Saya menemuinya di sebuah restoran di Amsterdam, Belanda. Pada waktu itu, saya mendapat kesempatan mengikuti training jurnalistik di Utreech, Belanda. Tapi, kami tinggal di Amsterdam karena di situ ada International Centre, ada asrama dan tempat belajar. Yang dididik di situ, selain orang dari dunia ketiga yang diberi beasiswa oleh Belanda, juga ada orang Belanda yang akan bertugas di negara dunia ketiga.
Sebagai wartawan dan orang Sulawesi Selatan, saya tanya-tanya di mana tokoh itu tinggal. Lalu, seseorang memberitahu saya nomor telepon Westerling. Saya kemudian menelepon; dan dia bersedia bertemu. Dia bahkan memberi saya alamat sebuah restoran di Amsterdam dan menentukan waktu pertemuan.
Pada saat yang ditentukan, saya datangi restoran itu. Tentu saja saya membekali diri dengan tape recorder. Sebelum masuk restoran, ada orang yang memeriksa dan menggeledah saya. Saya bilang, saya tidak bersenjata. Mungkin, mereka tahu saya dari Sulawesi Selatan dan takut saya bawa apa-apa, jadi diperiksa dulu.
Restoran itu cukup ramai. Westerling duduk di salah satu sudut ruangan. Begitu saya masuk, dia berdiri dan langsung menyalami saya. Wajah Westerling memang terkesan kejam, tampangnya kayak serigala.
Saya pun membuka pembicaraan dengan bercerita. “Anda hampir saja membunuh bapak saya dan sudah membunuh paman saya,” begitu saya bilang. Dia hanya menjawab dingin, “Well Mr Said. It’s a war.”
Sejumlah pertanyaan lanjutan pun saya lontarkan. Salah satunya, saya tanyakan berapa banyak orang yang sebenarnya mati dalam perang itu, apa betul 40.000. Dia bilang, “Tanyakan kepada Pak Sarwo Edhie Wibowo, berapa banyak orang yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus. Seingat saya 463 orang.”
Waktu saya tanyakan alasan Westerting membunuh orang-orang itu dia bilang: Mereka ekstremis. Dia menyebut satu nama orang yang dia sudah tangkap tapi tidak dibunuh. Kalau tidak salah Mayor Latief. Alasan Westerling tidak membunuhnya karena dia anggota TNI, organisasai resmi. Mereka yang dia bunuh adalah orang-orang yang tidak masuk dalam organisasi resmi. Itulah yang dia maksud sebagai ekstremis.
Kalau sekarang, mungkin namanya teroris. Jadi, menurut Westerling, yang dia bunuh itu adalah para ekstremis yang tidak merupakan bagian institusi organisasi. TNI, kata dia, jelas organisasinya. Mereka inilah pejuang-pejuang dan para tokoh politik.
Dia kemudian mencoba menjelaskan bahwa pembunuhan itu dilakukannya karena banyak kekacauan, banyak perampokan, dan banyak tindakan kriminial. Itu yang dijadikan alasan Westerling. Jadi, kesimpulan saya, dia menganggap itu kriminal. Tapi, menurut Westering, tentu saja yang dibunuh bukan sepenuhnya ekstremis.
Saya sempat menanyakan tentang informasi yang tersebar bahwa dia bisa menghilang. Tapi, informasi itu dibantahnya. Dia bilang, “Saya tentara biasa.” Tapi dia mengaku sebagai pasukan komando yang memang jago tembak. Keahlian menembaknya didemonstrasikan di depan rakyat, sehingga rakyat takut. Dengan kehebatan ini, kemudian diciptakan mitos bahwa dia punya “kekuatan supranatural”.
Tentu saja dia membantah kebenaran “mitos” itu. Tapi hanya mengaku memiliki insting yang tajam. Dengan insting itulah, ia punya kebiasaan untuk menjejerkan pasukannya sebelum berperang. Setelah menatap satu persatu wajah pasukannya, dia akan menunjuk sejumlah orang yang tidak diikutkan perang. “Kalau dipaksakan ikut berperang, mereka akan mati,” katanya.
Westerling memang tokoh militer yang sangat kejam. Ia adalah pembunuh berdarah dingin. Tapi dia juga manusia manusia biasa. Saat saya mengakhiri wawancara dan beranjak dari restoran, Westerling tetap bersikap cukup ramah. Dia bahkan mengantar saya sampai di luar restoran. ***
Oleh:
Salim SaidSalim Said lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan, 10 Nopember 1943.
Ia berlatar belakang pendidikan ATNI (1964-1965), S-1 di Fakultas Psikologi dan jurusan Sosiologi Fakultas Sosial dan Politik Universitas Indonesia Jakarta (1976). Gelar MA-nya diraih dari jurusan Hubungan Internasional di Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat (1980) dan gelar PhD-nya didapat dari jurusan Ilmu Politik di Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat (1983).
Awalnya ia di kenal sebagai wartawan sekaligus penulis. Ketajaman tulisannya dalam mengulas film Indonesia menyebabkan dia ‘kurang disukai’ oleh para produser film. Aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan dunia film antara lain, hingga awal 1980-an sebagai Kepala Urusan (desk) Film & Luar Negeri di Majalah TEMPO.
Pengamat militer dan juga seorang diplomat ini pernah menjadi Ketua Bidang Luar Negeri Pantap FFI (1988-1992), anggota Dewan Film Nasional selama dua periode (1989-1995), dan pada tahun 1990 terpilih sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan dipilih kembali pada tahun 1993.
Menikah dengan Herawaty Said, Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Ceko sejak tahun 2007 itu juga pernah mendapat penghargaan Satya Lencana Penegak Republik Indonesia dan Satya Lencana Dwidyasista.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar