. Allah maha melihat, bahkan sekalipun yang tesembunyi didalam hati kita. “…Dia Maha halus, maha
mengtahui.” (Qs. Al Mulk:14)
***
Hari itu adalah hari pertama bulan Ramadhan 9 juli 2013 di Adana. Adana adalah kota dengan iklim tropis. Kondisi ini memungkinkan Kota Adana mendapatkan pasokan sinar
matahari yang lebih dibanding kota lain di Turki. Apabila musim panas tiba, jangan tanya, apalagi dibayangkan, jika ingin tahu secara langsung silahkan saja datang ke Adana . Panas
membuat tubuh dehidrasi lebih cepat, dehidrasi memicu timbulnya rasa lapar dengan cepat pula. Namun dengan inilah Allah menguji. Ia menunjukkan kasih sayangnya pada kami,
agar iman dan sabar bisa kami tercetak melalui bulan Tarbiyah ini.
Sesekali, seduakali hingga setakterhingga saya melirik sang waktu yang masih belum juga menunjukkan pukul 20:10 waktu Turki bagian timur. Dengan izinnya, Alhamdulillah azan
maghrib berkumandang. Saya dan beberapa teman saya pun bersiap mencari santapan berbuka, bahkan sebenarnya kami sudah siap sejak jam enam sore.
Kami pun siap bersaing menyantap makanan buka dihari pertama yang telah disediakan oleh bu asrama. Kami harus berkompetisi karena letak yemekhane berada dilantai 11
sedangkan kami berada dilantai 4. Kami harus berkompetisi dengan orang orang yang bermukim di dalam 40 kamar, satu kamar bisa berisi 3 orang, dengan doa yang lirih di dalam
batin ”ya Allah, semoga makananya cukup untuk semua.”
Teman, hidup adalah bak persaingan, right? Berbicara mengenai persaingan, jauh ketika kita masih menjadi nutfah atau masih berada di alam ruh, sebenarnya kita sudah mengalami
sebuah persaingan. Alhamdulillah kita ini adalah pemenang diantara jutaan sel yang bersaing untuk menjadi anak dari ayah dan ibu kita. Bahkan Allah pun memerintahkan kita
dalam QS Al-Baqarah :2 bahwasannya kita diminta untuk berlomba lomba dalam kebaikan.
Bahkan nabi mengatakan “Al ma’tsuuru bil qurbi makruuhun” mendahulukan orang lain dalam hal ibadah adalah makruh. Begitupula dalam ber-ifthar, Rasulullah SAW
memerintahkan kita untuk menyegerakan berbuka. Kami (dua orang siswi dari negeri kepulauan Indonesia) berusaha berkompetisi untuk menyegerakan ifthar, tak mau ketinggalan
mendapat keutamaan dari bulan yang penuh berkah.
Didepan kendaraan Maha karya yang tiada duanya dan masya Allah luar biasa manfaatnya ini, kami mengantri untuk diangkut ke yemekhame dilantai 11. Ya, kendaraan istimewa itu
adalah asansor Darende. Jangankan berfasilitas asansor seperti di Shanghai Cina yang mendapat julukan ‘Elevator tercepat didunia’ dengan kecepatan 18 meter per detik,
tersuguhnya asansor unik seperti ini sudah menyenangkan hati, alhamduilillah. Untuk membedakannya dengan spesies lainnya saya biasa memanggilnya dengan panggilan sayang
“asansor ratu”, atau asansor rada butut.
Alhamdulillah setelah sangat lama menunggu akhirnya dapat juga giliran diangkut ke lantai 11. Kami memasuki asansor dengan penuh hikmat, dengan tendangan dua hingga tiga
kali dari dalam sambil mengarahkannya ke muka asansor, Alhamdulillah kendaraan ber-aerodinamis ini mulai bergerak. Seperti biasa, diawali dengan keluarnya suara semacam sapi
mendengkur sang elevator pun mulai menggerakkan motornya. Dan meluncurlah asansor ini dengan lembut bak kereta sapu jagat, alhamdulillah.
Tak ada habisnya kami bersyukur dengan keberadaan sang asansor ratu yang mengantarkan kami memenuhi panggilanNya, menyegerakan ifthar demi melaksanakan ibadah kepada
Allah. Kenapa sekedar makan saja dikatakan ibadah? Kalau kita coba runut firman Allah dalam Qs.Adzariyat : 56 maka pahamlah kita bawa hidup kita di dunia ini memanglah dituntut
untuk beribadah saja. Terbesit pertanyaan nakal dari otak kananku ‘’Tidakkah Allah memberatkan kita, jika dalam sehari semalam kita beribadah tanpa henti?’’
Wahai diri ini yang masih lemah dalam memahami setitik dari luasnya qalam ilahi, sesunggunya maksud dari ayat tersebut bahwa ibadah itu tidak hanya berbentuk lahiriah saja
(sholat, puasa, zakat,sadakah, dsb) melainkan amal perbuatan itu tergantung niatnya. Banyak perkara ibadah menjadi tak bernilai dimata Allah karena niatnya. Banyak perkara remeh
namun begitu bernilai dan berbuah pahala ibadah dimata Allah karena niatnya pula. Walau hanya sekedar makan namun terselip niat tulus agar tubuh ini bisa tegak dengan mantap
mengerjakan permintaanNya, bekeluh kesah kepadaNya, meraih kasih langsung dari sang Maha Pengasih, maka Insyallah kita bisa berharap mendapatkan nilai dimataNya.
Lanjut ke cerita, setelah kami mengantri dan tiba dihadapan ibu asrama, beliau melemparkan senyuman yang aduhai ramahnya. Ya, selain beliau sangat menyukai kami, beliau juga
sangat mengenal kami. Begitu saya melirikkan mata pada menu hari ini. Amboii, luar biasa menunya daging berbumbu sop. Perut dan hati berdendang seirama, sama-sama riang
melihat fenomena didepan mata. Dalam hati saya membatin “Ya, Allah ibu ini sudah sangat mengenal kami, semoga kami mendapat bagian yang banyak, kalau bisa dua kali lipat,
aamiin ya Allah.”
Sudah siap piring yang ada di tangan saya menangkap potongan daging yang banyak, dan Alhamdulillah saya mendapat kuah yang banyak beserta 2 potong dadu kentang dan
daging yang saking dikitnya bisa habis hanya dalam satu suapan. Aku melirih ke arah OT (orang Turki) yang lain dan Masa Allah tiga kali lipat banyaknya di bandingkan saya, namun
ketika saya melihat teman saya si Nurul, saya ingin menangis dengan rasa syukur karena rupanya dia mendapat bagian lebih sedikit dibanding saya, Astagfirullah, maaf ya Rul.
Saya pun kembali membatin “Alhamdulillah ya Allah, ini adalah rezeki hari ini, Trimakasih Engkau suguhkan makanan favorit sup daging dihari pertama bulan berberkah ini”. Setelah
membaca doa, dengan riang saya santap makanan itu. Tak lama kemudian datanglah si ibu asrama, dia mendekat dan memberi kami sepiring penuh daging berbumbu sup. Rupanya,
beliau memisahkannya untuk kami. Masya Allah, ini semua diluar dugaan kami, kami tak pernah meminta sedikitpun bagian sebanyak ini. Sungguh Allah SWT maha mengetahui apa
yang tersimpan didalam hati kami. Alhamdulillah. Kisah sederhana ini sontak membuat hati saya tersentuh bukan main. Ya Allah, Ya a’limul ghaib.
Teman, ada syair yang mengatakan “Aku jauh, engkau jauh, aku dekat engkau dekat”. Apakah benar Allah itu jauh apabila kita jauh? dan Apa mungkin Allah akan mengubah
firmannya yang telah termaktub dalam QS Qaaf : 16 “Aqrobu illaihi min hablu wariid” , yang berarti Dan sesungguhnya kami lebih dekat dari urat lehermu. Allah yang tak ingkar janji
juga tak akan mengugurkan firmannya dalam Qs Al- israa: 25 : ”Allah lebih mengetahui apa yang terdapat pada diri kamu”. Tidak kawan! Allah tidak jauh dengan kita namun
sesungguhnya Allah amat dekat dengan kita. Allah tidak menjauhi kita namun kadang kita yang menjauhiNya.
Teringat perkataan Syeikh Rohimuddin Nawawi , “Doa itu bukan memberi tahu Allah akan hajatmu, karena Allah maha Tahu, juga buka meminta, karena Allah maha pemurah,
memberi tanpa diminta. Namun doa hanyalah menunjukkan keperluamu kepadaNya, karena Allah maha kaya dan suka mendengar hambaNya yang menujukkan kefaqirannya.”
Allah hears more than we say, He gives more than we imagine, so just keep praying!
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
LKS Mit-ers
-Pesona Ramadahan dari Turkey- Catatan Sang -Penakluk Sejarah-Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #6
Keindahan pantai Samsun, sumber google.com |
Ngebaca tulisan dari salah satu tim penulis "Penakluk sejarah" kali ini bener-bener ngerasa #uhuks penulis bener-bener ngebawa kita hidup di masa imam-imam besar Islam...
Yang pertama Ramadhan
By: Hisham Bin Tang
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #6 kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang tinggal di daerah Pantai Utara turkey
Samsun...
Kota sempit memanjang mengikuti garis pantai karadeniz. Sebagaimana kota-kota lain di Turki, hanya dalam jarak puluhan atau ratusan meter dari pantai langsung bertemu tebing-
tebing dan bukit-bukit menjulang. Berbeda jauh dengan kota Bantul yg datar dari pantai hingga masuk pusat kota jogja. Nuansa berbeda juga kutemui pada karakter karadeniz yang
tenang, tak berombak, 180 derajat jika dibandingkan dengan pantai parangtritis yang bergelombang, memukau namun mengancam. Karena tenangnya arus laut hitam ini lah,
dibangun taman-taman hijau di pinggiran pantai sepanjang kota.
Jika bagi teman-teman yang lain, kali ini adalah ramadhan yang pertama semenjak tinggal di turki, tidak demikian dengan saya. Bulan mubarok kali ini adalah yang kedua kalinya di
bumi Anatolia ini. Jadi, tahun lalu, sedikit banyak saya telah mencicipi aroma dan menikmati nuansa penuh berkahnya ramadhan di Turki. Ramadhan tahun lalu adalah yang pertama,
tapi tidak cuma itu, bulan yang pertama kalinya saya menginjakkan kaki di kota yang bekal jadi tempat tinggal ini jg adalah bulan ramadhan, menariknya lagi, waktu itu adalalah hari
pertama ramadhan. Keren ya.
Ya, setelah safari dari Istanbul 2 hari, lalu mampir ke bursa 1 hari, kemudian rehat sjenak 1 malam di ankara, tepat malam 1 ramadhan, ba'da maghrib bertolak dari ibu kota Türkiye
Cümhuriyeti menuju ke arah utara, kota di tepi pantai karadeniz, samsun. Ya, malam itu terpaksa meninggalkan tarawih pertama. Tak terasa di perjalanan, karena memang tidak
sadarkan diri, terlelap oleh hawa malam, ditambah suasana kanan-kiri jalanan yg membosankan, maka tidurlah sampai tujuan. Pukul 3 pagi. Dengan wajah tak karuan, turun dari
mobil, kami langsung digiring menuju yemekhane, terang saja, kami salting, calon teman-teman kami telah siap di kursi meja makan masing-masing. Untungnya, yemekhanemiz
dilengkapi wastafel, hingga memudahkan kami 'mendandani' raut muka kami agar tidak mengganggu nafsu sahur warga asrama. Ramadhan pertama, malam ramadhan pertama,
rumah baru, teman baru, 'orang tua' baru dan detik itu dtambah menu sahur yang juga baru. Mantap!
Seumur-umur baru sekali itu sahurku dihidangi madu, zaitun, peynir, roti, reçel, dan bubur oreng yang akhirnya kita mengenalnya dg 'menemen'. Lalu kami ber-5 saling menatap,
malu-malu, bingung, dahi berkerut bareng, mugkin di pikiran kami juga sama.. 'pilav yok mu?' .. plis.. jangan katakan tidak ada nasi. Oh, benar, memang tidak ada. Tapi apa mau
dikata, sejak pertama kali pamitan dengan orang tua dari depan pintu rumah, tekad udah digenggaman, hadapi, jalani dan terus melangkah. Apa lagi hanya menu makanan. Dan
benar saja, justeru sekarang pun jadi berfikir, "apa enaknya sih sarapan atau sahur pake nasi." Sahur subuh itu pun terlalui juga.
Usai sahur, seperti biasa, persiapan solat subuh. Lalu seharian dihabiskan dengan istirahat, karena memang sebagai pendatang baru, belum dibebani jadwal-jadwal ngaji seperti
teman-teman lainnya. Dalam hari-hari ramadhan tahun kemaren itu pernah suatu subuh dan ketika itu masih pada hari awal-awal ramadhan tentunya, teman kami diminta menjadi
imam subuh. Dia anak pesantren asal Tasikmalaya. Bisa ditebak apa yang terjadi, saat imam ini qunut sebagian besar jamaah orang Turki menuju sujud yah, beginilah jika kejumudan
dalam fikih tak diimbangi dengan pengetahuan siroh.
Kontan saja teman saya usai solat dikomen habis-habisan. Sebenarnya, kedua pihak tidak ada yg salah sih, akan tetapi kurang lengkapnya pengetahuan menjadi salah paham. Saat
kejadian itu pikiranku langsung melayang ke sebuah cerita. Kisah yang memang kupersiapkan menjadi kuda-kuda semenjak ada niat tolabul ilmi di bumi hanafiyah ini. Kisah sahih
dipopulerkan oleh imam hadis Adz Dzahabi dalam magnum opusnya, 'siyar 'alam an nubala', dan aku menikmatinya dalam tulisan indah nan obyektif ala salim a fillah, ustad muda
tetanggaku se-jogja di Jalan Cinta Para Pejuang atau Dalam Dekapan Ukhuwah.
Imam syafii -imam mazhabnya kalangan pesantren indonesia- ketika berziarah ke makam imam abu hanifah di baghdad, suatu hari beliau diminta menjadi imam subuh di masjid dekat
makam itu. Beliau pun bersedia. Namun dalam sholatnya Imam syafii tidak membaca qunut sebagaimana yang sudah jadi ijtihad beliau. Ya jamaah pun usai solat mempertanyakan hal
itu pada sang imam. Dan jawaban inilah yg memukau diriku, “ini adalah makam imamnya para fukaha, bapak fikih kita dan sebagai penghormatan atas beliau saya tidak berqunut,
sebagaimana beliau juga tidak melakukannya” kurang lebih begitu jawab imam dan kisah ini saya ceritakan pada teman-teman, hingga akhirnya sampai saat ini saya dan teman-
teman pun tidak berqunut saat mendapat amanah imam subuh.
