“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” [QS 3:110]
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk mentakwin (membentuk) ummat untuk bersatu. Kalau kita perhatikan ayat-ayat yang memerintahkan tentang persatuan, maka terlihat jelas bahwa perintah untuk berjamaah dan bersatu itu tidak berhenti hanya pada terbentuknya jamaah dan persatuan itu, tapi kemudian bagaimana jamaah dan persatuan yang telah terbentuk itu selanjutnya bisa mengemban risalah da’wah. Risalah amar ma’ruf nahi munkar.
Dan yang perlu kita perhatian dari ungkapan ”ya’muruna bil ma’ruf yanhauna anil munkar” memiliki makna mendalam bahwa tidak sekedar kita bisa berda’wah menyampaikan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar, tapi dari ungkapan amr dan nahi itu baru betul-betul dikatakan amr dan nahi kalau posisi kita sudah diatas. Ketika kita menggulirkan kebijakan yang sifatnya mengikat dan posisi kita berada di atas, barulah dia betul-betul sebagai amr (perintah). Begitu juga ketika kita melarang, baru betul-betul larangan yang efektif kalau itu berupa kebijakan yang turun dari atas. Jamaah ini juga perlu merekayasa dan terus berusaha agar posisi-posisi strategis bisa kita peroleh. Dari situlah amr ma’ruf dan nahi munkar betul-betul bisa kita terapkan.
Sementara itu kata ma’ruf juga belum dikatakan suatu yang ma’ruf –sekalipun itu kebijakan yang sifatnya dari atas dan mengikat- kalau belum betul-betul mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sebab al-ma’ruf itu seperti didefinisikan oleh Thoriq Al Asfahani adalah ma arofahu al-aqlu was syar’u, sedangkan munkar adalah ma ankarohu al-aqlu was syar’u. Dalam artian bahwa sekalipun sudah berupa kebijakan yang sifatnya mengikat –sesuatu yang baik yang harus dilakukan- tapi kalau dimasyarakat masih suatu yang asing, belum mengakar dan membudaya, dan belum mendapatkan dukungan mayoritas, maka belum betul-betul merupakan yang al-ma’ruf. Tetapi itu suatu kebaikan yang masih munkar. Artinya kebaikan yang masih dirasakan asing.
Begitu juga kemunkaran, tidak cukup dengan adanya ketetapan atau kebijakan yang sifatnya mengikat yang menolak kemunkaran, tetapi bagaimana dia juga harus disikapi sebagai sesuatu yang munkar. Artinya yunkiruhu an-naas, keberadaannya itu ditolak sehingga orang merasakan sesuatu yang betul-betul janggal ketika kemunkaran muncul ditengah-tengah masyarakat. Dan inilah risalah kita.
Dari ungkapan ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anil munkar mengandung makna yang sangat dalam, bagaimana agar lewat jamaah ini kemudian kita bisa secara bertahap merekayasa posisi-posisi strategis. Bisa kita peroleh dan raih kemudian dari situ kita bisa menurunkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengikat, dan di sisi lainnya bagaimana kita berupaya mensosialisasikan kebenaran itu sehingga betul-betul bisa diterima dan memasyarakat dan mendapatkan dukungan. Begitu juga sebaliknya dalam kemunkaran.
Ketika peran ini kita lakukan secara berkesinambungan dan ketika kebenaran itu bisa ditegakkan serta dikokohkan maka berangsur-angsur kemunkaran akan terkikis habis. Ketika peran ini kita lakukan maka barulah keterlibatan kita dalam berjamaah itu mempunyai nilai. Jadi nilai dari sebuah jamaah itu adalah ketika kita telah melakukan peran kita sebagai jamaah bukan memangkas keterlibatan kita dalam jamaah itu.
Oleh karena itu Muhammad Quthb ketika menjelaskan tentang kuntum khairi ummah ukhrijat linnas mengatakan bahwa khairiyyatul ummat itu terletak bukan pada waktu sahabat berada dekat Rasulullah saw, tapi khairiyyahnya itu terletak pada peran yang mereka lakukan yaitu ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah. Ketika peran ini dilakukan dalam berjamaah maka khairiyyah itu akan dinisbatkan. Jadi sifat khairiyyah ini bukan merupakan sifat yang khusus diberikan pada para sahabat saja, tetapi sifat itu juga akan diberikan kepada setiap ummat yang mengemban risalah amar ma’ruf nahi munkar.
Dan begitu pentingnya peran ini sehingga didalam surat yang dikemukakan diatas (QS 3:110) dikedepankan penyebutan amar ma’ruf nahi munkar ketimbang menyebutkan keimanan. Penempatan amar ma’ruf nahi munkar yang dikedepankan tinimbang keimanan ini menunjukkan bahwa masalah amar ma’ruf nahi munkar memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Maka ketika peran ini telah kita lakukan maka baru akan mendapatkan julukan khaira ummah dan dengan sendirinya al-falah akan datang, ulaikahumul muflihun.
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kita untuk mentakwin (membentuk) ummat untuk bersatu. Kalau kita perhatikan ayat-ayat yang memerintahkan tentang persatuan, maka terlihat jelas bahwa perintah untuk berjamaah dan bersatu itu tidak berhenti hanya pada terbentuknya jamaah dan persatuan itu, tapi kemudian bagaimana jamaah dan persatuan yang telah terbentuk itu selanjutnya bisa mengemban risalah da’wah. Risalah amar ma’ruf nahi munkar.
Dan yang perlu kita perhatian dari ungkapan ”ya’muruna bil ma’ruf yanhauna anil munkar” memiliki makna mendalam bahwa tidak sekedar kita bisa berda’wah menyampaikan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkar, tapi dari ungkapan amr dan nahi itu baru betul-betul dikatakan amr dan nahi kalau posisi kita sudah diatas. Ketika kita menggulirkan kebijakan yang sifatnya mengikat dan posisi kita berada di atas, barulah dia betul-betul sebagai amr (perintah). Begitu juga ketika kita melarang, baru betul-betul larangan yang efektif kalau itu berupa kebijakan yang turun dari atas. Jamaah ini juga perlu merekayasa dan terus berusaha agar posisi-posisi strategis bisa kita peroleh. Dari situlah amr ma’ruf dan nahi munkar betul-betul bisa kita terapkan.
Dari ungkapan ya’muruna bil ma’ruf wa yanhauna ‘anil munkar mengandung makna yang sangat dalam, bagaimana agar lewat jamaah ini kemudian kita bisa secara bertahap merekayasa posisi-posisi strategis. Bisa kita peroleh dan raih kemudian dari situ kita bisa menurunkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengikat, dan di sisi lainnya bagaimana kita berupaya mensosialisasikan kebenaran itu sehingga betul-betul bisa diterima dan memasyarakat dan mendapatkan dukungan. Begitu juga sebaliknya dalam kemunkaran.
Ketika peran ini kita lakukan secara berkesinambungan dan ketika kebenaran itu bisa ditegakkan serta dikokohkan maka berangsur-angsur kemunkaran akan terkikis habis. Ketika peran ini kita lakukan maka barulah keterlibatan kita dalam berjamaah itu mempunyai nilai. Jadi nilai dari sebuah jamaah itu adalah ketika kita telah melakukan peran kita sebagai jamaah bukan memangkas keterlibatan kita dalam jamaah itu.
Dan begitu pentingnya peran ini sehingga didalam surat yang dikemukakan diatas (QS 3:110) dikedepankan penyebutan amar ma’ruf nahi munkar ketimbang menyebutkan keimanan. Penempatan amar ma’ruf nahi munkar yang dikedepankan tinimbang keimanan ini menunjukkan bahwa masalah amar ma’ruf nahi munkar memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Maka ketika peran ini telah kita lakukan maka baru akan mendapatkan julukan khaira ummah dan dengan sendirinya al-falah akan datang, ulaikahumul muflihun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar