Saya akan mulai uraian ini dengan membandingkan dua jenderal yang memimpin TNI pada masa awal: Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang. Berbeda dengan Jenderal T.B. Simatupang yang berwatak pemikir, Nasution adalah praktisi dan militer lapangan tulen.
Karena bukan pemikir, dalam membuat konsep Nasution hanya memikirkan kebutuhan sesaat dengan tujuan menanggapi persoalan yang sedang dihadapi ketika itu. Cara ini biasanya tidak menghiraukan nasib jangka panjang konsep itu dan tidak memperhitungkan dinamika lingkungan dan waktu.
Sebagai seorang didikan Akademi Militer Belanda, pada dasarnya Nasution adalah penganut doktrin supremasi sipil. Itu terlihat jelas dalam tulisan-tulisannya ketika nonaktif dari tentara pada 1952-1955, yang kemudian terbit sebagai buku dengan judul Tjatatan-Tjatatan Politik Militer.
Sikap inilah yang menjelaskan mengapa dalam Peristiwa 17 Oktober 1952 – kendati militer sangat sengit kepada politikus sipil – gagasan kudeta tidak terpikirkan sama sekali. Alih-alih mengambil alih kekuasaan, Nasution dan para kolonelnya malah memohon Presiden Soekarno, seorang tokoh sipil yang karismatis mengambil alih kekuasaan, membubarkan parlemen dan secepatnya menggelar pemilihan umum.
Persoalan yang muncul antara militer dan politikus pada awal 1950-an bukan soal baru bagi Nasution, yang sudah menjadi salah seorang pemimpin tentara sejak di Yogyakarta (1947-1949). Di Yogyakarta dan di Jakarta pada dekade 1950, Soekarno adalah lambang sipil dalam hubungan sipil-militer.
Ketika pada 1949 Panglima Besar Sudirman bertentangan pendapat dengan Soekarno dalam soal penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, Sudirman tidak memobilisasi staf atau para panglima untuk mendesakkan posisinya kepada pemerintah. Dengan gaya flamboyan plus cucuran air mata, Sudirman malah meminta Soekarno memberhentikannya dari jabatan panglima besar sekaligus dari dinas militer.
Dalam Peristiwa 17 Oktober, Nasution bertindak sedikit lebih berani. Ia datang ke Istana bukan saja dengan didampingi sejumlah pemimpin Angkatan Darat namun juga bersama serombongan pengunjuk rasa. Pada saat yang sama, sejumlah meriam diarahkan ke Istana oleh Mayor Kemal Idris. Semua "gertakan" ternyata tidak mengecilkan nyali Soekarno. Yang jadi korban malah Nasution. Ia diberhentikan dari posisi pemimpin Angkatan Darat untuk kemudian diinterogasi oleh Kejaksaan Agung.
Kekuatan sipil (baca: Soekarno) itu membuat Nasution berhati-hati bermain politik ketika ia kembali menjadi pemimpin Angkatan Darat pada 1955. Nasution baru mulai berani menyerang politikus sipil ketika Presiden Soekarno sendiri telah bosan dengan partai-partai dan mulai mengkampanyekan Konsepsi Presiden (1957) yang berwatak antipartai.
Dalam konteks inilah lahir doktrin "Jalan Tengah" lewat pidato Nasution dalam dies natalis Akademi Militer Nasional Magelang, November 1958. Pidato itu jelas tidak tampil sebagai ancaman tentara kepada kekuatan politik sipil. Malah pidato itu merupakan tawaran atau imbauan pemanfaatan, mengutip Nasution, "perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita".
Perlu diketahui bahwa yang diharapkan Nasution sebenarnya sudah dipraktekkan Presiden Soekarno. Jauh sebelum pidato Nasution di Magelang, Soekarno telah melibatkan beberapa perwira militer ke dalam kabinet.
Jadi, hingga pidato "Jalan Tengah" diucapkan, yang memainkan peran dominan dalam memberikan peran politik kepada tentara secara legal sebenarnya adalah Soekarno. Legitimasi peran politik militer itu didasarkan Soekarno pada konsep kekaryaan yang dikembangkannya sebagai alternatif untuk memperkecil partai politik.
Dalam proses politik menjelang dan setelah kembalinya Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945, Nasution perlahan-lahan terkooptasi oleh Soekarno, yang telah menggunakan tentara untuk melawan partai politik. Dengan dukungan militer, Soekarno berhasil menyingkirkan partai-partai, dan untuk itu-sebagai upahnya-tentara menjadi kekuatan politik legal sebagai bagian dari Golongan Karya. Di mata Nasution, posisi baru militer tersebut tidak bertentangan dengan doktrin supremasi sipil.
Sadar akan pentingnya peran politik tentara yang legal di bawah konstitusi baru, Soekarno tidak ingin Nasution menjadi pesaingnya dalam menguasai tentara. Dengan menggunakan posisi sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Pangti), Soekarno berangsur-angsur menjadikan dirinya sebagai pemimpin tentara.
Pada Juni 1962, Soekarno sudah cukup kuat untuk menyingkirkan Nasution dari kedudukan pemimpin Angkatan Darat. Selanjutnya, sampai pensiun sebagai jenderal bintang empat, Nasution tidak pernah lagi diberi kesempatan memegang posisi komando.
Mantan Panglima Kostrad Soeharto berkuasa pada akhir Orde Lama, ketika peran politik tentara sudah sangat menonjol. Ini akibat dinamika politik yang menyisakan hanya tiga kekuatan yang berhadap-hadapan: Soekarno, TNI, dan Partai Komunis Indonesia. Ketika PKI kemudian dihancurkan tentara, Soekarno berangsur kehilangan peran. Maka tampillah tentara, selama 32 tahun, sebagai kekuatan dominan di atas pentas politik Indonesia.
Pada masa Orde Baru, Nasution tampil sebagai pengkritik dwifungsi. Yang tampaknya tidak pernah disadari Nasution adalah jauh sebelum Soeharto berkuasa, Presiden Soekarno telah mengambil alih kepemimpinan politik militer dan memanipulasinya untuk kepentingan politik Soekarno sendiri. Bentuk yang sudah dimanipulasi itulah yang diwarisi, ditafsirkan kembali, dan dimanfaatkan Soeharto untuk kepentingan dan kelanggengan kekuasaannya. ***
Oleh:
Salim SaidUntuk mengenal lebih jauh dengan penulis diatas silahkan klik namanya Salim Said
Tidak ada komentar:
Posting Komentar