Mungkin ada pertanyaan “loh, ini kan turki, bukan irak, tak ada makam imam abu hanifah atau Imam yusuf atau Imam muhammad, 2 murid utama imam mengapa disamakan dg
baghdad?” Hem Turki. Sekarang ini, negara inilah pelestari utama mazhab hanafi dan dari dinasti selçuklalu Osman gazi, Al fatih sampai Erdogan, bangsa Turki dengan mazhab
Hanafi yang saling memuliakan. Demikianlah...indahnya Islam.
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
Yang pertama Ramadhan
By: Hisham Bin Tang
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #6 kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang tinggal di daerah Pantai Utara turkey
Samsun...
Kota sempit memanjang mengikuti garis pantai karadeniz. Sebagaimana kota-kota lain di Turki, hanya dalam jarak puluhan atau ratusan meter dari pantai langsung bertemu tebing-
tebing dan bukit-bukit menjulang. Berbeda jauh dengan kota Bantul yg datar dari pantai hingga masuk pusat kota jogja. Nuansa berbeda juga kutemui pada karakter karadeniz yang
tenang, tak berombak, 180 derajat jika dibandingkan dengan pantai parangtritis yang bergelombang, memukau namun mengancam. Karena tenangnya arus laut hitam ini lah,
dibangun taman-taman hijau di pinggiran pantai sepanjang kota.
Jika bagi teman-teman yang lain, kali ini adalah ramadhan yang pertama semenjak tinggal di turki, tidak demikian dengan saya. Bulan mubarok kali ini adalah yang kedua kalinya di
bumi Anatolia ini. Jadi, tahun lalu, sedikit banyak saya telah mencicipi aroma dan menikmati nuansa penuh berkahnya ramadhan di Turki. Ramadhan tahun lalu adalah yang pertama,
tapi tidak cuma itu, bulan yang pertama kalinya saya menginjakkan kaki di kota yang bekal jadi tempat tinggal ini jg adalah bulan ramadhan, menariknya lagi, waktu itu adalalah hari
pertama ramadhan. Keren ya.
Ya, setelah safari dari Istanbul 2 hari, lalu mampir ke bursa 1 hari, kemudian rehat sjenak 1 malam di ankara, tepat malam 1 ramadhan, ba'da maghrib bertolak dari ibu kota Türkiye
Cümhuriyeti menuju ke arah utara, kota di tepi pantai karadeniz, samsun. Ya, malam itu terpaksa meninggalkan tarawih pertama. Tak terasa di perjalanan, karena memang tidak
sadarkan diri, terlelap oleh hawa malam, ditambah suasana kanan-kiri jalanan yg membosankan, maka tidurlah sampai tujuan. Pukul 3 pagi. Dengan wajah tak karuan, turun dari
mobil, kami langsung digiring menuju yemekhane, terang saja, kami salting, calon teman-teman kami telah siap di kursi meja makan masing-masing. Untungnya, yemekhanemiz
dilengkapi wastafel, hingga memudahkan kami 'mendandani' raut muka kami agar tidak mengganggu nafsu sahur warga asrama. Ramadhan pertama, malam ramadhan pertama,
rumah baru, teman baru, 'orang tua' baru dan detik itu dtambah menu sahur yang juga baru. Mantap!
Seumur-umur baru sekali itu sahurku dihidangi madu, zaitun, peynir, roti, reçel, dan bubur oreng yang akhirnya kita mengenalnya dg 'menemen'. Lalu kami ber-5 saling menatap,
malu-malu, bingung, dahi berkerut bareng, mugkin di pikiran kami juga sama.. 'pilav yok mu?' .. plis.. jangan katakan tidak ada nasi. Oh, benar, memang tidak ada. Tapi apa mau
dikata, sejak pertama kali pamitan dengan orang tua dari depan pintu rumah, tekad udah digenggaman, hadapi, jalani dan terus melangkah. Apa lagi hanya menu makanan. Dan
benar saja, justeru sekarang pun jadi berfikir, "apa enaknya sih sarapan atau sahur pake nasi." Sahur subuh itu pun terlalui juga.
Usai sahur, seperti biasa, persiapan solat subuh. Lalu seharian dihabiskan dengan istirahat, karena memang sebagai pendatang baru, belum dibebani jadwal-jadwal ngaji seperti
teman-teman lainnya. Dalam hari-hari ramadhan tahun kemaren itu pernah suatu subuh dan ketika itu masih pada hari awal-awal ramadhan tentunya, teman kami diminta menjadi
imam subuh. Dia anak pesantren asal Tasikmalaya. Bisa ditebak apa yang terjadi, saat imam ini qunut sebagian besar jamaah orang Turki menuju sujud yah, beginilah jika kejumudan
dalam fikih tak diimbangi dengan pengetahuan siroh.
Kontan saja teman saya usai solat dikomen habis-habisan. Sebenarnya, kedua pihak tidak ada yg salah sih, akan tetapi kurang lengkapnya pengetahuan menjadi salah paham. Saat
kejadian itu pikiranku langsung melayang ke sebuah cerita. Kisah yang memang kupersiapkan menjadi kuda-kuda semenjak ada niat tolabul ilmi di bumi hanafiyah ini. Kisah sahih
dipopulerkan oleh imam hadis Adz Dzahabi dalam magnum opusnya, 'siyar 'alam an nubala', dan aku menikmatinya dalam tulisan indah nan obyektif ala salim a fillah, ustad muda
tetanggaku se-jogja di Jalan Cinta Para Pejuang atau Dalam Dekapan Ukhuwah.
Imam syafii -imam mazhabnya kalangan pesantren indonesia- ketika berziarah ke makam imam abu hanifah di baghdad, suatu hari beliau diminta menjadi imam subuh di masjid dekat
makam itu. Beliau pun bersedia. Namun dalam sholatnya Imam syafii tidak membaca qunut sebagaimana yang sudah jadi ijtihad beliau. Ya jamaah pun usai solat mempertanyakan hal
itu pada sang imam. Dan jawaban inilah yg memukau diriku, “ini adalah makam imamnya para fukaha, bapak fikih kita dan sebagai penghormatan atas beliau saya tidak berqunut,
sebagaimana beliau juga tidak melakukannya” kurang lebih begitu jawab imam dan kisah ini saya ceritakan pada teman-teman, hingga akhirnya sampai saat ini saya dan teman-
teman pun tidak berqunut saat mendapat amanah imam subuh.
Mungkin ada pertanyaan “loh, ini kan turki, bukan irak, tak ada makam imam abu hanifah atau Imam yusuf atau Imam muhammad, 2 murid utama imam mengapa disamakan dg
baghdad?” Hem Turki. Sekarang ini, negara inilah pelestari utama mazhab hanafi dan dari dinasti selçuklalu Osman gazi, Al fatih sampai Erdogan, bangsa Turki dengan mazhab
Hanafi yang saling memuliakan. Demikianlah...indahnya Islam.
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
-Pesona Ramadahan dari Turkey- Catatan Sang -Penakluk Sejarah Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #5
Sumber Foto : Google.com |
Serampung berbuka puasa, duduk sejenak sambil baca kisah cantik
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #5 kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang tinggal di desa yang tenang dengan bunga Matahari yang indah menghampar. Merupakan kota
kuno Byzantium bagian timur Turkey, Tekirdag.
"Kurmaku sedikit, Izinkan aku membalasnya"
By : Khodijah Sholihah
Ini tahun kedua aku melewati bulan Ramadhan yang mulia. Berada di perantauan yang jauh terpisah jarak dan waktu dari tanah air. Dengan jumlah waktu puasa lebih panjang. Suka
duka tentu pasti ada. Namun semua tergantung bagaimana kita menyikapinya dan sejauh mana rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Di sini di negeri para penakluk ada kebiasaan menarik yang membuatku ingin mengabadikannya. Sebuah kebiasaan bagi para ‘’penggila’’ dan ‘’pemburu’’ keutamaan RAMADHAN.
Belediye adalah sebutan untuk kantor pemerintahan scope kecil setara walikota atau kabupaten. Dimana ada tradisi bagi para ‘’penggila’’ ini untuk meraih kasih sayang Allah di bulan
Ramadhan yang mulia. Setiap harinya di Belediye selama bulan RAMADHAN mereka berbagi buka puasa secara massive. Mereka memberi sajian berbuka bagi mereka yang berpuasa.
Dan ini selalu ada di setiap Belediye. Bertempat di ruang terbuka atau taman yang diberi tempat duduk biasanya tidak jauh dari kantor Belediye tersebut. Setiap sore antrian panjang
berderet menunggu giliran untuk mengambil menu iftar gratis yang cukup lezat.
Kebiasaan ini mungkin ada di negeri kita ada masjid-masjid atau di rumah yatim piatu yang mengadakan buka puasa bersama. Bedanya disini dilakukan setiap hari dalam scope
kabupaten. Sedangkan ditanah air dalam scope lebih kecil.
Sempat berpikir hebatnya pemerintah ini memberikan buka puasa setiap tahunnya selama sebukan penuh di hampir seluruh Belediye. Namun sang suami mengatakan ; ‘’bukan
pemerintah tapi seseorang yang memberikannya. Setiap hari orang yang memberikannya berbeda-beda. Mungkin adakalanya pemerintah. Tapi selama ini yang memberikan adalah
dari perorangan’’. Mmm.. subhanallah terdecak kekagumanku dalam hati sambil bergumam ‘’ hebat sekali orang-orang itu ya Allah, kapan aku menjadi salah satu dari mereka..’’.
Hari ini setelah setahun lalu, aku mengingat tradisi itu, penasaranku tahun lalu membuat aku di belahan dunia yang lain mendedikasikan diriku salah satu dari ‘’penggila ‘’ itu.
Sejumlah kurma paket sengaja ku beli sebagai rencana menjadi salah satu dari penggila itu . Cukuplah bermula dengan 1 paket kurma untuk setiap meja. Insya Allah cukup, terbayang
jumlah meja tahun lalu dipikiranku. Hati berharap semoga ini bisa menjadi syiar mentradisikan sunah rosulNya.
Dua puluh menit sebelum berbuka aku dan sang suami bergegas menuju lokasi. Bahagia rasanya karena diberi kesempatan untuk memberi makan orang berbuka di negeri rantau
dalam jumlah massiv. Walau hanya dengan sebutir kurma..
Antrian panjang sudah nampak seperti yang diperkirakan. Laki-laki dan perempuan terlihat berbeda barisan dan arah untuk mengambil antrian. Aku dan sang suami berdiri di dekat
antrian . Sambil berpikir dan berdiskusi kapan waktu yang tepat untuk membagi-bagikannya. Maklum ini baru kali pertama memulainya disini. Teguran seseorang memberi isyarat
bahwa aku dipersilah untuk mengantri di antrian wanita. Dengan teguran itu membuat kami justru membuat kami tambah bingung. Betapa tidak. Dahulunya jumlah meja yang
dulunya berjumlah sekian kini lebih banyak dari sebelumnya. Dan ini membuat kami bingung untuk dari mana memulainya. Namun, akhirnya kami memutuskan untuk segera saja
membagi-bagikan di meja-meja yang disediakan tanpa berpikir panjang. Hihihi…cukup tidak ya sambil pringis-pringis ragu, dimana sebelumnya sempat percaya diri bisa membagikan
setiap meja. Akhirnya dengan perasaan agak sedih kami bagikan ke atas meja – meja yang disediakan.
Seperti yang diduga..kurmaku tak cukup..tak semua meja kebagian. Sampai untuk meja kami pun lupa kami sisihkan. Dalam hati ada ketidakpuasan yang menggelayut. Ya Allah,
kurmaku sedikit.. izinkan aku membalasnya..untuk bisa memberikan kurma ke seluruh meja..ya Allah terimalah amal kami..jadikan kami seutama-utama manusia di hadapaanMu ya
Allah..aamiin.
Wassalam, Jumat 12 July 2013
Negeri Penakluk
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #5 kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang tinggal di desa yang tenang dengan bunga Matahari yang indah menghampar. Merupakan kota
kuno Byzantium bagian timur Turkey, Tekirdag.
"Kurmaku sedikit, Izinkan aku membalasnya"
By : Khodijah Sholihah
Ini tahun kedua aku melewati bulan Ramadhan yang mulia. Berada di perantauan yang jauh terpisah jarak dan waktu dari tanah air. Dengan jumlah waktu puasa lebih panjang. Suka
duka tentu pasti ada. Namun semua tergantung bagaimana kita menyikapinya dan sejauh mana rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Di sini di negeri para penakluk ada kebiasaan menarik yang membuatku ingin mengabadikannya. Sebuah kebiasaan bagi para ‘’penggila’’ dan ‘’pemburu’’ keutamaan RAMADHAN.
Belediye adalah sebutan untuk kantor pemerintahan scope kecil setara walikota atau kabupaten. Dimana ada tradisi bagi para ‘’penggila’’ ini untuk meraih kasih sayang Allah di bulan
Ramadhan yang mulia. Setiap harinya di Belediye selama bulan RAMADHAN mereka berbagi buka puasa secara massive. Mereka memberi sajian berbuka bagi mereka yang berpuasa.
Dan ini selalu ada di setiap Belediye. Bertempat di ruang terbuka atau taman yang diberi tempat duduk biasanya tidak jauh dari kantor Belediye tersebut. Setiap sore antrian panjang
berderet menunggu giliran untuk mengambil menu iftar gratis yang cukup lezat.
Kebiasaan ini mungkin ada di negeri kita ada masjid-masjid atau di rumah yatim piatu yang mengadakan buka puasa bersama. Bedanya disini dilakukan setiap hari dalam scope
kabupaten. Sedangkan ditanah air dalam scope lebih kecil.
Sempat berpikir hebatnya pemerintah ini memberikan buka puasa setiap tahunnya selama sebukan penuh di hampir seluruh Belediye. Namun sang suami mengatakan ; ‘’bukan
pemerintah tapi seseorang yang memberikannya. Setiap hari orang yang memberikannya berbeda-beda. Mungkin adakalanya pemerintah. Tapi selama ini yang memberikan adalah
dari perorangan’’. Mmm.. subhanallah terdecak kekagumanku dalam hati sambil bergumam ‘’ hebat sekali orang-orang itu ya Allah, kapan aku menjadi salah satu dari mereka..’’.
Hari ini setelah setahun lalu, aku mengingat tradisi itu, penasaranku tahun lalu membuat aku di belahan dunia yang lain mendedikasikan diriku salah satu dari ‘’penggila ‘’ itu.
Sejumlah kurma paket sengaja ku beli sebagai rencana menjadi salah satu dari penggila itu . Cukuplah bermula dengan 1 paket kurma untuk setiap meja. Insya Allah cukup, terbayang
jumlah meja tahun lalu dipikiranku. Hati berharap semoga ini bisa menjadi syiar mentradisikan sunah rosulNya.
Dua puluh menit sebelum berbuka aku dan sang suami bergegas menuju lokasi. Bahagia rasanya karena diberi kesempatan untuk memberi makan orang berbuka di negeri rantau
dalam jumlah massiv. Walau hanya dengan sebutir kurma..
Antrian panjang sudah nampak seperti yang diperkirakan. Laki-laki dan perempuan terlihat berbeda barisan dan arah untuk mengambil antrian. Aku dan sang suami berdiri di dekat
antrian . Sambil berpikir dan berdiskusi kapan waktu yang tepat untuk membagi-bagikannya. Maklum ini baru kali pertama memulainya disini. Teguran seseorang memberi isyarat
bahwa aku dipersilah untuk mengantri di antrian wanita. Dengan teguran itu membuat kami justru membuat kami tambah bingung. Betapa tidak. Dahulunya jumlah meja yang
dulunya berjumlah sekian kini lebih banyak dari sebelumnya. Dan ini membuat kami bingung untuk dari mana memulainya. Namun, akhirnya kami memutuskan untuk segera saja
membagi-bagikan di meja-meja yang disediakan tanpa berpikir panjang. Hihihi…cukup tidak ya sambil pringis-pringis ragu, dimana sebelumnya sempat percaya diri bisa membagikan
setiap meja. Akhirnya dengan perasaan agak sedih kami bagikan ke atas meja – meja yang disediakan.
Seperti yang diduga..kurmaku tak cukup..tak semua meja kebagian. Sampai untuk meja kami pun lupa kami sisihkan. Dalam hati ada ketidakpuasan yang menggelayut. Ya Allah,
kurmaku sedikit.. izinkan aku membalasnya..untuk bisa memberikan kurma ke seluruh meja..ya Allah terimalah amal kami..jadikan kami seutama-utama manusia di hadapaanMu ya
Allah..aamiin.
Wassalam, Jumat 12 July 2013
Negeri Penakluk
Tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
-Pesona Ramadahan dari Turkey- Catatan Sang -Penakluk Sejarah Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #4
Sumber Foto : Google.com |
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #4 kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang tinggal di kota terbesar ketiga Turki dengan iklim mediterania yang khas. Keindahan pantai Izmir
adalah wajah yang menyimpan keajaiban tersendiri bagi kota penyimpan Clock Tower (Saat Kulesi) Selamat membaca..
Oleh : Qurriyah Ika Finasti
(Kontributor Izmir)
"Rindu Petasan, Rindu Ramadhan di Tanah Air"
Bulan Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan pertama saya di luar Indonesia. Sengaja saya tidak menyebutkan ‘bulan Ramadhan pertama saya jauh dari keluarga’ karena
sebelumnya saya sudah mengalami pengalaman Ramadhan jauh dari keluarga ketika saya kuliah di luar kota. Kata ‘jauh’ di sini bisa jadi relatif memang karena sama-sama jauh dari
keluarga, saat itu ke-jauh-an yang ada secara hitungan matematis tidak bisa dibandingkan dengan ‘jauh’ yang saya rasakan sekarang.
Menuntut ilmu ribuan milnya dari tanah air, di sebuah negara dengan kultur dan iklim yang sangat berbeda, sebenarnya membuat saya penasaran dengan suasana Ramadhan di
negeri ini. Di sebuah negeri yang pernah menjadi simbol kejayaan Islam dan secara de jure mayoritas penduduknya Muslim. Jujur, harapan bahwa suasana Ramadhan di sini sangat
hidup pernah muncul sebelum saya sampai di sini.
Maka sampailah saya di bulan Ramadhan. Ah, setelah melihat sendiri kenyataan yang terjadi di sini, saya semakin merindukan Indonesia. Saya rindu suasana Ramadhan di Indonesia.
Sebenarnya, saya sudah merendahkan ekspektasi saya terhadap hidupnya suasana Ramadhan di sini begitu saya mendapati kenyataan bahwa Muslim di sini sehari-harinya pun jarang
beribadah.
Pagi ini ketika saya akan kembali dari masjid di zemin kat menuju kamar saya yang berada di lantai 2, saya berhenti sejenak di dekat jendela yang terbuka. Langit masih gelap dan ada
sedikit angin yang masuk. Tiba-tiba saya merasa nyesek. Buru-buru saya tarik napas panjang.
Biasanya suasana Ramadhan di Indonesia dihidupkan dengan orang-orang yang berbondong-bondong ke masjid saat tarawih, suara bacaan Al Quran ketika tadarus, anak-anak kecil
dan remaja yang membangunkan dan mengingatkan untuk sahur, dan satu lagi, petasan. Semua itu sangat khas di bulan Ramadhan, hal-hal yang menghidupkan Ramadhan di
Indonesia. Saya tiba-tiba merindukan itu semua, bahkan saya merindukan suara petasan yang biasanya ketika saya berada di Indonesia hanya membuat saya menggerutu
berkepanjangan.
Namun, ketika pagi ini saya bangun tidur, saya sedikit berpikir dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Ramadhan itu bisa hidup jika kita bisa menghidupkannya. Setidaknya bagi
saya sendiri saya akan berusaha menghidupkan Ramadhan kali ini (meskipun tentu saja tanpa petasan). In syaa Allaah teman-teman lain yang berada di Turki pun mampu untuk
menghidupkan Ramadhan ini. Bukan begitu, teman-teman?
Size Ramazan mübarek olsun diliyorum.
tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
adalah wajah yang menyimpan keajaiban tersendiri bagi kota penyimpan Clock Tower (Saat Kulesi) Selamat membaca..
Oleh : Qurriyah Ika Finasti
(Kontributor Izmir)
"Rindu Petasan, Rindu Ramadhan di Tanah Air"
Bulan Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan pertama saya di luar Indonesia. Sengaja saya tidak menyebutkan ‘bulan Ramadhan pertama saya jauh dari keluarga’ karena
sebelumnya saya sudah mengalami pengalaman Ramadhan jauh dari keluarga ketika saya kuliah di luar kota. Kata ‘jauh’ di sini bisa jadi relatif memang karena sama-sama jauh dari
keluarga, saat itu ke-jauh-an yang ada secara hitungan matematis tidak bisa dibandingkan dengan ‘jauh’ yang saya rasakan sekarang.
Menuntut ilmu ribuan milnya dari tanah air, di sebuah negara dengan kultur dan iklim yang sangat berbeda, sebenarnya membuat saya penasaran dengan suasana Ramadhan di
negeri ini. Di sebuah negeri yang pernah menjadi simbol kejayaan Islam dan secara de jure mayoritas penduduknya Muslim. Jujur, harapan bahwa suasana Ramadhan di sini sangat
hidup pernah muncul sebelum saya sampai di sini.
Maka sampailah saya di bulan Ramadhan. Ah, setelah melihat sendiri kenyataan yang terjadi di sini, saya semakin merindukan Indonesia. Saya rindu suasana Ramadhan di Indonesia.
Sebenarnya, saya sudah merendahkan ekspektasi saya terhadap hidupnya suasana Ramadhan di sini begitu saya mendapati kenyataan bahwa Muslim di sini sehari-harinya pun jarang
beribadah.
Pagi ini ketika saya akan kembali dari masjid di zemin kat menuju kamar saya yang berada di lantai 2, saya berhenti sejenak di dekat jendela yang terbuka. Langit masih gelap dan ada
sedikit angin yang masuk. Tiba-tiba saya merasa nyesek. Buru-buru saya tarik napas panjang.
Biasanya suasana Ramadhan di Indonesia dihidupkan dengan orang-orang yang berbondong-bondong ke masjid saat tarawih, suara bacaan Al Quran ketika tadarus, anak-anak kecil
dan remaja yang membangunkan dan mengingatkan untuk sahur, dan satu lagi, petasan. Semua itu sangat khas di bulan Ramadhan, hal-hal yang menghidupkan Ramadhan di
Indonesia. Saya tiba-tiba merindukan itu semua, bahkan saya merindukan suara petasan yang biasanya ketika saya berada di Indonesia hanya membuat saya menggerutu
berkepanjangan.
Namun, ketika pagi ini saya bangun tidur, saya sedikit berpikir dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Ramadhan itu bisa hidup jika kita bisa menghidupkannya. Setidaknya bagi
saya sendiri saya akan berusaha menghidupkan Ramadhan kali ini (meskipun tentu saja tanpa petasan). In syaa Allaah teman-teman lain yang berada di Turki pun mampu untuk
menghidupkan Ramadhan ini. Bukan begitu, teman-teman?
Size Ramazan mübarek olsun diliyorum.
tulisan disusun oleh Tim "Penakluk sejarah"
-Pesona Ramadahan dari Turkey- Catatan Sang -Penakluk Sejarah Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #3
Sumber foto: Admin's Collection |
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #3 kali ini datang dari salah satu Tim penulis dengan kota bersalju tinggi pada pegunungan Uludag, pun kelezatan Iskender Kebab yang terkenal
kelezatannya...Bursa, di sini penulis mengukirkan keindahan Ulucamii masjid dengan kepiawaiannya melukiskan keindahannya, pun kita akan di bawa penulis seolah sedang ikut
serta berjamaah tarawih di masjid yang menakjubkan itu. Selamat membaca
-JIKA BENAR 2 PAHALA, JIKA SALAH 1 PAHALA UNTUK IJTIHADMU-
By. Fatimah Azzahra -Bursa
Tahun lalu di pinggiran masjid Jakarta Timur, shalat tarawih saya tak khusyu, 3 hari berturut-turut shaf di samping saya adalah ibu dengan sajadah merah dengan ujung merk “MADE
IN IZMIR, TURKEY”. Saya yang sedang menunggu pengumuman Turkiye Burslari terus menguatkan doa, mengeksponensialkan jumlah doa sampai limit yang tidak bisa diintegrasi.
Tahun ini, ketika secara resmi doa saya di-approved oleh pemilik Arsy saya tidak menjumpai sajadah merah disebelah shaf shalat tarawih saya. Ya, lebih dari Izmir, pemilik Arsy
mengirimkan saya ke bumi Utsmani, kota pertama Khalifah Utsmani, kota hijau Bursa.
Malam ketiga Ramadhan, masjid Ulucami masih penuh jamaah. Ulucami atau Grand Mosque dibangun pada masa Sultan Beyazid I dan dirancang bergaya arsitektur Selcuk.
Dibangun pada 1396-1399 masjid ini memliki 20 kubah dan 2 menara. Ulucami adalah masjid terbesar di kota tempat saya tinggal, sebuah peninggalan sejarah arsitektur zaman
Utsmani (Ottoman).
Menariknya diantara gaya masjid Turki lainnya yang memiliki kubah tunggal dan banyak menara, Ulucami memiliki lebih banyak kubah dan hanya dua menara. Dua puluh kubah ini
tersusun dalam empat lajur. Sejarah pembangunan dua puluh kubah ini juga menarik, Sultan Beyazid I berjanji jika memenangkan pertempuran di Nicopolis tahun 1396 dan akan
membuat dua puluh masjid berbeda, namun setelah kemenangannya, Sultan tidak punya cukup waktu melunasi nadzarnya sehingga dibangunlah satu masjid besar dengan dua
puluh kubah ini.
Tinggal di negara mayoritas muslim dengan beda mahzab sejatinya membuka lebih lebar jarak pandang kita tentang Islam yang bhineka, bahwa bhineka bukan berarti berbeda,
bhineka adalah khazanah.
Imam masjid Ulucami mengumumkan sebelum jamaah sempurna berdiri shalat tarawih bahwa shalat tarawih ini mengikuti pelaksanaan shalat tarawih di zaman Utsmani. Saya
berbisik-bisik dengan teman Indonesia dan Turki saya, menanyakan berapa rakaat shalat akan dilaksanakan. Tarawih masjid-masjid Turki umumnya 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3
rakaat shalat witir). Saya memegang informasi umum ini sebelum takbir shalat dimulai.
Shalat tarawih di Turki umumnya dilaksanakan dengan cepat. Al-Fatihah selesai dengan dua kali tarikan nafas dan bacaan surat hanya satu atau dua ayat lalu dilanjutkan rukuk dan
sujud seperti biasa. Rakaat satu dan dua lancar tanpa kendali, tetapi mulai memasuki rakaat ketiga, imam tidak berniat bangkit setelah sujud kedua, namun duduk iftirasy seperti
hendak tasyahud. Rakaat shalat akhirnya diselesaikan dengan 4 rakaat 1 kali salam dengan tasyahud awal seperti layaknya shalat isya. Empat rakaat ini diulang lima kali sehingga total
20 rakaat. Witir tiga rakaat pun menarik sekali dibahas karena dilaksanakan selayaknya shalat maghrib ada tasyahud diantara rakaat ke dua dan ketiga ditambah dengan adanya
qunud di rakaat kedua.
Entah karena masih kentalnya pengaruh sejarah muslim Osmanli atau memang begitu pula pelaksanaan shalat tarawih di kota lain saya tidak tahu pasti. Sepanjang jalan pulang
sambil melihat penjual macunu (gulali turki) atau penjual eskrim yang laku keras saya sibuk bertanya, jadi bagaimana duduk perkaranya, shalat tarawih 20 rakaat dengan 5 kali 4
rakaat dengan satu kali salam namun tasyahud melekat diantara rakaatnya? Bukankah ini sama dengan shalat wajib? Dalah satu riwayat, pembeda empat rakaat shalat sunnah
tarawih dengan shalat wajib (Isya ataupun Ashar) adalah ketiadaan tasyahud awal.
Sejatinya saya mengetahui bahwa shalat malam empat rakaat dengan salam hanya sekali merupakan mahzab Imam Abu Hanifah (Hanafi). Namun penjelasan lebih lanjut baru saya
dapatkan setelah bertanya sana sini dari para pemilik ilmu. Dan, ya.. tentu saya semakin menyadari, para pemilik ilmu adalah serupa gula yang selalu dicari semut, serupa mata air
untuk para musafir yang kehausan. Begitulah hakikat ilmu selayaknya menjadi cahaya dan beruntunglah para pemilik ilmu yang terus belajar dan berbagi ilmunya. Kelak, mereka
akan seperti pohon teduh dengan banyak cabang dan buah, menyejukkan bagi yang dibawahnya.
Kembali ke pembahasan tarawih, pengikut Imam Ibu Hanifah ini mendasarkan dalilnya pada keumuman hadits shahih dari Aisyah ra, “bahwa nabi sawshalat malam 4 rakaat, maka
jangan tanya kau tanya tentang kualitas dan panjangnya”. Namun, jumhur ulama berpendapat hadits tersebut masih umum tidak menjelaskan apakah 1 kali salam (langsung 4 rakaat)
atau dua kali salam (masing-masing 2 rakaat). Oleh karenanya hadits ini dikhususkan dengan hadits-hadits shahih lain yang menjelaskan secara lebih spesifik antara lain hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Shalat malam dua-dua, jika kalian khawatir masuk waktu subuh tutuplah dengan satu rakaat witir”. Ibnu Umar sebagai perawi
hadits ini ditanya oleh sebagian muridnya, “Apa yang dimaksud dua-dua?”, Ibnu Umar menjawab, “Salam disetiap dua rakaat”. Sementara itu sebagian ulama lain mengatakan tidak
ada pengkhususan artinya Rasulullah pernah salam tiap dua rakaat, kadang dalam tiap empat rakaat.
