(Catatan ini memang mengenai lebaran thn 2007, tapi mengingat kejadian yang cukup meresahkan ini kembali terulang di thn 2011, maka saya merasa perlu untuk menggali akar permasalahannya agar kita bisa secara bijak menyikapinya dan dapat sedikit berkontribusi dengan ajukan solusinya tentang bagaimana pendapat para pakar mengatasi hal ini, pada postingan berikutnya - Admin)
Lebaran di tahun 2007 atau tahun 1428 Hijriah ini lagi-lagi umat Islam di Indonesia dihadapkan pada pilihan dua hari raya Idul Fitri yang berbeda. Sebuah ormas Islam telah menetapkan sejak awal Ramadhan bahwa Idul Fitri akan jatuh pada tanggal 12 Oktober. Sedangkan pemerintah, meskipun baru akan mengumumkan setelah sidang Isbat tanggal 11 Oktober malam, namun kalender yang telah beredar telah ’terlanjur’ berwarna merah di tanggal 13 Oktober. Ketika tulisan ini dibuat, sidang Itsbat telah dilaksanakan tadi malam dan pemerintah telah mengumumkan bahwa hari raya Idul Fitri akan jatuh pada tanggal 13 Oktober 2007 (seperti yang telah diperkirakan oleh hampir semua umat Islam di Indonesia). Sebelumnya saya telah sering bersu’uzon alias berburuk sangka pada pemerintah maupun orang-orang yang selalu memutuskan lebaran setelah genap 30 hari Ramadhan atau tepat di tanggal merah kalender. Karena dari yang pernah saya baca, Rasulullah hampir tidak pernah berpuasa hingga 30 hari. Tapi setelah menemukan beberapa artikel astronomi tentang hilal saya akhirnya tahu bahwa sebenarnya memang bukannya tidak mungkin ada dua pendapat jatuhnya hari raya (antara 29 atau 30 hari Ramadhan) dan dua-duanya sama-sama memiliki landasan dalil yang kuat. Bagaimana sebenarnya yang terjadi sampai bisa lahir dua pendapat yang berbeda? Apa sih hilal itu dan apa yang dilihat para pengamat hilal sampai bisa memutuskan dua pendapat yang tidak sama?
Bulan di tahun Hijriah dihitung berdasarkan peredaran bulan terhadap bumi atau satu bulan sama dengan satu kali bulan mengelilingi bumi. Awal bulan ditandai dengan munculnya hilal atau bulan baru berbentuk bulan sabit tipis yang tiap hari akan semakin membulat hingga terjadi bulan purnama di tengah bulan. Setelah itu bulan akan kembali berbentuk sabit hingga tiba di akhir bulan yang dinamakan dengan bulan mati atau bentuk sabit yang paling tipis.
Jalur peredaran bulan mengelilingi bumi hampir sejajar dengan matahari. Sehingga suatu saat bulan bisa berada di antara bumi dan matahari atau suatu saat berada di belakang bumi yang menghadap matahari. Seperti kita ketahui, bulan purnama terjadi karena sisi bulan yang menghadap bumi mendapat sinar matahari seluruhnya. Pada saat ini posisi matahari, bumi dan bulan berurutan sehingga juga berpotensi terjadi gerhana bulan jika posisinya persis sejajar (bumi menghalangi sinar matahari ke bulan). Sedangkan bulan sabit terjadi ketika bulan berada di antara bumi dan matahari sehingga juga berpotensi gerhana matahari jika posisinya persis sejajar (bulan menghalangi cahaya matahari ke bumi). Itulah mengapa kadang kita bisa melihat bulan di siang hari, karena memang posisinya sedang berada satu langit dengan matahari kalau dipandang dari bumi. Nah, bulan baru adalah ketika posisi matahari, bulan dan bumi berada segaris (yang kalau bulan persis menghalangi matahari maka akan terjadi gerhana matahari) yang dalam astronomi disebut dengan istilah konjungsi atau ijtimak kalau dalam Islam. Atau tepatnya, konjungsi itu terjadi ketika dua benda langit tersebut (dalam hal ini bulan dan matahari) berpapasan. Jadi usia satu bulan adalah mulai dari ijtimak (bulan berpapasan dengan matahari) sampai ijtimak lagi. Namun, Ijtima itu sendiri tidak dapat dijadikan patokan penentuan bulan baru karena perbandingan ukuran piringan bulan dan piringan matahari tidak tetap. Jadi digunakan patokan lain, yaitu garis ufuk atau horizon. Yaitu setelah terjadi ijtimak, setelah matahari tenggelam, maka bulan baru akan muncul di atas ufuk (tanpa melihat berapa derajat ketinggiannya dari ufuk). Itulah hilal.
