Penulisan yang excellent dan
kisah yang luar biasa membuat saya menangis dikereta dalam perjalanan ke London
kota, kemarin Ahad. Saya ingin share kisah kesabaran dan kegigihan seorang
insan yang boleh saya klarifikasikan sebagai
yang layak menyandang predikat
'HAMBA' ...yang betul2 telah mengHambakan dirinya untuk Allah. Saya tidak tahu
siapa penulisnya, ini saya dapatkan dari Daarut Tauhid MAILING LIST. Selamat
membaca ~ Teteh --------
Kisah Nyata
Ditengah gemuruhnya kota,
ternyata Riyadh menyimpan bayak kisah. Kota ini menyimpan rahasia yang hanya
diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah
kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.
Ada sebuah energi yang luar biasa
dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal
banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria,
Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri.
Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya
adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.
Saya mengenalnya dengan nama
Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini. Beberapa
bulan ini saya tidak lagi melihatnya bekerja. Biasanya saya melihatnya bekerja
bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota
Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya. Hari itu Ammar tidak
terlihat. Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.
"Oh kamu tidak tahu?"
Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan
logat urdhu yang pekat.
"Iyah beberapa minggu ini
dia gak terlihat di Mushola ya?" Jawab saya.
Selepas itu, tanpa saya duga
iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar. Dia menceritakan tentang hidup
Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya
yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya
itu.
Saya mendengarkan dengan seksama.
Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar
tahun 2004 lalu. Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi
meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini.
Saudi
arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk
Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket. Sayang,
kehidupan memang tidak selamanya bersahabat. Do'a Ammar untuk mendapat kehidupan
yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul.
Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak
sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.
Meski demikian, Ammar tetap gigih
mencari pekerjaan. Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk
keluarganya di Sudan. Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin
berat... Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak
kunjung berakhir.. Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar
hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan
suasana Kota yang garang. Tapi amar tetap bertahan dalam kesabaran.
Kota
metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk
mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan
buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat
siapa saja yang tidak mampu bersaing.
Riyadh adalah ibu kota Saudi
Arabia. Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis
menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk
berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali
dalam setahun..
Amar seperti terjerat di
belantara Kota ini. Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah,
ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu
tekadnya. Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya. Ia tetap
mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar
dan haus untuk raganya disini. Sering ia melewatkan harinya dengan puasa
menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi
suap nasi untuk keluarganya di Sudan.
Tapi Ammar pun Manusia...
Ditahun kelima
ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah
lima tahun ia berpindah pindah kerjaan numpang di teman temannya tapi
kehidupannya tidak kunjung berubah. Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan.
Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang
yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya. Saat itupun sebenarnya ia tidak
memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang.
Ia memaksakan diri
menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah
satu teman baik amar memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu
tiket penerbangan ke Sudan. Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi
meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari
kehidupan di sana saja.
Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk
menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan
minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket
hanya tersedia untuk kelas executive saja. Akhirnya ia beli tiket untuk
penerbangan minggu berikutnya. Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih
murah.
Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan. Ammar
sedikit kebingungan dengan nasibnya. Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah
tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah
untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa
dengan kebiasaan itu.
Adzan dzuhur bergema..
Semua Toko Toko, Supermarket,
Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security
Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah
selesai. Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh. Ia
mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi
wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air. Lalu ia
masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu
mutawwa memulai shalat berjamaah.
Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan
kesejukan, Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga
hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui. Shalat telah selesai. Ammar masih bingung
untuk memulai langkah. Penerbangan masih seminggu lagi. Ia diam. Dilihatnya
beberapa mushaf al Qur'an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh
itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan
terus membaca al Qur'an hingga adzan Ashar tiba menyapanya. Selepas Maghrib ia
masih disana. Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana
hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.
Ammar memang telah terbiasa bangun
awal di setiap harinya. Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang
terbangun di sudut kota itu. Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil
jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa
Kota. Adzannya memang khas. Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince
(Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.
Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota
Riyadh. Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan
ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2
jam sebelumnya.
Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid,
untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak
kurang dari 30 menit dari pusat Kota. Amar sudah duduk diruang tunggu
dibandara, Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya.
Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak
sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi inilah kehidupan, ia
memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan. Ia tidak pernah ingin mencemari
kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap
berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai
Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.
Diantara lamunan kecemasannya,
ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya. Suara itu datang dari
speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi
oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya. Mereka membawa Ammar ke
mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata "Prince memanggilmu".
Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince
adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan
Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memiliki Palace atau Istana masing masing.
Keheranan dan ketakutan Ammar
baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu,
disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan
Adzan fajar yang biasa ia lantunkan. Setiap kali Ammar adzan prince selalu
bangun dan merasa terpanggil.. Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince
merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang
kenegerinya, Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda
penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk
kembali ke Negerinya.
Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.
Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan
kenapa ia tergesa pulang ke Sudan. Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima
tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap
serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.
Prince mengangguk nganguk
dan bertanya: "Berapakah gajihmu dalam satu bulan?" Amar kebingungan,
karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya
gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini. Prince
memakluminya. Beliau bertanya lagi: "Berapa gaji paling besar dalam sebulan
yang pernah kamu dapati?" Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan
hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu:
"Hanya SR 1.400", jawab Ammar. Prince langsung memerintahkan
sekretarisnya untuk menghitung uang. 1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60
bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat
itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.
Tubuh
Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya. Belum selesai bibirnya
mengucapkan Al Hamdalah, Prince yang baik itu menghampiri dan memeluknya seraya
berkata: "Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan.
Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3
bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh.
Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini" Ammar
tidak tahan lagi menahan air matanya.
Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu,
uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis
karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya
selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.
Ammar tidak usah lagi membayangkan
hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah
lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada
atau tidak. Semua berubah dalam sekejap!
Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi
Ammar. Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah. Nothing
Imposible for Allah, Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.. Bumi inipun
Milik Allah,.. Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam
Kekuasaan Nya.
Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan. Ini adalah cerita
nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup
dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah di
Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi
Arabia di pusat kota Riyadh.
Subhanallah...
Seperti itulah buah dari
kesabaran. "Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.
Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu
belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya.
Batas
kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya".
(NAI)
مَا
يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو
حَظٍّ
عَظِيمٍ
oleh
Nizma Agustjik pada 12 September 2011 jam 16:33
Catatan:
Note diatas dikirim oleh teteh Nizma ke wall di akun FB admin, yang kemudian diposting ke Blog ini.
Semoga narasi diatas dapat menggugah hati kita dalam memaknai kesabaran.
Terimakasih teh Nizma untuk kirimannya insyaAllah bermanfaat tuk pembaca.
Alhamdulillah cerita ini telah sampai kemana mana saya yakin banyak yg bisa kita ambil ..moga
BalasHapuswassalam. TETEH di London