Di Ulucami, pelaksanaan shalat witir pun menyerupai shalat maghrib, 3 rakaat dengan tasyahud awal di dalamnya, juga di sertai qunut. Mengenai hal ini, narasumber saya yang tidak
lain adalah salah satu anak dari sepuluh bintang Al-Quran anak kandung Ustadz Mutamumul Ula dan Ustz. Wiryaningsih, menyatakan bahwa doa qunut witir memang disepakati oleh
semua ulama tentang kesunnahannya, hanya jumhur berbeda pendapat mengenai mulai kapan dilaksanakan, apakah dimulai dari awal Ramadhan ataukah dimulai di paruh akhir
(15 hari kedua) Ramadhan.
Yang shahih dari tradisi salaf adalah setelah masuk 15 hari kedua. Sedangkan, praktik yang saya deskripsikan (shalat witir dengan tasyahud awal dan qunud) memang tidak sesuai
dengan apa yang dicontohkan nabi dan salaf, namun tidak apa diikuti sebagai makmum karena tetap berpahala dengan sandaran bahwa masih sesuai dengan petunjuk Rasulullah
agar tetap bersama imam. Imam biasanya melaksanakan praktik ini setelah ijtihad mazhab tertentu sedangkan hasil ijtihad antara dua pahala (jika benar) atau 1 pahala (jika salah).
Lalu bagaimana pelaksanaan shalat empat rakaat yang serupa shalat fardhu yaitu dengan adanya tasyahud? sebenarnya tidak perlu ada tahiyat namun kembali ke pijakan awal untuk
mengikuti imam yang sudah berijtihad insyaallah akan tetap mendapat pahala.
Di zaman Turki Utsmani mazhab yang dominan memang Hanafi (Imam Ibnu Hanifah). Mazhab ini pernah menjadi mazhab resmi Khalifah Utsmaniyah selama ratusan tahun sampai
masa keruntuhannya. Oleh karenanya, mazhab yang sebarannya paling luas di dunia Islam dari mazhab 4 fiqh tidak lain adalah mazhab Hanafi.
Setelah ini mungkin saya akan menemui potongan-potongan perbedaan lainnya selama atmosfer Ramadhan masih melekat. Maka, bertanya bukan berarti membuka aib kebodohan
diri sendiri, tetapi bertanya membuka pintu cahaya untuk melihat Islam lebih terang benderang.
Salam
#Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Fatimah Azzahra, Bursa.
LKS MIT-ers lovers
Note : Keindahan Mesjid Ulu camii Bursa..
Tulisan merupakan kiriman dari Tim "Penakluk sejarah"
kelezatannya...Bursa, di sini penulis mengukirkan keindahan Ulucamii masjid dengan kepiawaiannya melukiskan keindahannya, pun kita akan di bawa penulis seolah sedang ikut
serta berjamaah tarawih di masjid yang menakjubkan itu. Selamat membaca
-JIKA BENAR 2 PAHALA, JIKA SALAH 1 PAHALA UNTUK IJTIHADMU-
By. Fatimah Azzahra -Bursa
Tahun lalu di pinggiran masjid Jakarta Timur, shalat tarawih saya tak khusyu, 3 hari berturut-turut shaf di samping saya adalah ibu dengan sajadah merah dengan ujung merk “MADE
IN IZMIR, TURKEY”. Saya yang sedang menunggu pengumuman Turkiye Burslari terus menguatkan doa, mengeksponensialkan jumlah doa sampai limit yang tidak bisa diintegrasi.
Tahun ini, ketika secara resmi doa saya di-approved oleh pemilik Arsy saya tidak menjumpai sajadah merah disebelah shaf shalat tarawih saya. Ya, lebih dari Izmir, pemilik Arsy
mengirimkan saya ke bumi Utsmani, kota pertama Khalifah Utsmani, kota hijau Bursa.
Malam ketiga Ramadhan, masjid Ulucami masih penuh jamaah. Ulucami atau Grand Mosque dibangun pada masa Sultan Beyazid I dan dirancang bergaya arsitektur Selcuk.
Dibangun pada 1396-1399 masjid ini memliki 20 kubah dan 2 menara. Ulucami adalah masjid terbesar di kota tempat saya tinggal, sebuah peninggalan sejarah arsitektur zaman
Utsmani (Ottoman).
Menariknya diantara gaya masjid Turki lainnya yang memiliki kubah tunggal dan banyak menara, Ulucami memiliki lebih banyak kubah dan hanya dua menara. Dua puluh kubah ini
tersusun dalam empat lajur. Sejarah pembangunan dua puluh kubah ini juga menarik, Sultan Beyazid I berjanji jika memenangkan pertempuran di Nicopolis tahun 1396 dan akan
membuat dua puluh masjid berbeda, namun setelah kemenangannya, Sultan tidak punya cukup waktu melunasi nadzarnya sehingga dibangunlah satu masjid besar dengan dua
puluh kubah ini.
Tinggal di negara mayoritas muslim dengan beda mahzab sejatinya membuka lebih lebar jarak pandang kita tentang Islam yang bhineka, bahwa bhineka bukan berarti berbeda,
bhineka adalah khazanah.
Imam masjid Ulucami mengumumkan sebelum jamaah sempurna berdiri shalat tarawih bahwa shalat tarawih ini mengikuti pelaksanaan shalat tarawih di zaman Utsmani. Saya
berbisik-bisik dengan teman Indonesia dan Turki saya, menanyakan berapa rakaat shalat akan dilaksanakan. Tarawih masjid-masjid Turki umumnya 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3
rakaat shalat witir). Saya memegang informasi umum ini sebelum takbir shalat dimulai.
Shalat tarawih di Turki umumnya dilaksanakan dengan cepat. Al-Fatihah selesai dengan dua kali tarikan nafas dan bacaan surat hanya satu atau dua ayat lalu dilanjutkan rukuk dan
sujud seperti biasa. Rakaat satu dan dua lancar tanpa kendali, tetapi mulai memasuki rakaat ketiga, imam tidak berniat bangkit setelah sujud kedua, namun duduk iftirasy seperti
hendak tasyahud. Rakaat shalat akhirnya diselesaikan dengan 4 rakaat 1 kali salam dengan tasyahud awal seperti layaknya shalat isya. Empat rakaat ini diulang lima kali sehingga total
20 rakaat. Witir tiga rakaat pun menarik sekali dibahas karena dilaksanakan selayaknya shalat maghrib ada tasyahud diantara rakaat ke dua dan ketiga ditambah dengan adanya
qunud di rakaat kedua.
Entah karena masih kentalnya pengaruh sejarah muslim Osmanli atau memang begitu pula pelaksanaan shalat tarawih di kota lain saya tidak tahu pasti. Sepanjang jalan pulang
sambil melihat penjual macunu (gulali turki) atau penjual eskrim yang laku keras saya sibuk bertanya, jadi bagaimana duduk perkaranya, shalat tarawih 20 rakaat dengan 5 kali 4
rakaat dengan satu kali salam namun tasyahud melekat diantara rakaatnya? Bukankah ini sama dengan shalat wajib? Dalah satu riwayat, pembeda empat rakaat shalat sunnah
tarawih dengan shalat wajib (Isya ataupun Ashar) adalah ketiadaan tasyahud awal.
Sejatinya saya mengetahui bahwa shalat malam empat rakaat dengan salam hanya sekali merupakan mahzab Imam Abu Hanifah (Hanafi). Namun penjelasan lebih lanjut baru saya
dapatkan setelah bertanya sana sini dari para pemilik ilmu. Dan, ya.. tentu saya semakin menyadari, para pemilik ilmu adalah serupa gula yang selalu dicari semut, serupa mata air
untuk para musafir yang kehausan. Begitulah hakikat ilmu selayaknya menjadi cahaya dan beruntunglah para pemilik ilmu yang terus belajar dan berbagi ilmunya. Kelak, mereka
akan seperti pohon teduh dengan banyak cabang dan buah, menyejukkan bagi yang dibawahnya.
Kembali ke pembahasan tarawih, pengikut Imam Ibu Hanifah ini mendasarkan dalilnya pada keumuman hadits shahih dari Aisyah ra, “bahwa nabi sawshalat malam 4 rakaat, maka
jangan tanya kau tanya tentang kualitas dan panjangnya”. Namun, jumhur ulama berpendapat hadits tersebut masih umum tidak menjelaskan apakah 1 kali salam (langsung 4 rakaat)
atau dua kali salam (masing-masing 2 rakaat). Oleh karenanya hadits ini dikhususkan dengan hadits-hadits shahih lain yang menjelaskan secara lebih spesifik antara lain hadits yang
diriwayatkan Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Shalat malam dua-dua, jika kalian khawatir masuk waktu subuh tutuplah dengan satu rakaat witir”. Ibnu Umar sebagai perawi
hadits ini ditanya oleh sebagian muridnya, “Apa yang dimaksud dua-dua?”, Ibnu Umar menjawab, “Salam disetiap dua rakaat”. Sementara itu sebagian ulama lain mengatakan tidak
ada pengkhususan artinya Rasulullah pernah salam tiap dua rakaat, kadang dalam tiap empat rakaat.
Di Ulucami, pelaksanaan shalat witir pun menyerupai shalat maghrib, 3 rakaat dengan tasyahud awal di dalamnya, juga di sertai qunut. Mengenai hal ini, narasumber saya yang tidak
lain adalah salah satu anak dari sepuluh bintang Al-Quran anak kandung Ustadz Mutamumul Ula dan Ustz. Wiryaningsih, menyatakan bahwa doa qunut witir memang disepakati oleh
semua ulama tentang kesunnahannya, hanya jumhur berbeda pendapat mengenai mulai kapan dilaksanakan, apakah dimulai dari awal Ramadhan ataukah dimulai di paruh akhir
(15 hari kedua) Ramadhan.
Yang shahih dari tradisi salaf adalah setelah masuk 15 hari kedua. Sedangkan, praktik yang saya deskripsikan (shalat witir dengan tasyahud awal dan qunud) memang tidak sesuai
dengan apa yang dicontohkan nabi dan salaf, namun tidak apa diikuti sebagai makmum karena tetap berpahala dengan sandaran bahwa masih sesuai dengan petunjuk Rasulullah
agar tetap bersama imam. Imam biasanya melaksanakan praktik ini setelah ijtihad mazhab tertentu sedangkan hasil ijtihad antara dua pahala (jika benar) atau 1 pahala (jika salah).
Lalu bagaimana pelaksanaan shalat empat rakaat yang serupa shalat fardhu yaitu dengan adanya tasyahud? sebenarnya tidak perlu ada tahiyat namun kembali ke pijakan awal untuk
mengikuti imam yang sudah berijtihad insyaallah akan tetap mendapat pahala.
Di zaman Turki Utsmani mazhab yang dominan memang Hanafi (Imam Ibnu Hanifah). Mazhab ini pernah menjadi mazhab resmi Khalifah Utsmaniyah selama ratusan tahun sampai
masa keruntuhannya. Oleh karenanya, mazhab yang sebarannya paling luas di dunia Islam dari mazhab 4 fiqh tidak lain adalah mazhab Hanafi.
Setelah ini mungkin saya akan menemui potongan-potongan perbedaan lainnya selama atmosfer Ramadhan masih melekat. Maka, bertanya bukan berarti membuka aib kebodohan
diri sendiri, tetapi bertanya membuka pintu cahaya untuk melihat Islam lebih terang benderang.
Salam
#Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Fatimah Azzahra, Bursa.
LKS MIT-ers lovers
Note : Keindahan Mesjid Ulu camii Bursa..
Tulisan merupakan kiriman dari Tim "Penakluk sejarah"
Pesona Ramadahan dari Turkey- Catatan Sang -Penakluk Sejarah- Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #2 [sahur Istimewa]
Keindahan Mesjid Sultan Mahmet [Blue Mosque] di Malam Hari.. |
Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #2 [sahur Istimewa] kali ini datang dari salah satu Tim penulis yang menghirup udara pada sebuah Kota yang terletak di Selatan Turkey, yang
merupakan pusat komersil dan pertanian Turkey, Adana. Tangan terampil penulis membawa kita pada sepucuk memori tanah air, ah...Endonezya
-Rindu Para Pelangiku-
By. Sketz-Adana
Ah sudah lama rupanya tak menulis. Diri ini pun lupa dengan sendirinya bahwa sebenarnya juga perlu waktu untuk mengurus diri sendiri, bukan urusan dunia yang lain. Bahkan
selalu menyempitkan waktu untuk berbincang dengan yang Maha SegalaNya.
Astaghfirullahaladzim..
Ditanggalanku sudah tersetting ini hari kedua puasa Ramadhan, tapi entahlah berbeda rasanya dengan Ramadhan sebelumnya. Walaupun ada terselip rasa bangga bisa menunaikan
ibadah puasa dinegara orang, tapi sebenarnya sungguh hati ini ingin berada disamping keluarga.
Kawan, jika inginku ceritakan.
Selepas aku terjaga diluar kampung halamanku, Balikpapan 4 tahun yang lalu, keberadaanku dirumah jarang terlihat. Aku dipaksa untuk merantaukan diri ke pulau orang dengan
satu tujuanku, mengejar ilmu. Bapakku bilang, “Uang itu bisa dicari. Bapak sekolahkan kamu jauh untuk bisa jadi anak yang sholehah, panutan untuk adek adekmu..” Ah air mata ini
sudah dipelupuk rupanya tiap kali menuliskan nasihat bapak.
Awalnya aku masih belum bisa menerima keberadaan keluargaku yang terbatasi oleh pulau. Tidak jauh, hanya sebatas pulau. Namun nampaknya walau hanya terbataskan pulau,
dirumah hanya bisa bersinggah 2 bulan dalam setahun.
Semenjak perantauanku, hari pertama puasa Ramadhan tidak diherankan namaku selalu absen dirumah. Sungguh, disetiap hari pertama puasa Ramadhan aku selalu merasa sendiri.
Sahur sendiri, buka puasa sendiri, shalat teraweh pun sendiri. Ah tidak, selama satu bulan tidak begitu. Biasa ketika teman teman asramaku yang lain telah datang, sungguh kental
rasanya nikmat Ramadhan. Dibangunin sahur pakai bel super nyaring, ngantri sahur dengan perut bersuarakan cacing, malas buat mandi, tidur seperti kekelawar, dan terakhir buka
puasa bareng diluar. “Aku ikut shalat kloter kedua aja..” alasan yang dipake kalau lagi males buat shalat teraweh. Haha kenangan itu.
Suasana dirumah dengan ditanah rantau berbeda kawan, walaupun masih satu negara.
Dirumah, 4 tahun sebelum perantauanku.
Sekitar jam 3 dibangunin ibu buat sahur, karena melihat makanan belum siap, biasa tidur lagi sambil nunggu diteriakin, “Nurul kalau mau sahur tinggal 20 menit lagi..” haha, Semenit
sebelum imsak biasanya Bapak selalu nuangin air putih digelas besar buat anak anaknya, dan ibu biasanya bilang “Minum yang banyak biar bacaan Qur’annya banyak..”
Rumahku tidaklah terhitung jauh dari masjid, alhasil suara itu selalu terdengar.
“Sahur sahur … bapak bapak ibu ibu sahur tinggal 30 menit lagi..”
“Imsak 10 menit lagi.”
10 menit kemudian.
“Imsak telah habis, selamat menunaikan ibadah puasa..” Ngeeeenggg .. Ah sungguh suara suling peringatan berbunyi ‘Ngeeng’ itu pun ku rindukan saat ini.
“Nurul, Nisa, Nadila cepet ambil wudhu udah mau adzan tuuu. Nggak ada yang shalat dirumah.” Haha suara siapa lagi kalau bukan Ibuku. Karena kebiasaan itu membuat aku selalu
ingat beliau, pelangi nilaku.
Selepas shalat shubuh, bapak dan ibuku rupanya memberikan contoh yang indah, membaca Qur’an sampai pagi. Haha rupanya kebiasaan para pelangiku belum sampai hati ku
terapkan, ku baringkan diriku seraya bergumam, “Baca Qur’annya entar aja waktu shalat dhuha. Sekalian double halaman deh entar..”
Dzuhur, Ashar, Magrib.
Sebelum ke Magrib, diantara setelah Ashar dan mau magrib. Biasa dirumah…
“Yang mau beli makan siapa? Nurul, Nisa, atau Nadila?” Ibuku bertanya dengan mata yang selalu mengarah padaku atau adek terakhirku, Nadila. Buat jajanan buka, kami biasa milih
untuk beli diluar.
“Kemarin udah aku yang beli..” Haha jawaban itu biasanya pelangi merahku yang mengeluarkan, Nadila.
Aku yang pasrah,
“Yaudah Dil kita beli berdua, kamu yang bawa motor.”
Dalam kondisi disini, sebenarnya aku yang aman, karena bagian Nisa biasanya disuruh masak nasi atau nuci piring haha.
“Siapa yang nyuci piring?”
“Aku tadi udah beli makanan..” Begitu suaraku. Dan jadilah bagian nuci piring seluruhnya tugas pelangi biruku, Nisa.
Pelangiku yang lain adalah pelangi jingga, bapakku. Warna jingga itu susah untuk didiskripsikan, beliau pun seperti itu. Bapakku tak pernah lelah walau puasa dan masih beraktifitas
seperti biasa. Yang jarang atau bahkan tak pernah ku lihat, Bapak tak pernah absen berbuka puasa dan shalat di Masjid Sungguh beliau memberi contoh baik ke anak anaknya dengan
caranya sendiri.
Namun detik ini, perantauanku bukan lagi berbataskan pulau, namun samudera.
Kalau tahun sebelumnya, masihlah merasakan puasa bareng keluarga, namun tahun ini benar benar aku tanpa ditemani mereka. Mereka bilang aku harus kuat, aku pun bisa kuat
dengan kalimat itu. Para pelangiku bilang aku harus lebih kuat, mau dihinakan seperti apapun saat ini aku sudah lebih kuat.
Kemarin, tepat hari pertama puasa Ramadhan, sungguh kurindukan mereka, ku tangisi mereka dalam doaku. Ku ceritakan pada sang Maha Pengasih, bahwa diri ini rindu kehadiran
mereka, diri ini rindu suara mereka, diri ini rindu omelan omelan mereka, diri ini rindu 4 tahun yang lalu yang bisa berada didekat mereka, para pelangiku, kebanggaanku.
Ku sadari, Ramadhan dinegara perantauanku taklah semeriah dikampung halamaku.
Suara bapak bapak yang memperingati habisnya imsak tak terdengar olehku.
Ketika ku langkahkan kaki keluar sejenak untuk menghirup udara pagi,
Bukannya menghormati, disini kafe kafe sudahlah dibukai.
Hanya dengan dibalut kain tipis, masihlah bisa ku lirik berapa orang yang bersarapan disana. Atau masihkah ada yang tidak mengetahui bahwa ini bulan berkah?
Mataku pun ternodai dipagi itu ketika seorang wanita dan pria bergandengan tangan.
Astaghfirullahaladzim.
Ah mungkin saja mereka sudah bersuami istri, pikir positifku.
Ah rupanya 17 jam itu waktu yang lumayan lama, sempat ku baringkan diri ini untuk beristirahat dari serangan sinar laptop. Dan tik tok.
20 menit sebelum berbuka, yang terlihat bukan es kelapa melainkan ayran. Bukan kolak namun çorba. Ah yasudahlah kan ku tunggu tahun depan untuk bisa menyantap habis es
kelapa langgananku.
Karena kebanyakan wanita disini bermazhab Hanafi, kami pun tak dapat satu sama lain untuk saling mengimami, alhasil setengah jam sebelum adzan isya kami langkahkan ke masjid
terdekat.
Saat itu sungguh aku terlihat paling berbeda dengan memakai seragam mukena untuk shalat. Seperti umumnya, diawali dengan shalat isya, 20 rakaat shalat terawih dan 3 rakaat
witir. Dihari pertama aku sempat malu pada rakaat terakhir shalat witir, disaat yang lain kembali melakukan gerakan takbirratul ihram sebelum ruku’, aku sendiri yang mengubah posisi
menjadi ruku’, dan dengan refleks ku kembalikan diri menegakkan tubuh. Tidak hanya itu, disaat yang lain membaca qunut dalam hati, aku pun sempat kebingungan apa yang harus
aku baca.
Setelah shalat pun ku tunggui ceramah yang akan disampaikan, “ah tidak rupanya tidak ada.” Sampai jamaah kosong pun ceramah dari masjid itu tak terdengar. Yah perbedaan untuk
kesekian kalinya kutemui.
Dalam perjalananku menuju asrama, ku coba cari langit yang bersinar, yang disebelahnya ada sang rembulan. Ah bangunan bangunan disekitarku sungguh menghalangiku.
Pencarianku berakhir dengan terputarnya memori yang nyaris hilang.
Setahun silam, malam dimana aku berada dalam lintasan kota Istanbul. Tak terdengar suara takbiran yang menandakan esok adalah hari kemenangan. Saat itu diriku masih
berkumpul dengan teman teman dari senegaraku, kami takbirkan sendiri di balkon paling atas asrama. Malam saat itu sungguhlah tak seramai negaraku yang dipenuhi dengan
takbiran dan petasan. Ya yang dalam pikiranku saat itu, benarkah ini negara Islam?
Hampir genaplah sudah aku diperantauan yang tidak lagi berbataskan oleh pulau, namun negara. walau lebaran tahun ini kembali tak bisa bersalaman dengan orang tua, berharap
setidaknya aroma idul fitri bisa kudapatkan dikotaku, Adana. Buat para pelangiku disana, kalian tak kan tergantikan oleh pelangi pelangi yang lain.
#Catatan Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Written by : sketZ-Adana
LKS MIT-ers lovers
Note :
Tulisan merupakan kiriman dari Tim “Penakluk sejarah”
merupakan pusat komersil dan pertanian Turkey, Adana. Tangan terampil penulis membawa kita pada sepucuk memori tanah air, ah...Endonezya
-Rindu Para Pelangiku-
By. Sketz-Adana
Ah sudah lama rupanya tak menulis. Diri ini pun lupa dengan sendirinya bahwa sebenarnya juga perlu waktu untuk mengurus diri sendiri, bukan urusan dunia yang lain. Bahkan
selalu menyempitkan waktu untuk berbincang dengan yang Maha SegalaNya.
Astaghfirullahaladzim..
Ditanggalanku sudah tersetting ini hari kedua puasa Ramadhan, tapi entahlah berbeda rasanya dengan Ramadhan sebelumnya. Walaupun ada terselip rasa bangga bisa menunaikan
ibadah puasa dinegara orang, tapi sebenarnya sungguh hati ini ingin berada disamping keluarga.
Kawan, jika inginku ceritakan.
Selepas aku terjaga diluar kampung halamanku, Balikpapan 4 tahun yang lalu, keberadaanku dirumah jarang terlihat. Aku dipaksa untuk merantaukan diri ke pulau orang dengan
satu tujuanku, mengejar ilmu. Bapakku bilang, “Uang itu bisa dicari. Bapak sekolahkan kamu jauh untuk bisa jadi anak yang sholehah, panutan untuk adek adekmu..” Ah air mata ini
sudah dipelupuk rupanya tiap kali menuliskan nasihat bapak.
Awalnya aku masih belum bisa menerima keberadaan keluargaku yang terbatasi oleh pulau. Tidak jauh, hanya sebatas pulau. Namun nampaknya walau hanya terbataskan pulau,
dirumah hanya bisa bersinggah 2 bulan dalam setahun.
Semenjak perantauanku, hari pertama puasa Ramadhan tidak diherankan namaku selalu absen dirumah. Sungguh, disetiap hari pertama puasa Ramadhan aku selalu merasa sendiri.
Sahur sendiri, buka puasa sendiri, shalat teraweh pun sendiri. Ah tidak, selama satu bulan tidak begitu. Biasa ketika teman teman asramaku yang lain telah datang, sungguh kental
rasanya nikmat Ramadhan. Dibangunin sahur pakai bel super nyaring, ngantri sahur dengan perut bersuarakan cacing, malas buat mandi, tidur seperti kekelawar, dan terakhir buka
puasa bareng diluar. “Aku ikut shalat kloter kedua aja..” alasan yang dipake kalau lagi males buat shalat teraweh. Haha kenangan itu.
Suasana dirumah dengan ditanah rantau berbeda kawan, walaupun masih satu negara.
Dirumah, 4 tahun sebelum perantauanku.
Sekitar jam 3 dibangunin ibu buat sahur, karena melihat makanan belum siap, biasa tidur lagi sambil nunggu diteriakin, “Nurul kalau mau sahur tinggal 20 menit lagi..” haha, Semenit
sebelum imsak biasanya Bapak selalu nuangin air putih digelas besar buat anak anaknya, dan ibu biasanya bilang “Minum yang banyak biar bacaan Qur’annya banyak..”
Rumahku tidaklah terhitung jauh dari masjid, alhasil suara itu selalu terdengar.
“Sahur sahur … bapak bapak ibu ibu sahur tinggal 30 menit lagi..”
“Imsak 10 menit lagi.”
10 menit kemudian.
“Imsak telah habis, selamat menunaikan ibadah puasa..” Ngeeeenggg .. Ah sungguh suara suling peringatan berbunyi ‘Ngeeng’ itu pun ku rindukan saat ini.
“Nurul, Nisa, Nadila cepet ambil wudhu udah mau adzan tuuu. Nggak ada yang shalat dirumah.” Haha suara siapa lagi kalau bukan Ibuku. Karena kebiasaan itu membuat aku selalu
ingat beliau, pelangi nilaku.
Selepas shalat shubuh, bapak dan ibuku rupanya memberikan contoh yang indah, membaca Qur’an sampai pagi. Haha rupanya kebiasaan para pelangiku belum sampai hati ku
terapkan, ku baringkan diriku seraya bergumam, “Baca Qur’annya entar aja waktu shalat dhuha. Sekalian double halaman deh entar..”
Dzuhur, Ashar, Magrib.
Sebelum ke Magrib, diantara setelah Ashar dan mau magrib. Biasa dirumah…
“Yang mau beli makan siapa? Nurul, Nisa, atau Nadila?” Ibuku bertanya dengan mata yang selalu mengarah padaku atau adek terakhirku, Nadila. Buat jajanan buka, kami biasa milih
untuk beli diluar.
“Kemarin udah aku yang beli..” Haha jawaban itu biasanya pelangi merahku yang mengeluarkan, Nadila.
Aku yang pasrah,
“Yaudah Dil kita beli berdua, kamu yang bawa motor.”
Dalam kondisi disini, sebenarnya aku yang aman, karena bagian Nisa biasanya disuruh masak nasi atau nuci piring haha.
“Siapa yang nyuci piring?”
“Aku tadi udah beli makanan..” Begitu suaraku. Dan jadilah bagian nuci piring seluruhnya tugas pelangi biruku, Nisa.
Pelangiku yang lain adalah pelangi jingga, bapakku. Warna jingga itu susah untuk didiskripsikan, beliau pun seperti itu. Bapakku tak pernah lelah walau puasa dan masih beraktifitas
seperti biasa. Yang jarang atau bahkan tak pernah ku lihat, Bapak tak pernah absen berbuka puasa dan shalat di Masjid Sungguh beliau memberi contoh baik ke anak anaknya dengan
caranya sendiri.
Namun detik ini, perantauanku bukan lagi berbataskan pulau, namun samudera.
Kalau tahun sebelumnya, masihlah merasakan puasa bareng keluarga, namun tahun ini benar benar aku tanpa ditemani mereka. Mereka bilang aku harus kuat, aku pun bisa kuat
dengan kalimat itu. Para pelangiku bilang aku harus lebih kuat, mau dihinakan seperti apapun saat ini aku sudah lebih kuat.
Kemarin, tepat hari pertama puasa Ramadhan, sungguh kurindukan mereka, ku tangisi mereka dalam doaku. Ku ceritakan pada sang Maha Pengasih, bahwa diri ini rindu kehadiran
mereka, diri ini rindu suara mereka, diri ini rindu omelan omelan mereka, diri ini rindu 4 tahun yang lalu yang bisa berada didekat mereka, para pelangiku, kebanggaanku.
Ku sadari, Ramadhan dinegara perantauanku taklah semeriah dikampung halamaku.
Suara bapak bapak yang memperingati habisnya imsak tak terdengar olehku.
Ketika ku langkahkan kaki keluar sejenak untuk menghirup udara pagi,
Bukannya menghormati, disini kafe kafe sudahlah dibukai.
Hanya dengan dibalut kain tipis, masihlah bisa ku lirik berapa orang yang bersarapan disana. Atau masihkah ada yang tidak mengetahui bahwa ini bulan berkah?
Mataku pun ternodai dipagi itu ketika seorang wanita dan pria bergandengan tangan.
Astaghfirullahaladzim.
Ah mungkin saja mereka sudah bersuami istri, pikir positifku.
Ah rupanya 17 jam itu waktu yang lumayan lama, sempat ku baringkan diri ini untuk beristirahat dari serangan sinar laptop. Dan tik tok.
20 menit sebelum berbuka, yang terlihat bukan es kelapa melainkan ayran. Bukan kolak namun çorba. Ah yasudahlah kan ku tunggu tahun depan untuk bisa menyantap habis es
kelapa langgananku.
Karena kebanyakan wanita disini bermazhab Hanafi, kami pun tak dapat satu sama lain untuk saling mengimami, alhasil setengah jam sebelum adzan isya kami langkahkan ke masjid
terdekat.
Saat itu sungguh aku terlihat paling berbeda dengan memakai seragam mukena untuk shalat. Seperti umumnya, diawali dengan shalat isya, 20 rakaat shalat terawih dan 3 rakaat
witir. Dihari pertama aku sempat malu pada rakaat terakhir shalat witir, disaat yang lain kembali melakukan gerakan takbirratul ihram sebelum ruku’, aku sendiri yang mengubah posisi
menjadi ruku’, dan dengan refleks ku kembalikan diri menegakkan tubuh. Tidak hanya itu, disaat yang lain membaca qunut dalam hati, aku pun sempat kebingungan apa yang harus
aku baca.
Setelah shalat pun ku tunggui ceramah yang akan disampaikan, “ah tidak rupanya tidak ada.” Sampai jamaah kosong pun ceramah dari masjid itu tak terdengar. Yah perbedaan untuk
kesekian kalinya kutemui.
Dalam perjalananku menuju asrama, ku coba cari langit yang bersinar, yang disebelahnya ada sang rembulan. Ah bangunan bangunan disekitarku sungguh menghalangiku.
Pencarianku berakhir dengan terputarnya memori yang nyaris hilang.
Setahun silam, malam dimana aku berada dalam lintasan kota Istanbul. Tak terdengar suara takbiran yang menandakan esok adalah hari kemenangan. Saat itu diriku masih
berkumpul dengan teman teman dari senegaraku, kami takbirkan sendiri di balkon paling atas asrama. Malam saat itu sungguhlah tak seramai negaraku yang dipenuhi dengan
takbiran dan petasan. Ya yang dalam pikiranku saat itu, benarkah ini negara Islam?
Hampir genaplah sudah aku diperantauan yang tidak lagi berbataskan oleh pulau, namun negara. walau lebaran tahun ini kembali tak bisa bersalaman dengan orang tua, berharap
setidaknya aroma idul fitri bisa kudapatkan dikotaku, Adana. Buat para pelangiku disana, kalian tak kan tergantikan oleh pelangi pelangi yang lain.
#Catatan Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Written by : sketZ-Adana
LKS MIT-ers lovers
Note :
Tulisan merupakan kiriman dari Tim “Penakluk sejarah”
Catatan Sang -Penakluk Sejarah- Kabar Ramadhan dari Turkey Edisi #1 Bursa
The SecReT of the Team
"PENAKLUK SEJARAH"
Alhamdulillahirabbil Ramadhan 2013 telah hadir menjumpai bumi para khalifah yang penuh berkah ini. Kali ini LKS MIT, resmi MELAUNCHING satu LAMAN KHUSUS “Peta Penakluk
Sejarah.”
Laman ini khusus di buat untuk para kontributor LKS Mit-ers "Penakluk Sejarah" Ramadhan. TIM PENAKLUK SEJARAH terdiri dari Tim Kontributor yang di pilih secara Khusus yang berasal
dari berbagai wilayah di penjuru Turki. Tulisan-tulisan dan kisah-kisah para Kontributor di tulis dan diangkat dari kisah nyata.
Tim Penakluk sejarah memiliki Tim Editor Khusus, dengan pengalaman di bidang kepenulisan yang insya Allah terpercaya. Suka, senang, gembira, canda, tawa namun juga rindu
menyelimuti para sahabat LKS MIT di Turki. Bagaimana kisah-kisah mereka?
Silakan simak kisah para penakluk sejarah modern di berbagai penjuru Bumi Turkey setiap Edisinya.
VISIT our Website : Just Fell Home
"PENAKLUK SEJARAH"
Alhamdulillahirabbil Ramadhan 2013 telah hadir menjumpai bumi para khalifah yang penuh berkah ini. Kali ini LKS MIT, resmi MELAUNCHING satu LAMAN KHUSUS “Peta Penakluk
Sejarah.”
Laman ini khusus di buat untuk para kontributor LKS Mit-ers "Penakluk Sejarah" Ramadhan. TIM PENAKLUK SEJARAH terdiri dari Tim Kontributor yang di pilih secara Khusus yang berasal
dari berbagai wilayah di penjuru Turki. Tulisan-tulisan dan kisah-kisah para Kontributor di tulis dan diangkat dari kisah nyata.
Tim Penakluk sejarah memiliki Tim Editor Khusus, dengan pengalaman di bidang kepenulisan yang insya Allah terpercaya. Suka, senang, gembira, canda, tawa namun juga rindu
menyelimuti para sahabat LKS MIT di Turki. Bagaimana kisah-kisah mereka?
Silakan simak kisah para penakluk sejarah modern di berbagai penjuru Bumi Turkey setiap Edisinya.
VISIT our Website : Just Fell Home
=================================
Sumber foto: Admin's Collection |
-Nasi Ayam dan Tumis Kol-
#LKS MIT-ers Tulisan PERDANA Kabar Ramadhan dari Turkey pekan ini, datang dari Tim Khusus LKS Mit-ers Lovers dengan nama Tim
Sang "Penakluk Sejarah"
-Bursa, do you know Bursa?
Bursa adalah kota yang terletak di barat laut turki, di asia bagian barat. Bursa, indah karena gunungnya yang menghijau. meliriknya, adalah hampar keindahan bak rona khatulistiwa.
Menatapnya seakan dirimu tengah berada di tanah air."
--Nasi Ayam dan Tumis Kol--
“Makan itu bukan masalah kenyang, tapi semanfaat apa makanan itu untuk tegakan punggungmu. Makan juga bukan persoalan banyaknya butiran nasi yang masuk ke perut, tapi ia
adalah persoalan sebanyak rasa bersyukurmu atas apa yang kamu dapatkan hari itu.”
Kalimat ini kembali terlintas di kepalaku. Sebuah kalimat sarat makna yang mengajak aku kembali ke kejadian 3 tahun lalu di salah satu kedai makanan saat berbuka puasa. Kami
sering menyebut kedai itu “Laprong” ato terkadang “BuLaprong”, plesetan dari kata “lapar” dan “Bu, Lapar” (terdengar seperti permohonan meminta makan, right?). Kedai langganan
para pejuang shubuh dari sekolahku dulu. Ia selalu tak terpisahkan dari aksi-aksi kami, termasuk aksi serangan tengah malam tiap Ramadhan. Atau terkadang aksi loncat pagar sekolah
gara-gara kami kehabisan uang untuk makan di kantin.
Ketika itu uang kami hampir habis tak tersisa, padahal waktu berbuka tinggal seperempat jam lagi. Dan kami harus berfikir cepat untuk mengisi naga-naga di perut kami yang tengah
meraung kelaparan, juga untuk sahur esok hari. Rata-rata temanku hanya memiliki sekitar 2 ribu rupiah yang menjerit-jerit dari balik saku celana hari itu, berharap segera dikeluarkan
karena tak tahan dengan sumpeknya himpitan kain bahan. Aku sendiri mungkin hanya mampu membeli air. Saku miliku sudah benar-benar mendekati ambang batas. Dalam kondisi
darurat itu terpaksa kami bentuk tim PPKI (Panitia Pengumpulan Komisi Iftar) demi menjaga kelangsungan hidup masing-masing.
Singkat cerita, aku dengan uang seadanya mendapat tugas menjadi ketua komisi pembelian air minum. Sedangkan teman-temanku yang lain, para pejuang shubuh, mencari apa
yang bisa dibeli dengan uang seadanya. Walhasil, kami hanya mendapatkan 2 bungkus nasi ukuran normal, ditambah beberapa potong tahu, juga 4 botol air minum. Dan semua
makanan ini akan kami gunakan untuk berbuka dan makan sahur hari esok hari.
Beduk maghrib berdentum nyaring. Kumandang adzan perlahan berderai merdu menyisakan jejak-jejak pelangi di angkasa. Setelah shalat, kami buka makanan yang kami beli tadi.
Kami hanya mengeluarkan 1 bungkus nasi dan 2 potong tahu, serta satu botol air. Ini menu berbuka kami berenam hari ini.
Setelah masing-masing mendapat satu teguk air untuk melepas dahaga yang menjangkit selama 13 jam, kami kemudian beralih ke makanan berat. Satu bungkus nasi yang akan
dikeroyok oleh 6 orang pemuda yang kelaparan.
Pembagian makanan pun terjadi di antara kami. Awalnya terbagi rata, namun akhirnya cekcok terjadi. Bukan saling caci atau saling rebut, tapi malah tawaran-tawaran ‘aneh’ yang
dilakukan oleh para pemuda ini, termasuk aku. Kalimat-kalimat “silahkan, ini buatmu aja. Keliatannya kamu lebih lapar,” Atau “aku belum terlalu lapar. Untukmu saja,” atau ada juga
celetukan –yang kufikir aneh– terlontar dari sahabatku, “ah buka kali ini aku gak akan makan nasi. Aku alergi nasi. Buat kamu saja,” menjadi backsound tempat makan lesehan kami,
meski akhirnya –karena perdebatan yang tak kunjung selesai– kami memakan jatah kami masing-masing.
Waktu pun berlalu. Hingga tiba waktu sahur, dan kejadian ini berulang. Sama persis, hanya jumlah air minum yang lebih banyak. 3 botol air. Jadi seorang bisa meneguk setengahnya.
Tapi tetap saja, kericuhan itu kembali terdengar. Dan sekali lagi, kejadian itu tetap terulang. Lalu salah satu temanku berkata, seperti kalimat pertama yang kutulis di awal catatanku ini.
Bahwa makan, bukanlah mengenai kenyang atau tak kenyang, melainkan seberapa banyak rasa syukur kita atas apa yang telah Allah berikan.
Kini, terhitung genap 3 tahun dari hari itu. Sahur pertamaku dihiasi dengan ujian yang serupa, namun kali ini bukan mengenai kuantitas makanan yang tersaji, namun kualitas.
Dengan teman-teman yang berbeda, suasana yang berbeda, juga relung-relung kerinduan yang terasa menguat dari hari ke-hari. Rindu akan suasana ramadhan tanah air, keluarga,
juga rindu pada para pejuang shubuh itu.
Dengan kondisi yang sama ketika uang tidak ada sama sekali, ditambah kabar terbaru tentang kelangsungan beasiswa kami yang katanya tidak akan turun selama 2 bulan kedepan
[beasiswa non pemerintah Turki]. Semoga saja itu tidak terjadi.
Kali ini aku bersyukur, ketika satu panci besar nasi ayam terhidang di hadapanku, juga tumis kol yang menggugah selera (namun jika ada tahu, tentu aku akan memilih tahu sebagai
kawan makan, hehe). Sengaja nasi itu kusebut nasi ayam, agar lebih enak didengarnya, meski rasanya jauh dari yang diharapkan.
Ya, nasi itu nasi ayam, nasi yang berbahan dari pakan ayam. “kirik pirinc” begitu tulisanya, “nasi rusak” kalau dalam bahasa kita. Kadang aku geli sendiri, ketika kami membeli beras itu
ke supermarket. Terkadang kuamati wajah pelayan kasir, dia tertawa renyah bercampur ekspresi heran. Mungkin ia berfikir, “ini ada apa? Kok bule beli nasi rusak?” atau mungkin dia
malah berfikir kalau kami tengah beternak ayam di negaranya.
Namun sekali lagi, makan itu bukan soal kenyang, tapi semanfaat apa makanan itu mampu menegakan tulang punggungmu. Juga bukan masalah jumlah makanan atau kualitas
yang tersaji, tapi tentang seberapa banyak rasa syukur yang kau panjatkan atas apa yang Allah telah berikan padamu hari ini. tapi tetap, kualitas makanan juga penting. So, cari yang
berkualitas dulu, kalo gak ada, baru boleh niru, hehe..
Uhibbukum Fillah. Aku mencintai kalian karena Allah.
Salam
#Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Muhammad Al-Fatih, Bursa.
LKS MIT-ers lovers
Note : Keindahan Mesjid Emir Sultan di Malam Hari..
Tulisan merupakan kiriman dari Tim "Penakluk sejarah"
#LKS MIT-ers Tulisan PERDANA Kabar Ramadhan dari Turkey pekan ini, datang dari Tim Khusus LKS Mit-ers Lovers dengan nama Tim
Sang "Penakluk Sejarah"
-Bursa, do you know Bursa?
Bursa adalah kota yang terletak di barat laut turki, di asia bagian barat. Bursa, indah karena gunungnya yang menghijau. meliriknya, adalah hampar keindahan bak rona khatulistiwa.
Menatapnya seakan dirimu tengah berada di tanah air."
--Nasi Ayam dan Tumis Kol--
“Makan itu bukan masalah kenyang, tapi semanfaat apa makanan itu untuk tegakan punggungmu. Makan juga bukan persoalan banyaknya butiran nasi yang masuk ke perut, tapi ia
adalah persoalan sebanyak rasa bersyukurmu atas apa yang kamu dapatkan hari itu.”
Kalimat ini kembali terlintas di kepalaku. Sebuah kalimat sarat makna yang mengajak aku kembali ke kejadian 3 tahun lalu di salah satu kedai makanan saat berbuka puasa. Kami
sering menyebut kedai itu “Laprong” ato terkadang “BuLaprong”, plesetan dari kata “lapar” dan “Bu, Lapar” (terdengar seperti permohonan meminta makan, right?). Kedai langganan
para pejuang shubuh dari sekolahku dulu. Ia selalu tak terpisahkan dari aksi-aksi kami, termasuk aksi serangan tengah malam tiap Ramadhan. Atau terkadang aksi loncat pagar sekolah
gara-gara kami kehabisan uang untuk makan di kantin.
Ketika itu uang kami hampir habis tak tersisa, padahal waktu berbuka tinggal seperempat jam lagi. Dan kami harus berfikir cepat untuk mengisi naga-naga di perut kami yang tengah
meraung kelaparan, juga untuk sahur esok hari. Rata-rata temanku hanya memiliki sekitar 2 ribu rupiah yang menjerit-jerit dari balik saku celana hari itu, berharap segera dikeluarkan
karena tak tahan dengan sumpeknya himpitan kain bahan. Aku sendiri mungkin hanya mampu membeli air. Saku miliku sudah benar-benar mendekati ambang batas. Dalam kondisi
darurat itu terpaksa kami bentuk tim PPKI (Panitia Pengumpulan Komisi Iftar) demi menjaga kelangsungan hidup masing-masing.
Singkat cerita, aku dengan uang seadanya mendapat tugas menjadi ketua komisi pembelian air minum. Sedangkan teman-temanku yang lain, para pejuang shubuh, mencari apa
yang bisa dibeli dengan uang seadanya. Walhasil, kami hanya mendapatkan 2 bungkus nasi ukuran normal, ditambah beberapa potong tahu, juga 4 botol air minum. Dan semua
makanan ini akan kami gunakan untuk berbuka dan makan sahur hari esok hari.
Beduk maghrib berdentum nyaring. Kumandang adzan perlahan berderai merdu menyisakan jejak-jejak pelangi di angkasa. Setelah shalat, kami buka makanan yang kami beli tadi.
Kami hanya mengeluarkan 1 bungkus nasi dan 2 potong tahu, serta satu botol air. Ini menu berbuka kami berenam hari ini.
Setelah masing-masing mendapat satu teguk air untuk melepas dahaga yang menjangkit selama 13 jam, kami kemudian beralih ke makanan berat. Satu bungkus nasi yang akan
dikeroyok oleh 6 orang pemuda yang kelaparan.