Seperti kita ketahui, bulan terbit di timur dan tenggelam di barat, sama seperti matahari. Begitu pula saat bulan bertemu matahari, bulan dan matahari juga terbit dari timur dan kemudian tenggelam di barat. Namun ternyata, bulan semakin lama semakin lebih timur dari matahari karena lebih dekat dengan bumi sehingga memiliki gerak semu ke timur yang lebih cepat dari matahari (matahari juga bergerak semu ke timur terhadap bumi). Sehingga suatu saat bulan akan menyalip (melewati atau berpapasan dengan) matahari. Yang sebelumnya bulan lebih barat maka bulan akan menyalip matahari dan menjadi lebih timur atau menjadi lebih terlambat terbit dan tenggelamnya (hingga suatu saat nanti di sekitar tanggal 14-15 hijriah bulan yg sudah jadi purnama benar-benar baru terbit setelah matahari tenggelam). Nah, sebelum bulan menyalip matahari atau sebelum terjadi konjungsi atau ijtimak, bulan disebut dengan bulan mati atau akhir bulan. Namun begitu bulan berhasil menyalip matahari dia akan menjadi bulan baru.
Pada tanggal 11 Oktober kemarin, ijtimak atau konjungsi bulan dan matahari (dan juga bumi) terjadi kira-kira pukul 12 siang di Indonesia bagian barat (WIB) atau sekitar pukul 14 WITA. Beberapa jam kemudian saat matahari tenggelam dan bulan juga sama-sama tenggelam (ketinggian hilal 0o atau bulan saat itu masih berpapasan dengan matahari) posisinya adalah persis di tengah-tengah Indonesia. Artinya, saat bulan belum mulai menyalip matahari, posisinya masih di timur Indonesia, dan ketika berhasil menyalip, mereka telah berada di barat Indonesia. Jadi ketika para pengamat hilal menantikan munculnya bulan baru saat matahari tenggelam di Yogya (termasuk bagian barat Indonesia), bulan belum lama menyalip matahari, sehingga ketinggiannya bahkan belum mencapai 1o dari ufuk/horizon (ketinggian diukur dari sudut bulan terhadap pengamat dan ufuk. Bukan jarak langsung antara ufuk dan bulan) sebelum akhirnya tenggelam. Atau dengan kata lain bulan belum jauh lebih timur dari matahari. Bahkan di Jayapura (sebelah timur Indonesia), bulan sudah keburu tenggelam lebih dulu sebelum matahari tenggelam (belum sempat menyalip matahari). Sehingga menurut salah satu kriteria rukyatul hilal (melihat hilal) yang mensyaratkan ketinggian ufuk di atas 2o maka saat itu belum dianggap terjadi bulan baru. Jadi malam hari itu pun dianggap belum memasuki 1 Syawal (menurut penanggalan Hijriah, awal hari adalah setelah matahari tenggelam alias setelah Maghrib) dan bulan Ramadhan pun menjadi genap 30 hari untuk seluruh Indonesia yang merupakan satu kesatuan hukum.