Pembagian makanan pun terjadi di antara kami. Awalnya terbagi rata, namun akhirnya cekcok terjadi. Bukan saling caci atau saling rebut, tapi malah tawaran-tawaran ‘aneh’ yang
dilakukan oleh para pemuda ini, termasuk aku. Kalimat-kalimat “silahkan, ini buatmu aja. Keliatannya kamu lebih lapar,” Atau “aku belum terlalu lapar. Untukmu saja,” atau ada juga
celetukan –yang kufikir aneh– terlontar dari sahabatku, “ah buka kali ini aku gak akan makan nasi. Aku alergi nasi. Buat kamu saja,” menjadi backsound tempat makan lesehan kami,
meski akhirnya –karena perdebatan yang tak kunjung selesai– kami memakan jatah kami masing-masing.
Waktu pun berlalu. Hingga tiba waktu sahur, dan kejadian ini berulang. Sama persis, hanya jumlah air minum yang lebih banyak. 3 botol air. Jadi seorang bisa meneguk setengahnya.
Tapi tetap saja, kericuhan itu kembali terdengar. Dan sekali lagi, kejadian itu tetap terulang. Lalu salah satu temanku berkata, seperti kalimat pertama yang kutulis di awal catatanku ini.
Bahwa makan, bukanlah mengenai kenyang atau tak kenyang, melainkan seberapa banyak rasa syukur kita atas apa yang telah Allah berikan.
Kini, terhitung genap 3 tahun dari hari itu. Sahur pertamaku dihiasi dengan ujian yang serupa, namun kali ini bukan mengenai kuantitas makanan yang tersaji, namun kualitas.
Dengan teman-teman yang berbeda, suasana yang berbeda, juga relung-relung kerinduan yang terasa menguat dari hari ke-hari. Rindu akan suasana ramadhan tanah air, keluarga,
juga rindu pada para pejuang shubuh itu.
Dengan kondisi yang sama ketika uang tidak ada sama sekali, ditambah kabar terbaru tentang kelangsungan beasiswa kami yang katanya tidak akan turun selama 2 bulan kedepan
[beasiswa non pemerintah Turki]. Semoga saja itu tidak terjadi.
Kali ini aku bersyukur, ketika satu panci besar nasi ayam terhidang di hadapanku, juga tumis kol yang menggugah selera (namun jika ada tahu, tentu aku akan memilih tahu sebagai
kawan makan, hehe). Sengaja nasi itu kusebut nasi ayam, agar lebih enak didengarnya, meski rasanya jauh dari yang diharapkan.
Ya, nasi itu nasi ayam, nasi yang berbahan dari pakan ayam. “kirik pirinc” begitu tulisanya, “nasi rusak” kalau dalam bahasa kita. Kadang aku geli sendiri, ketika kami membeli beras itu
ke supermarket. Terkadang kuamati wajah pelayan kasir, dia tertawa renyah bercampur ekspresi heran. Mungkin ia berfikir, “ini ada apa? Kok bule beli nasi rusak?” atau mungkin dia
malah berfikir kalau kami tengah beternak ayam di negaranya.
Namun sekali lagi, makan itu bukan soal kenyang, tapi semanfaat apa makanan itu mampu menegakan tulang punggungmu. Juga bukan masalah jumlah makanan atau kualitas
yang tersaji, tapi tentang seberapa banyak rasa syukur yang kau panjatkan atas apa yang Allah telah berikan padamu hari ini. tapi tetap, kualitas makanan juga penting. So, cari yang
berkualitas dulu, kalo gak ada, baru boleh niru, hehe..
Uhibbukum Fillah. Aku mencintai kalian karena Allah.
Salam
#Team Sang PENAKLUK SEJARAH
Muhammad Al-Fatih, Bursa.
LKS MIT-ers lovers
Note : Keindahan Mesjid Emir Sultan di Malam Hari..
Tulisan merupakan kiriman dari Tim "Penakluk sejarah"
Jumat, 19 Juli 2013
Ramadhan di Norwegia (9)
M u d i k
Bismillaahirrohmanirrohiim...
Perjalanan panjang mudik kami tahun ini pun dimulai pagi ini. Karena kota kami ini sungguh mungil, kami harus berangkat melalui kota tetangga bila bepergian ke negara di luar Eropa. Dimulai dengan bus antarkota, menyeberang selat dengan feri, hingga dilanjutkan dengan pesawat terbang. Itulah moda transportasi yang kami manfaatkan. Banyak, ribet, dan bakal melelahkan. Tapi semua itu sungguh seimbang dengan keriaan yang akan temui di kampung halaman nantinya. Prinsip kami, apapun kendaraannya, mudik tetap asyik!
Sudah terbayang nikmatnya sahur dan berbuka puasa bersama keluarga besar, tarawih berjamaah di masjid, menjajali pasar kaget khas Ramadhan, ngabuburit yang selalu bervariasi dan sangat mengasyikkan, hingga sekedar bercengkerama ngalor - ngidur bersama orang - orang tercinta yang hanya bisa kami temui setahun sekali.
Total durasi perjalanan yang akan kami tempuh hampir sehari semalam. Untuk itu tentunya kami sudah tergolong sebagai musafir, yang dalam bulan Ramadhan ini mendapat dispensasi untuk tidak berpuasa. Namun tadi kami sekeluarga sudah sahur seperti biasa. Niatnya kami akan tetap berpuasa di perjalanan (si bocah tetap akan berbuka waktu dhuhur), semampu kami. Semoga saja dimudahkan segalanya.
Buat sahabat yang juga akan mudik (mungkin masih terlalu dini ya membicarakan mudik sekarang?), aku ucapkan selamat menantikan waktu mudik. Bagi yang tidak mudik, selamat menikmati waktu bersama keluarga dan sahabat. Silaturrahim tetap bisa jalan kan meskipun tidak di kampung halaman?
Doakan semoga perjalanan kami diberi keselamatan dan keberkahan oleh-Nya ya sobat.
Sampai jumpa di cerita Ramadhan berikutnya! Aku pamit dulu ya...
Haugesund, 18 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Rabu, 17 Juli 2013
Ramadhan di Norwegia (8)
H-1: Bye Bye Fish!
Menjelang mudik, suasana di rumah mungil kami mendadak meriah dan kami semua jadi semakin sumringah. Koper - koper mulai diturunkan, pakaian dan perlengkapan yang akan dibawa mulai dipilah dan dipilih. Kulkas juga tak ketinggalan, ikut dibersihkan dari bahan makanan yang mudah busuk bila kami tinggal selama sebulan nanti.
Untuk urusan eksterior, agenda hari ini adalah merapikan rumput di halaman depan bersama si bocah, juga pesan ke tetangga sebelah untuk membantu menyiram beberapa tanaman di pot luar seminggu sekali. Di negeri barat yang katanya sangat individualistis ini, aku bersyukur memiliki para tetangga yang ramah dan sangat peduli satu sama lain.
Hari ini, mungkin karena pengaruh hawa mudik, aku merasa malas berkutat lama - lama di dapur. Inginnya masak yang gampang saja. Kurma dan kolak pisang nangka untuk berbuka, nasi uduk sederhana (hanya dengan lauk teri, telur dadar, irisan timun dan sambal), plus mie instant untuk sahur. Mie instant? Jangan skeptis dulu... Keluarga kami memang terbiasa dengan menu sehat padat gizi, namun yang namanya mie instant tidak lantas kami masukkan dalam daftar hitam. Mengonsumsinya sekali seminggu, dengan mengurangi bumbu instant-nya, plus tambahan lauk dan sayuran, jadinya lumayan sehat juga kan .
Lalu kenapa aku pasang foto ini? Nah... inilah momen terakhir si bocah dengan ketiga ikan peliharaannya. Biasanya setiap mudik ikan - ikan ini kami titipkan ke tetangga atau sahabat kami yang tinggal tak jauh dari rumah. Namun karena tahun ini mereka semua sedang sibuk dan ada yang akan pindah ke kota lain, jadilah kami memutuskan untuk menyerahkan (lebih tepatnya: mengembalikan) ikan - ikan ini ke toko tempat kami membeli mereka dulu. Meskipun sedih dan berat hati, si bocah akhirnya menyetujui opsi ini. Karena dengan menyerahkan mereka kembali ke toko, para ikan itu akan dirawat dengan jauh lebih baik, dan mereka akan lebih senang karena mendapat banyak "teman" baru .
Jadi kemarin setelah belanja keperluan harian, para ikan itu pun berpindah tangan. Raut sedih nampak di wajah si bocah. Namun sebentar kemudian dia pun gembira lagi melihat ikan yang berwarna - warni di aquarium berbagai ukuran.
Dan sebelum pergi, inilah yang dia ucapkan: bye bye fish!
Sekarang si bocah masih tidur setelah merampungkan sahur, sikat gigi, lalu sholat subuh berjamaah.
Rentetan tugasku sudah menanti. Jadi cukup sekian dulu ceritaku kali ini ya sobat!
Tetap dengan semangat Ramadhan Kariim!
Haugesund, 16 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Ramadhan di Norwegia (7)
Edisi Home Schooling
Kalau anak sekolah di Indonesia tetap bersekolah di sebagian besar bulan Ramadhan, anak sekolah di Norwegia justru sudah mulai libur sejak pertengahan Juni lalu hingga pertengahan Agustus nanti. Tentu liburan panjang ini tak ada hubungannya dengan Ramadhan dan Lebaran, melainkan karena Norwegia menerapkan sistem liburan musim panas yang panjang selama dua bulan penuh! Kebetulan saja tiga Ramadhan terakhir bertepatan dengan musim panas. Jadi keluarga kecil kami selalu bisa mudik menjelang Lebaran tanpa terlalu banyak mengorbankan waktu sekolah si bocah.
Beruntunglah teman - teman muslim di mana anak - anak mereka bisa memanfaatkan momen Ramadhan dengan pesantren Ramadhan dan program religius lainnya, jadi orang tua tak perlu pusing menyiapkan materi sendiri untuk itu. Di sini? Tentu saja jauh berbeda. Jangankan pesantren Ramadhan, mencari guru mengaji pun susahnya bukan main. Sebagai orang tua, sebaiknya kondisi minimalis ini bukan jadi penghalang untuk tetap memperhatikan kebutuhan religius anak, bukan?
Dengan berbekal berbagai buku panduan pengajaran agama Islam untuk anak yang kudapat dari hasil berburu setiap mudik, dan juga bermacam buku penunjang belajar sekolah, buku cerita dan lainnya, menjelang libur panjang sekolah biasanya aku mulai menyusun jadwal kegiatan harian si bocah, yang mencakup bermain dan belajar (dengan porsi yang kurang lebih seimbang).
Bagaimana materi dan kurikulumnya?
Aku jelas bukan pendidik atau psikolog anak secara profesi, jadi jujur saja aku tak akrab dengan berbagai metode pedagogik rancangan ahli manapun. Bisa dibilang metode yang kupakai adalah a la Bunda Icha, yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan pribadi si bocah. Inilah keuntungan punya anak semata wayang: bisa fokus sepenuhnya untuk perkembangan si anak.
Sistem yang kurancang sederhana saja. Biasanya jadwal belajar dimulai setelah si bocah bangun dan mandi pukul 10.00. Dimulai dengan mengaji (berbekal buku Iqro') selama 30 menit. Kemudian istirahat sekitar 10 menit. Dilanjutkan dengan belajar matematika selama 30 menit, setelah itu si bocah boleh bermain apapun selama 2 jam (kecuali menonton TV atau bermain iPad karena itu ada waktu tersendiri yang kubatasi). Jam istirahat ini biasa kumanfaatkan untuk sholat dhuha dan tadarrus.
Setelah berbuka puasa dan ba'da sholat dhuhur, dia kuharuskan istirahat siang selama 2 jam.
Bangun tidur, dia boleh main dan nonton TV atau lainnya selama 1 jam. Setelah itu lanjut dengan menggambar, melukis, membaca atau menulis apapun yang dia inginkan (baik untuk melatih konsentrasi dan kemampuan motoriknya). Selesai dengan kegiatan yang satu ini, kalau cuaca memungkinkan, dia boleh main di sekitar rumah (naik sepeda, mencari serangga, atau bermain di taman kompleks).
Setelah dia makan malam, jadwal selanjutnya adalah sholat 'asar, kembali mengaji, dan belajar matematika lagi. Hari ditutup dengan sesi "bedtime stories" yang bergantian kami lakukan. Kadang aku yang mendongeng, kadang si bocah mendongengi bundanya.
Di mana si ayah? Beliau bekerja mencari nafkah, tentu saja. Ayah tetap berperan, dengan meluangkan waktu juga untuk bermain dan mengajari si bocah pengetahuan lain (terutama dunia fauna dan sains).
Atas kesepakatan bersama, tugas "sekolah di rumah" adalah tugas Bunda. Dan hal ini dengan senang hati kujalani. Nikmat lho menjadi guru untuk anak sendiri. Banyak seninya. Berdasarkan pengalaman singkatku menjadi guru TK di negeri ini, mengajari anak sendiri terkadang lebih sulit daripada mengajari anak orang. Harus lebih disiplin namun harus tetap menyenangkan. Istilahnya tarik ulur begitu.
Sobat, metodeku ini belum tentu bisa diterapkan oleh orang lain, yang tentunya berbeda situasi dan kondisinya. Namun ini hanya sebagai gambaran, bahwa orang tua manapun bisa menjadi guru bagi anaknya sendiri. Selagi sarana dan prasarana memadai, tinggal kemauan dan konsistensi orang tua sajalah penggerak utamanya.
Walaupun kemungkinan besar hasil pengajaranku tertinggal jauh dengan hasil pengajaran a la sekolah atau guru mengaji profesional, tapi aku bersyukur bisa menjalani peran yang satu ini selagi aku mampu, selagi si anak masih sangat lentur dan kemampuan otaknya masih luar biasa potensial. Ada rasa syukur dan bangga terbersit di sanubari ini, setiap kali ada yang bertanya, "siapa yang mengajarimu membaca, berhitung (termasuk menghitung uang!), sholat dan mengaji?", dan si bocah selalu menjawab "Bunda". Paling tidak aku (dan suami) sudah bisa menegakkan prinsip "pendidikan sejati dimulai dari rumah", dan "ibu adalah guru bagi generasi penerus bangsa". Aku yakin sangat banyak sahabat di luar sana yang juga sudah menerapkan metode mereka sendiri untuk mendidik anak, dan malah sudah bisa pula melihat hasil positifnya.
Aku yakin kita semua bisa ya menjadi guru terbaik bagi anak - anak kita? Harus yakin dan semangat dong! Insya Allah bisa.
Haugesund, 15 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Ramadhan di Norwegia (6)
Edisi Sahur
Meskipun terkantuk - kantuk, akhirnya si bocah beringsut juga dari tempat tidurnya. Setelah kuusap wajahnya dengan air, dia langsung melek dan sedikit lebih cerah.
Demi menghidupkan suasana sahur yang sepi tanpa acara Sahur a la TV di Indonesia, aku dan ayah bergantian menceritakan pengalaman - pengalaman lucu tentang sahur ketika kami kecil dulu. Lumayan berhasil, matanya semakin melek.
Tapi kemudian si bocah berkata: "Bunda, aku mau kembali".
"Kembali ke mana?" tanyaku, seraya berpikir mungkin dia sedikit mengigau.
Ini jawabannya: "aku mau kembali ke kamarku. Abis sahur aku mau tidur, gak usah pakai sholat gak pa-pa ya Bunda?"
Wah... ini dia kesempatan emas bagiku untuk ceramah
Lalu kujelaskan padanya, bahwa si bocah boleh kembali ke kamarnya untuk tidur, setelah dia menghabiskan makanannya, minum air yang cukup, sikat gigi, berwudhu dan sholat subuh.
Penjelasanku berikutnya adalah bahwa puasa tanpa sholat adalah sia - sia karena tidak akan dapat pahala kecuali lapar dan haus. Dalam Rukun Islam pun kedudukan sholat lebih tinggi dibandingkan puasa. Sebagai penutup, kutegaskan padanya bahwa orang puasa itu tidak boleh malas sholat atau malas - malasan, malah harus rajin...
Belum tuntas aku berbicara, dia langsung menyanyikan urutan Rukun Islam yang memang sudah dia hapalkan sejak kecil. Ayahnya tersenyum sambil manggut - manggut.
Sekarang dia sudah betul - betul terisi baik jiwa dan raganya. Semangkuk corn flakes, sebuah pisang cavendish dan segelas kecil air pun sudah dia tandaskan. Sholat subuh berjamaah sudah ditegakkan. Akhirnya sambil membaca doa tidur, dia merapatkan selimut yang memang sudah dia nantikan sejak tadi.
Niat hari ini dan hari - hari berikutnya adalah berpuasa sampai masuk waktu dhuhur. Semoga Dia mudahkan segalanya bagi si bocah.
Untuk para sahabat, semoga kita semangat kita untuk mengajarkan nilai - nilai kebaikan kepada anak - anak kita tak pernah padam. Seperti halnya semangat Luqman yang saleh, atau Bunda 'Aisyah, Bunda Fatimah kepada anak - anaknya, dan tentunya junjungan kita tercinta Rasulullah, Salallaahu 'Alaihi Wasalaam. Insya Allah bisa ya? Meskipun tidak akan sesempurna para panutan itu, setidaknya tetap berusaha untuk menjadi benteng dan pondasi terkuat bagi generasi penerus kita, aamiin... — bersyukur
Haugesund, 14 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Ramadhan di Norwegia (5)
Beginilah tatanan meja makan kami sehari - hari, selama bertahun - tahun. Tak terkecuali di bulan Ramadhan seperti ini. Semua makanan sudah tertata rapi per porsi untuk setiap anggota keluarga, untuk dua kali makan (berbuka dan sahur, di bulan puasa).
Konsep di balik sistem ini sederhana saja: kepraktisan. Hidup tanpa asisten rumah tangga di mana segala sesuatu dikerjakan sendiri, membuatku harus menemukan taktik yang pas untuk urusan dapur. Tanpa mengurangi kualitas rasa maupun kuantitas masakan, aku menemukan bahwa penyediaan makanan per porsi seperti ini sungguh praktis dari segi apapun. Makanan sudah tersaji di piring (a la restoran) dengan porsi yang pas (sebagai ibu aku sudah tahu persis porsi yang pas untuk setiap anggota keluarga), dan yang terpenting: tak ada cucian piring yang menggunung setelah makan karena tambahan piring saji yang berbeda untuk setiap lauk - pauk. Praktis bukan?
Khusus di bulan Ramadhan, biasanya aku mulai memasak pukul 18.00 dan selesai pukul 19.30. Masakan yang sudah matang dan tertata di meja aku tutup rapat dengan plastik film. Hawa sejuk di Norwegia membawa keuntungan, karena makanan awet beberapa jam tanpa perlu ditaruh di kulkas. Pada saat akan berbuka (pukul 23.00), kami cukup menghangatkan makanan di microvawe selama 1 - 2 menit. Praktis lagi, karena tak perlu panci atau periuk khusus untuk menghangatkan makanan. Begitu juga halnya untuk makan sahur. Tak perlu panik atau repot menata meja lagi karena semua sudah siap tersaji, cukup menghangatkan sebentar saja. Praktis praktis dan praktis! Itulah kata kunci yang selalu kupegang. Lebih baik daripada sibuk mengurusi urusan dapur yang tak ada habisnya, 'kan?
Menu kami semalam: iftar dengan kurma dan es cendol nangka. Lalu dilanjutkan dengan makan malam: nasi dengan gulai ayam Padang, balado telur dan lalapan. Menu sederhana, nikmat dan sehat. Dan yang pasti: tak berlebihan. Sesuai dengan jiwa Ramadhan!
Bagaimana tradisi kalian, kawan?
Haugesund, 14 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Ramadhan di Norwegia (4)
Salah satu perbedaan mendasar yang kurasakan bertahun - tahun menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negeri rantau (khususnya negeri Barat) adalah tiadanya kemeriahan dan hiruk - pikuk Ramadhan a la kampung halaman.
Meskipun jumlah kaum muslimin di negeri Barat terus meningkat secara signifikan, suasana Ramadhan masih jauh dari meriah. Ramadhan ya seperti hari biasa saja. Kalau kita jalan ke pusat kota, orang - orang santai saja makan - minum di jalan. Restoran tetap buka seperti biasa, sehingga aroma makanan menguar ke segala penjuru. Di musim panas seperti ini, biasanya ada bonus: cuaca yang hangat sudah cukup membuat orang lokal secara spontan memakai baju sangat minimalis di tempat umum. Dan ini bisa disaksikan ke manapun mata memandang. Jadi kali ini tantangan puasanya berlipat ganda: menahan lapar dan haus, juga menahan pandangan.
Untunglah waktuku kuhabiskan sebagian besar di dalam rumah. Tiadanya bazaar Ramadhan, pasar wadai maupun program - program ngabuburit membuatku nyaman memaksimalkan ibadah di rumah dan meminimalisasi godaan dari luar rumah. Nikmat rasanya!
Namun... kemeriahan Ramadhan khas kampung tetap kurindukan. Dan penantian itupun kunikmati dengan sabar dan hikmat.
Aku bersyukur setiap Ramadhan bisa kujalani di dua negeri yang sungguh berbeda dalam segala hal: Barat dan Timur. Perbedaan itu senantiasa bisa membuka cakrawala berpikirku, betapa sesungguhnya perbedaan itu tidak harus membuat kita mengeluh atau membuat semangat menjadi kendur. Memang begutlah hakikat dunia ini kan: penuh perbedaan yang indah dan berwarna. Dan perbedaan itulah yang ingin kubagi dengan sobat - sobatku di manapun berada!
Haugesund, 13 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Ramadhan di Norwegia (3)
Ini dia salah satu dari dua masjid kecil di kota kecilku, Haugesund. Yang ini namanya Masjid Falah Ul-Muslimeen. Sekilas tidak tampak seperti masjid ya? Seperti mushola pun tidak. Apalagi kalau kita bandingkan dengan masjid, mushola atau surau di Indonesia yang rata - rata tampak indah, atau paling tidak menampakkan identitas mereka sebagai tempat beribadah kaum muslimin.
Pendirian masjid ini diprakarsai oleh beberapa imigran asal Sri Lanka sekitar 20 tahun yang lalu. Bangunannya sendiri sudah berdiri sejak lama. Berjejer di antara toko busana pengantin, toko kamera, dan berseberangan dengan gereja dan juga toko penjual bahan makanan Asia, masjid ini memang tidak mudah dikenali sebagai masjid karena memang tak ada papan tanda pengenal. Sejatinya bangunan ini adalah semacam ruko. Lantai bawah gedung dimanfaatkan sebagai masjid, sedangkan lantai atas adalah tempat kost para pengurus masjid.
Seperti halnya ruko, masjid yang terletak di tengah kota Haugesund ini memiliki jam buka tertentu, yaitu pada waktu - waktu sholat. Kalau kita hendak berkunjung atau sekedar mampir melepas lelah di luar jam sholat, kita hanya akan melihat bangunan yang terkunci rapat dan sepi dari kegiatan Islami.
Jangan harap mendengar kumandang adzan dari masjid ini atau masjid manapun di Norwegia karena memang tak ada izin untuk itu. Bagi kaum muslimin di sini, sudah diizinkan memiliki masjid dan bebas mengerjakan ritual kegamaan (selagi tidak mengganggu ketertiban umum) di negeri ini sudah patut disyukuri.
Yang aku dengar dari beberapa teman muslim di sini, sebetulnya ada ta'jil bersama dan sholat tarawih berjamaah selama Ramadhan di masjid ini maupun di masjid yang lain, El Salaam (yang ini khusus untuk imigran asal negeri Arab). Hati kecil ini pun sebetulnya ingin bergabung dengan kemeriahan khas bulan suci ini. Tapi karena waktu yang menjelang tengah malam, sementara tak mungkin kami meninggalkan si bocah sendirian di rumah, jadilah kami beribadah tarawih berjamaah di rumah saja. Tak apa. Tak perlu dipaksakan. Buat kami yang paling penting esensinya tetap dijalani dengan hikmat dan penuh semangat. Bukan begitu sobat?
Haugesund, 12 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Ramadhan di Norwegia (2)
Syukur alhamdulillah... episode Terlewat Sahur kemarin dapat kami lalui dengan selamat. Berpuasa nyaris 24 jam itu ternyata sesuatu sekali! Percayalah, hal ini terdengar lebih berat dibandingkan menjalankannya sendiri. Memang, badan terasa lemas dan kepala terasa pusing lima keliling karena kurangnya asupan energi sehari semalam. Tapi aku percaya kekuatan niat dan doalah yang menyebabkan ibadah puasa di musim panas ini terasa ringan.
Sholat dhuha, jalan-jalan dengan si bocah, tadarrus Qur'an, bebersih rumah, masak, bercengkerama dengan keluarga kecilku, sampai jadwal mengaji dan belajar si bocah, bisa terlaksana dengan baik. Dan ternyata masih banyak waktu luang yang tersisa. Kupakai saja untuk tidur. Bukankah tidurnya orang yang berpuasa itu berpahala? Asalkan... tidur itu dikerjakan untuk menyimpan energi demi melaksanakan ibadah-ibadah Ramadhan, bukan tidur sekedar bermalas-malasan atau karena tidak ada kerjaan lain ya...
Menjelang tengah malam, berbekal jadwal kalender Ramadhan yang tertempel di dinding, aku dan suami berbuka puasa. Anehnya, tak ada rasa kalap ingin menghabiskan hidangan satu meja! Cukup segelas air, tiga butir kurma ajwah dan segelas es melon serut, plus seporsi kecil nasi beserta lauk - pauknya sudah membuatku kenyang, tidak terlalu kenyang hingga badan terasa berat diajak sholat maghrib, isya' dan tarawih berjamaah berdua dengan suami. Lega rasanya hari puasa perdana kemarin terlewati dengan hikmat dan tanpa mengeluh.
Alhamdulillah tadi bisa sahur dengan waktu yang cukup; berkat strategi "pasang tiga alarm di samping tempat tidur"!
Dan saat ini aku sedang menemani si bocah sarapan. Mungkin besok dia mulai bisa belajar puasa lagi. Agenda hari ini terfokus untuk tadarrus dan "homeschooling" matematika dan mengaji bersama si bocah kesayangan ayah bunda.
Matahari bersinar cerah, sahur cukup, istirahat cukup, kesehatan prima, insya Allah puasa kami hari ini dan seterusnya berjalan lebih baik dan lebih bersemangat dibanding hari sebelumnya.
Doa dan semangat yang sama ingin kutularkan juga untuk semua teman dan sahabatku di belahan dunia manapun kalian berada!
11 Juli 2013
* Bagi rekan yang ingin mengenal lebih dekat dengan penulisnya, silahkan klik disini
Ramadhan di Norwegia (1)
Jika Ramadhan tahun-tahun sebelumnya blog ini menyajikan catatan Ramadhan dari Mancanegara (Inggris, USA, Jerman, Turki, dll) maka ramadhan tahun ini akan memaparkan kisah, cerita, pengalaman atau suka-duka berpuasa pada musim panas di Norwegia yang akan ditulis berupa jurnal harian oleh sahabat admin Savitry 'Icha' Khairunnisa sebagaimana yang ditegaskan penulisnya berikut ini:
"Aku akan berusaha membuat jurnal harian Ramadhan di sini setiap harinya. Jadi, buat kalian yang ingin tahu segala suka duka, sepak terjang dan kisah - kisah unik yang kami hadapi selama berpuasa super panjang di sini, pantengin terus ya...."
* * *
Dan cerita Ramadhan di musim panas tahun ini kami buka dengan kejadian langka: terlewat sahur!
Sepanjang umur 11 tahun pernikahan kami, bahkan sepanjang ingatanku hingga ke masa kanak - kanak, hampir tak pernah aku melewatkan sahur. Bukan sekedar keutamaan sahur di bulan Ramadhan. Tapi selalu ada kekuatan dan "sesuatu" di alam bawah sadar yang membangunkanku untuk sahur, meskipun terkadang hampir di akhir waktu.
Tapi kali ini berbeda.
Alasan terkuat mengapa kali ini sang sahur kami lewatkan adalah sederhana: puncak musim panas!
Di negeri empat musim, terlebih di belahan bumi utara yang hampir mendekati kutub utara seperti negeri ini, matahari di bulan Juni, Juli dan Agustus sangat enggan beranjak turun.
Pukul 03.40 sudah masuk waktu subuh, sementara sang mentari baru terbenam malu - malu menjelang pukul 23.00. Ya betul: sudah menjadi tradisi kami untuk terjaga hingga menjelang tengah malam demi tidak melewatkan sholat maghrib dan isya'. Dan menjelang pukul 4 dini hari, kami harus bangkit lagi demi menegakkan sang subuh. Begitu selama 3 bulan di musim semi.
Berat memang berat. Tapi beratnya terasa istimewa ketika bulan Ramadhan jatuh pada puncak musim panas seperti tahun ini (dan insya Allah tahun depan pula).
Bagi yang belum pernah menjalankannya, silakan dibayangkan: berpuasa menahan lapar, haus, amarah dan menahan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa selama kurang lebih 19 jam setiap hari.
Praktis waktu malam di mana kita bebas makan, minum dan lain - lain sebagainya hanya 5 jam, dan itu adalah di waktu istirahat malam!
Sungguh berat, namun sungguh nikmat!
Dan sekarang baru 4 jam lebih kami menjalani puasa perdana tahun ini. Masih kurang 15 jam lagi baru kami bisa bertemu minuman dan makanan.
Semoga Allah memberikan kekuatan kepadaku, ibu rumah tangga ini, yang ritmenya hari ini adalah mengurus si bocah yang sedang sakit (sehingga dengan berat hati tidak kami bolehkan ia berpuasa).
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada suami tercinta yang sedang mencari nafkah di kota tetangga. Semoga ia tetap berkonsentrasi dan semangat dalam pekerjaannya.
10 Juli 2013
Bagi pembaca yang ingin mengenal lebih dekat dgn penulisnya, silahkan klik disini
Langganan:
Postingan (Atom)