Hilal 11 Oktober 2007 di Jayapura |
Hilal 11 Oktober 2007 di Yogyakarta |
Lalu bagaimana dengan yang memutuskan 1 Syawal jatuh di hari Jumat tanggal 12 Oktober. Dan bagaimana pula di Arab Saudi seringkali lebih bisa mengatakan telah melihat bulan baru dan memutuskan lebaran lebih dulu padahal Indonesia terletak lebih timur sehingga seharusnya Arab Saudi tidak mungkin melihat bulan baru duluan. Kembali ke penjelasan sebelumnya, sebenarnya memang Indonesia telah menyaksikan bulan baru lebih dulu. Hanya saja saat matahari tenggelam, bagian barat Indonesia hanya sempat menyaksikan bulan yang baru saja menyalip matahari sebentar saja. Atau dengan kata lain, saat bulan baru saja menyalip matahari, posisinya sudah hampir tenggelam (kurang dari 1o tingginya dari ufuk). Bahkan di Jayapura yang lebih timur lagi bulan sudah keburu tenggelam duluan. Jadi malam tersebut masih dianggap belum termasuk ke dalam awal bulan berikutnya atau belum memasuki Syawal. Nah, di Arab Saudi yang lebih barat, matahari dan bulan lewat di atas langit mereka lebih telat daripada di Indonesia. Karena selisih sekitar empat jam, ijtimak atau konjungsi terjadi sekitar pukul delapan pagi. Jadi kalau di Indonesia bulan baru berhasil menyalip matahari di sore hari beberapa saat setelah matahari tenggelam, di Arab Saudi bulan sudah berhasil menyalip matahari lebih siang. Sehingga saat matahari tenggelam mereka masih bisa dengan mudah melihat hilal atau bulan baru yang masih tinggi di atas ufuk sebelum bulan tersebut akhirnya juga tenggelam. Akhirnya, mereka pun dapat menetapkan bahwa bulan baru telah muncul dan malam tersebut adalah malam 1 Syawal.
Kemudian para umat Islam di Indonesia yang biasa mengikuti Arab Saudi akan mengikuti ketetapan tersebut dan berlebaran di hari Jumat. Atau hal ini bisa juga terjadi di Idul Adha karena kita juga disunnahkan berpuasa di hari yang sama saat jamaah haji berwukuf di Arafah pada 9 Dzulhijah atau sehari sebelum hari raya Idul Adha. Selain itu, ada lagi yang dinamakan prinsip atau kriteria wujudul hilal. Kalau sebelumnya kita membahas keputusan yang didapat dari melihat (rukyat) hilal secara langsung, maka ada lagi yang menafsirkan perintah melihat yang sesuai hadist Nabi itu dengan melihat secara akal atau melalui perhitungan astronomi. Karena teknologi sekarang sudah memungkinkan untuk memperkirakan kapan hilal akan muncul, meskipun tidak nampak oleh mata atau kurang dari 3 derajat dari ufuk maka dengan prinsip wujudul hilal akan ditetapkan bahwa hilal telah nampak. Karena wujud bulan sudah berupa hilal atau bulan baru.
Jadi inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan penetapan 1 Syawal atau sebenarnya dalam setiap penetapan awal bulan di tahun Hijriyah. Selain karena masalah penglihatan yang kadang terhalang mendung, para penganut rukyatul hilal juga harus mememuhi beberapa kriteria penglihatan hilal yang di antaranya adalah jarak ketinggian bulan dari ufuk. Sedangkan untuk wujudul hilal, asalkan bulan telah berwujud bulan baru di manapun posisinya maka sudah dinyatakan sebagai bulan baru.
Dua pendapat ini sepengetahuan saya adalah hasil dari ijtihad yang sama kuatnya karena dilandasi dalil-dalil yang sama-sama shahih. Sehingga umat Islam yang telah memilih salah satu bisa dikatakan benar dan tidak berhak menyalahkan pendapat yang lain. Memang, harapannya dalam satu negara atau wilayah hukum ada satu keputusan saja. Seperti yang terjadi di Malaysia atau Arab Saudi sendiri, meskipun ada yang menyatakan melihat, tidak melihat atau menyatakan wujud, tapi tetap hanya ada satu keputusan mengenai bulan baru yang diikuti oleh seluruh umat Islam di negeri tersebut. Semoga suatu saat nanti di Indonesia pun bisa terjadi persatuan umat seperti itu.
Sumber :
http://rukyatulhilal.org/index.html
http://ananta.wordpress.com/2007/10/01/seputar-penetapan-1-syawal/
http://yulian.firdaus.or.id/2007/10/05/wujudul-hilal/
http://rinto.wordpress.com/2007/10/12/kenapa-ada-dua-hari-raya/
Dan artikel-artikel lain dalam website-website di atas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar