Tanjakan Padalarang di siang hari |
- “Bagaimana mungkin kendaraan yang mengeluarkan asap hitam pekat itu bisa lolos UJI/KIR !”
- “Bagaimana pula jika remnya tidak berfungsi dengan baik ?”
Mengingat asap yang semakin pekat hampir tak dapat ditembus lampu halogenku dan aku terlambat menututup jendela yang sejak awal tanjakan kubuka tuk hirup udara segar, maka beberapakali aku "meminta ijin" untuk mendahului dengan memainkan Dim (lampu jauh) tapi karena jarak antar tikungan cukup pendek, berkali-kali pula sang supir tak mengijinkanku tuk mendahului dengan isyarat lambaian tangannya.
Mereka para supir truk tentu orang yang kenal medan, tindakanku yang spekulatif hanya akan menimbulkan bencana dan aku tak ingin perjalananku berakhir disini.
Kuputuskan untuk menjauh dari “Big Brother” - tulisan yang tertera pada bak belakangnya - ada juga tulisan lain dengan aksara yang lebih kecil diatasnya yang setidaknya menghibur kekesalanku dan memaksaku tersenyum sendiri, “Kutunggu Jandamu” dan satu tulisan lagi dibawahnya "Roda Berputar, Dapur Lancar".
Mereka para supir truk tentu orang yang kenal medan, tindakanku yang spekulatif hanya akan menimbulkan bencana dan aku tak ingin perjalananku berakhir disini.
Kuputuskan untuk menjauh dari “Big Brother” - tulisan yang tertera pada bak belakangnya - ada juga tulisan lain dengan aksara yang lebih kecil diatasnya yang setidaknya menghibur kekesalanku dan memaksaku tersenyum sendiri, “Kutunggu Jandamu” dan satu tulisan lagi dibawahnya "Roda Berputar, Dapur Lancar".
Setelah agak lama menjauh sambil mengusir asap yang berbau solar keluar, kutekan power windows tuk menutup semua kaca samping dan ambil ancang-ancang mendahuluinya sebelum tikungan berikutnya, tiba tiba pandanganku terhalang, semua gelap! Kali ini bukan karena asap hitam tapi seperti kabut pekat.
Ya Tuhan..! aku lupa hidupkan AC, karena terbuai oleh segar dan dinginnya udara pagi pegunungan yang jarang kunikmati. Sambil menurunkan setengah bukaan kaca dan menekan switch AC, aku mengumpat kebodohanku sendiri. Rupanya suhu diluar yang jauh lebih rendah mengundang butiran embun bermain dikaca.
Lamunanku terhenti, ketika melihat traffic light didepan, ada petunjuk jalan yang besar berwana hijau melintang dengan gagah membelah jalan, aku memilih menghindari kota Bandung dan segera belokan stir ke kiri memasuki jalan Tol Padaleunyi (Padalarang-Cileunyi) yang hanya sekitar 35,6 km panjangnya dan ketika itu belum lama diresmikan . Tak lama beranjak, di depan sudah terlihat gerbang (pembayaran) Tol. Kulirik jam digital pada dash-board menunjukan angka 4. Itu berarti 2 jam sudah menyusuri jalan sunyi, Tol Jagorawi-Ciawi-Puncak-Cianjur-Padalarang
“Hampir subuh”, kataku bergumam, sambil mengurangi kecepatan masuki gerbang tol Padaleunyi yang dibangun Desember 1987 – 30 April 1992 itu.
Gerbang Tol Padalarang di siang hari. |
Tidak biasa...? Ya..., bukankah shift malam biasanya untuk laki-laki? Ooh... mungkin ini bagian dari ‘promosi’ untuk Tol yang baru beroperasi, entahlah...
Kulihat spion tengah, ternyata tak ada kendaraan lain selain aku dan sebuah sedan polisi yang siaga diparkir bersebelahan dengan pos/kantor Jasa Marga.
“Amaan....”, pikiran usilku muncul.
Diusiaku yang lebih dari seperempat abad ketika itu dan belum juga punya “gandengan” rasanya perasaan itu wajar dan normal saja. Yaah.... namanya juga usaha.
“Selamat Pagi pak....”, sapa si Neneng ramah tapi cukup membelah sunyi, namanya memang tertera jelas diatas saku bajunya. Tapi rasanya kelembutan suara dan keramahan senyum Neneng agak “ternoda” karena dia memanggilku dengan sebutan “Pak”.
“Pagi Neng...” Jawabku datar terganjal kecewa.
“Ada uang pas, pak...?”, tanyanya masih dengan senyum manisnya.
Hadeeuuh..... “Pak” itu lagi yang kudengar. Kalau saja kau sapa aku dengan panggilan Bang, Mas atau Kak apalagi Aa, bukan cuma ‘uang pas’ bahkan ‘uang tidak pas’ plus kartu namapun akan rela kuberikan. Apakah hanya itu yang diajarkan ‘bos’mu...., jika pria kau panggil “Pak” dan wanita kau panggil “Bu”. Protes itu cuma kupendam dalam hati karena mungkin menurut Neneng seharusnya aku sudah menjadi bapak.
“Sebentar saya cari,” jawabku singkat.
Disini usilku berperan. Sebenarnya, bukan uang pas yang ku cari, sengaja aku malah mencari nominal terbesar agar dia sibuk menghitung kembaliaannya. Sementara aku bisa agak berlama-lama menatap wajah manisnya, sambail memasang jerat asmara.
“Maaf Neng, semuanya seperti ini...,” kataku agak jaim sambil sodorkan 100 ribuan padahal hanya tersisa beberapa lembar saja di dompet.
Dia hanya tersenyum menerima uang itu sebaliknya aku malah cemberut, maksud hati “memamerkan” uang licin berbahan plastik (polimer) itu dengan membeberkannya lebar-lebar, apa daya uang itu pula yang menghalangi kehalusan jemarinya dari tanganku.
Aku kagum dengan keterampilannya bekerja, jemarinya sibuk menari diatas keyboard, matanya menatatap tajam ke arah monitor sementara mulutnya terus berbicara sambil sesekali melirik kearahku, mungkin sekedar memastikan kalau aku masih ada. Ia pasti berbicara padaku karena tak ada orang lain disitu. Tapi sepertinya aku terlalu khusyu’ menatapnya hingga tak mendengar apapun karena mata dan hatiku sibuk menelusuri inci demi inci paras manis mojang Priangan ini. Selama dia bicara aku hanya menangkap 2 kata: jurang dan truk. Maka ketika ia sodorkan kembalian dan karcis sambil mengatakan,
“Terima Kasih Pak..., selamat jalan”.
Aku malah balik bertanya, “maaf Neng..., tadi Neng ada sebut jurang dan truk. Ada apa ya..?"
Kali ini si Neng yang melongo, bingung dan pasti kesal, matanya membulat, bibirnya terkatup rapat. Sumpah... pasti bukan karena terpesona melihat ketampananku (itu fitnah). Dia pasti kecewa merasa diacuhkan, kalau saja boleh marah dia pasti teriak, “Woooii.... dari tadi gue nyerocos, kemane aje loe!”
“Pak...., tadi saya bilang ada kecelakaan, truk yang masuk jurang” katanya tetap berusaha ramah.
Oh ya...., timpalku sekenanya sambil pura-pura sibuk memasukan kembalian kedalam dompet, karena merasa tak enak hati. Tak kulanjutkan tanyaku yang masih banyak tersimpan, dimana? sudah dievakuasi belum?, ada korban apa tidak?, dll.
“Mari Neng....,” aku pamit sambil sambil bersodaqoh dengan senyum. Ku injak gas perlahan tapi Corolla merah marunku tetap enggan beranjak, kulihat lampu indikator brake pada panel masih menyala merah tanda rem tangan belum dilepas. Hahaa.. bukan cuma tuanmu, rupanya engkaupun betah berlama-lama disini kali ini kulimpahkan kesalahanku padanya. Berjalan perlahan, kututup rapat kaca samping, menutup malu.
Acara pernikahan kerabat di sebuah desa yang berjarak 300-an km dari tempatku itu memang baru di mulai pkl. 10:00 pagi, tapi targetku adalah 4 jam diperjalanan dan 4 jam untuk istirahat melepas penat, sebelum prosesi akad nikah
Jalan tol Padalenyi di siang hari |
Sengaja alunan musik yang agak nge-beat kuputar sekedar melepas rasa jenuh, adapun rasa kantukku sudah hilang di usir senyum si mojang geulis tadi. Mengemudi seorang diri memang menjemukan, apalagi menyusuri jalan tol yang sepi menjelang subuh seperti ini.
Jarum pada speedometer hampir menunjukan angka 120 km/jam. Upss... rupanya hentakan musik ini, tanpa sadar turut menghentak kaki hingga menekan pedal gas agak dalam. Jalan dengan aspal hot-mix yang mulus ini sepertinya disediakan khusus untukku, hanya ada satu dua mobil yang melintas di seberang jalur berlawanan yang menuju Jakarta, sedang pada lajurku tak terlihat ada teman, baik di depan atau dibelakang. Lajur kiri masih terlihat basah bekas guyuran hujan, kecepatan seperti ini pasti lebih cepat menuntunku kearah Rumah Sakit.
Kepingan CD kuganti, kali ini mas Ebiet yang mengusik rasaku.
“Perjalanan ini... terasa sangat menyedihkan..... Sayang engkau tak duduk disampingku kawan....”
Yah... “Berita Kepada Kawan” dan berita yang kudapat dari si Neng tadi rupanya ampuh meredam kecepatan menjadi 80 km/jam, cukuplah...
Tak sampai setengah jam aku sudah berada dipintu keluar Tol dekat perempatan Cileunyi. Aku agak menyesal tak menanyakan dimana TKP kecelakaan itu. Kalau ada di arah Cadas Pangeran, aku akan menghindar dengan berbelok ke kanan mengambil jalur Nagrek ke arah Malangbong berputar ke arah Sumedang karena desa yang kumaksud berada diantara keduanya, begitu sebaliknya. Akhirnya kuputuskan tuk lurus ke arah Cadas Pangeran, selain jarak yang lebih singkat, pemandangan yang indah, udara yang sejuk akupun beberapa kali melewati jalur ini disiang hari. Aku merasa akrab dengan jalur ini.
(Cadas Pangeran adalah nama suatu tempat, kira-kira enam kilometer sebelah barat daya kota Sumedang, yang dilalui jalan raya Bandung—Cirebon. Pemberian nama ini terkait dengan pembangunan Jalan Raya Pos Daendels [Anyer-Panarukan] yang melintasi daerah ini. Karena medan yang berbatu cadas, lima ribuan jiwa pekerja kehilangan nyawanya. Hal ini membuat marah penguasa Kabupaten Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX (1791-1828) yang lebih populer dengan sebutan Pangeran Kornel, dan ia memprotes Daendels atas kesemena-menaan dalam pembangunan jalan itu. Lalu terjadilah peristiwa Pangeran Kusumah Dinata bersalaman dengan tangan kiri menyambut tangan kanan Marsekal Daendels, sementara tangan kanan siap menghunus keris; seperti tergambarkan pada patung di Ciherang yang menghiasi jalan raya Bandung – Sumedang memasuki segmen Cadas Pangeran.)
“Jalur Maut” begitu julukannya ketika itu, jalan yang sempit dengan tebing batu (Cadas) yang tinggi disatu sisi, dan jurang yang dalam disisi lain dengan banyak tikungan yang “nyaris patah” lebih dari 90 derajat.
Pada siang hari, jika kita menoleh kesisi jurang, hanya ujung pohon tinggi yang terlihat jauh dari jalan entah berapa puluh meter kedalamannya. Sehingga jika ada dua kendaraan besar berpapasan, maka yg berada disisi tebing harus berhenti mengalah dan merapat mampersilahkan kendaraan lain disisi jurang untuk melaju. Pada tanjakan tertentu tak jarang sang kenek harus berlari mengikuti laju mobilnya sambil membawa ganjal dari balok yang besar. Pada waktu itu untuk kendaraan besar, memang tak ada alternatif tersingkat lain untuk Bandung – Sumedang selain melewati jalur ini.
Sayup-sayup kumandang adzan subuh terdengar.... masih sangat sepi jama’ah shalat subuh di masjid yang terletak dipinggir jalan itu. Padahal ada puluhan tempat kost mahasiswa disekitar situ, mengingat letaknya yang relatif dekat dengan salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia milik Dept. Dalam Negeri, yang kerap diberitakan miring karena kesadisan mahasiswa seniornya.
“Baru ya dek, mampir di mesjid ini,” tanya seseorang sambil menepuk pundakku ketika berjalan kearah pintu keluar masjid, ba’da shalat subuh.
Ketika menoleh, aku mengenalinya sebagai imam yang tadi memimpin shalat sekitar 20-an jamaah itu. Bacaannya tartil, tajwidnya tepat, makhrojnya pas. Setidaknya pantas kalau para jamaah yang menyalaminya tadi memanggilnya ustadz. Belum sempat menjawab sapanya, disusul lagi pertanyaan kedua,
“Mau ke arah Sumedang atau ke Jakarta nih”?, dengan logat Sundanya yang medok.
Tadi, pada waktu kubelokan mobilku ke pelataran parkir di depan masjid, sang ustadz memang belum hadir, sehingga ia tak tau dari arah mana aku datang.
“Eeh.. iya ustadz, saya mau ke arah Sumedang,”, jawabku agak gugup diberondong pertanyaan seperti itu.
“Kelihatannya buru-buru ya...?”
“Aah.. nggak juga tadz.”
“Sumedangnya dimana?”
“Di satu desa sebelah tenggara Sumedang yang berbatasan dengan Majalengka.”
“Ooo... paling tinggal satu setengah jam lagi dari sini, kalau nggak buru-buru kita ngobrol aja dulu disini... baru juga jam 5”
Aku cuma mengangguk dan kamipun duduk diberanda mesjid beralas hambal warna hijau.
“Rumah saya yang itu...,” katanya memulai percakapan.
Ooo... ternyata cuma terhalang satu rumah dari mesjid, kataku dalam hati.
“Sebentar saya mau minta bikinin kopi sama gorengan dulu yaa... biar seger “ katanya sambil beranjak.
“Ga usah repot-repot, ustadz”, jawabku basa-basi. Padahal dalam hati bilang “agak cepat ya, Ustadz...”
Langkahnya masih tegap, wajah lumayan ganteng usianya pasti belum sampai 50 thn-an. Begitu ramah, baik dan santunnya ustadz ini. Kalau saja ia punya anak gadis, pasti iapun cantik pintar dan ramah seperti ayahnya, mudah-mudahan nanti yang menyajikan kopi itu anak gadisnya. Tak perlulah bersolek, karena kata ayahku, “kalau kamu mau melihat wajah asli seorang gadis, lihatlah pada waktu dia baru bangun tidur”. Hehehee.... aku senyum-senyum sendiri mengingat nasehat itu, gadis mana yang mau menampakan diri pada saat itu, kecuali ada kebakaran.
Satu lagi nasehat ayahku yang kuingat, “kalau mau dapat gadis yang sholehah, carilah ditempat yang baik dimesjid, pesantren misalnya jangan dibioskop apalagi diskotiq. ”Hmm.... gimana kalau di gerbang Tol, ayah.....?” hehee... lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri. Rupanya udara dingin ini membawa lamunanku pergi kemana-mana, “ngelantur” istilahnya.
Tapi ada satu nasehat ayahku yang tak pernah kulupa sampai saat ini tentang “strategi menjerat gadis” Ssttt... itu cuma istilahku. “kalau kamu benar-benar ingin dapat wanita yang baik, maka perbaiki dulu dirimu, sebab Allah hanya akan memasangkan laki-laki yang baik/shaleh dengan perempuan yang baik/shalehah.”
Kadang aku merenung agak lama memahami nasehat demi nasehat beliau, yang rupanya tak sabar ingin segera mendapat cucu dariku, entah mengingat usiaku atau karena aku “dilangkahi” dua orang adikku yang telah memberinya 2 orang cucu.
“Maaf..., kelamaan ya dek?”, suara itu datang dari arah depanku. Tidak keras tapi cukup mengejutkanku yang sedang bercengkrama dengan lamunan. Kecewa..., ternyata pak ustadz sendiri yang membawa baki berisi dua gelas kopi dan sepiring gorengan.
“Oh.. nggak kok tadz, maaf nih... saya jadi merepotkan.”, lagi-lagi jawaban klise, karena hatiku sebenarnya mengharap hidangan itu bahkan dibenakku terpikir, kenapa bukan anak gadis ustadz aja yang disuruh.
“Kemarin putri saya yang kuliah di Unpad pulang...” katanya sambil duduk. “Horee.... hatiku bersorak suka cita” ternyata dugaanku benar, ustadz ini punya seorang putri. Kopi dan gorengan yang tadinya siap ku sikat, kulirikpun tidak. Aku pura-pura tenang menyimak meski jantungku gegap gempita. .
“Silahkan diminum dulu kopinya dek...,” katanya mempersilahkan, sambil melanjutkan, “nah putri saya ini kebetulan suka masak..., termasuk gorengan ini dia yang bikin.”
Aku hampir berbarengan mengangkat gelas kopi itu, tapi aku urungkan dan ganti dengan mencomot comro (panganan terbuat dari singkong yang dihaluskan dan isi oncom didalamnya sebelum digoreng) demi mendengar bahwa putrinyalah yang buat. Aku membayangkan tangan halusnya pada comro.
“Kopinya masih panas tadz, saya coba gorengannya aja dulu.” Kataku berkilah karena ingin segera mencoba gorengan buatan si cantik... tak tahu laah.. dibenakku mojang inipun tak jauh parasnya dari Neneng dan mungkin berjilbab. Ups..... hampir saja comro itu kulepas, ternyata lebih panas dari kopi !
Pak ustadz cuma senyum melihat aku yang dibuat repot oleh comro. Agar tak kelihatan terlalu menggebu hasrat tuk tahu tentang putrinya, aku memperkenalkan diri adapun namanya aku sudah tau jama'ah memanggilnya ust. Rahmat setelah berdiskusi tentang beberapa hal baru kemudian kulontarkan pertanyaan sederhana tapi menjurus.
“Emang dah semester berapa sekarang si Eneng tadz?” (Eneng/Neng=Nduk dlm bhs. Jawa)
“Dia baru semester IV, namanya Zahratunnisa..., teman-teman kampus memanggilnya Nisa tapi kalau dirumah biasa dipanggil Zahra atau neng Rara”, anaknya agak pemalu dan manja, ustadz terus melanjutkan celotehnya tapi seperti biasa aku justru sibuk menghitung berapa lama lagi neng Rara siap disunting. Kuperkirakan saja dia ambil S1 maka dengan PPL dan Skripsi setidaknya 2-3 tahun lagi dia sarjana.
Waduuh kelamaan dong nunggunya kata hatiku sedikit kecewa, padahal belum tentu ortu atau si comro eeh.. si Raranya setuju. Hehehee.... akupun tak mengerti padahal belum pernah melihat bunga itu tapi semerbak wanginya seakan-akan menghampiriku. Biarlah tak kudapat cintamu, setidaknya aku telah meluluh-lantakan comromu. Oh..... dasar jomblo eeh.... cinta.
Kembali aku jaim, pura-pura kualihkan pembicaraan pada warning si Neneng tadi.
“Apa ustadz dengar tentang kecelakaan truk yang masuk jurang”? kataku setengah hati. Karena sebenarnya aku masih ingin menggali lebih dalam lagi tentang Rara. Itu pula sebabnya pandanganku sesekali kutujukan pada pintu depan rumahnya. Semoga saja ada bunga yang keluar dari balik pintu.
“Oh ya... emang beritanya sudah sampai Jakarta yaa..? kejadiannya baru kemarin, ditanjakan yang paling terjal di Cadas Pangeran. Saya baru saja pulang mengajar dekat Masjid Agung (Sumedang) kira-kira jam 4-an lah. Biasanya ngga pernah macet seperti itu. Tapi karena saya bawa motor yaa.. bisalah selap-selip. Saya penasaran, kebetulan petugas polisi yang juga murid saya ada disitu.
"Assalamu'alaikum..., ada apa Dan...?” (Dan maksudnya Komandan.)
"Wa'alaikumsalam.., ada truk yang masuk jurang tadz.”
“Kapan kejadiannya?”
“Persisnya belum ada yang tahu, mereka rombongan 3 truk dari Medan ke Cirebon. Kemudian bongkar muat barang disana dan langsung menuju Bandung. Dari Cirebon memang tidak berbarengan, tapi mereka berjanji tuk berkumpul lagi di Tanjung Sari. Nah.. kedua temannya ini sudah berkumpul disana sejak jam 7 pagi. Merekapun heran kenapa si korban yang jalan duluan ini belum sampai, mereka tunggu sampai jam 12 siang tadi. Nah singkat cerita ditemukanlah jejak roda yang mengarah ke jurang di ujung tanjakan ini. Melihat TKPnya mobil ini bergerak mundur. Mungkin tidak kuat menanjak.
“Korban sudah dievakuasi”?
“Pengemudi sudah ditemukan tewas terjepit, dan sudah di evakuasi. Hanya saja, menurut rekan-rekannya, dia berdua dengan kernet/kenek. Dia yang masih kita cari, apakah dia keluar menyiapkan ganjal ketika menanjak, lalu kabur ketika truk ini mundur tak tertahankan dan jatuh kejurang, atau dia tetap berada didalam truk dan terpental keluar, sebab posisi truk tertahan 2 pohon besar”
“Kenapa supirnya tak berusaha keluar ketika truknya mundur Dan”?
“Dari jejak roda belakang yg merapat ke pohon besar dipinggir jalan itu, sepertinya si supir sudah berusaha membenturkan bak belakangnya ke pohon tadi agar laju truk tertahan. Tapi sepertinya dia juga berusaha mengerem sehingga pada posisi seperti itu dan dengan muatan seberat itu, maka roda depan agak terangkat dan lepas kendali, hingga mobil tidak berbelok mengarah ke pohon tapi melaju lurus kejurang.”
“Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun... semoga keluarganya tabah mendengar musibah ini”
“Oh yaa ustadz, bicara soal keluarganya, ada hal yang membuat saya terharu dan sempat meneteskan air mata. Pada waktu korban ditemukan, dia masih menggenggam kertas yang kelihatannya belum lama dia tulis. “ Polisi itu terdiam sejenak menahan haru, kemudian melanjutkan.
“Rupanya korban tidak langsung tewas pada saat itu juga, ia masih sempat menulis wasiat berupa pesan untuk istrinya, awalnya saya juga bingung bagaimana dia bisa menemukan kertas dan pena tuk menulis, ternyata itu dia dapatkan dari bekas wadah sarung yang berisi surat-surat kendaraan lengkap yang dia ikat pada penghalang cahaya diatas kepalanya” (kelengkapan yang ada dipojok kanan atas setiap kendaraan, yang bisa dilipat/diputar dan berguna untuk mereduksi cahaya matahari yang mengarah langsung ke mata pengemudi).
“Dan, karena saya bukan petugas saya mungkin tak boleh tahu apa isi surat yang membuat komandan menitikkan air mata, apakah bisa diceritakan kembali apa poin dari isi pesan surat itu?”
“Ustadz... tak ada yang rahasia saya kira dari isinya malahan bagus untuk kita, surat itu sudah saya titipkan pada teman satu kampungnya sesama supir agar disampaikan pada istrinya, tuuh... teman-temannya sedang duduk warung itu, mari saya antar.”
Kami berdua menuju tempat yang ditunjuk itu. “Boleh kami pinjam sebentar surat itu...?”, sapa petugas pada teman korban.
“Silahkan pak, saya punya banyak teman pengemudi yang meninggal karena kecelakaan dijalan, saya sedih tapi tak pernah meneteskan air mata seperti sekarang ini.” Kata teman korban sambil serahkan surat itu ke saya.
Cadas Pangeran ketika longsor (sebelum pelebaran jalan) |
Aku yang sudah tak sabar, terpaksa memotong cerita ustadz. “Apakah ustadz masih ingat isi pesan dari surat yang ustadz baca kemarin itu?”
“Suratnya cukup panjang, secara persisnya tentu saya tidak hafal tapi poinnya saya ingat. Tapi jangan khawatir, kemarin saya ijin kepada petugas untuk meng’copy’ surat itu yaa... untuk kebutuhan dakwah saya jugalah...” kata ustadz tersenyum.
Aku tak tahu harus gembira atau terharu mendengarnya. Yang jelas aku tersentak kaget bercampur senang ketika, ustadz memanggil seseorang.
“Neeeng....!”
“Raraaaa..... !” (belum ada jawaban)
“Zahraaaa... !” teriak ustadz agak keras
“Iya abaah..., maaf tadi Rara di dapur” jawab suara dari dalam rumah lembut.
Aku yang sedari tadi miris dan tegang mendengar cerita ustadz, menjadi plooong, lega, kembali relax rasanya seluruh persendian ini. Sepertinya aku baru saja diurut selama dua jam.
“Tolong bawa surat foto copy-an yang kemaren neng....,” kata ustadz dengan suara yang tidak lagi keras. Sementara aku bersiap-siap dengan kejutan selanjutnya, menatap wajahnya.
“Saya biasanya ngobrol pake bahasa sunda sama Rara, tapi kalau ada tamu yang kurang faham bhs. Sunda, yaa pake bahasa Indonesia saja.” begitu kata ustadz sambil menunggu. Sebelumnya aku memang bilang kalau aku kurang faham bhs. Sunda.
“Yang ini abah...”, kata suara lembut dan manja yang baru saja muncul di depan pintu, sambil menunjukan secarik kertas yang sedikit menghalangi wajahnya..
Aku tidak tertarik dengan kertas yang diacungkannya meski kertas itu yang dari tadi kutunggu, justru risau kenapa kertas itu menghalangi sebahagian wajahnya... dia berjilbab putih dengan gamis biru atau ungu belum jelas.
“Yaa betul.... bawa kesini neng..,”
Hahaaii.... ustadz tau aja apa mauku. Rara berjalan pelan ke arah abahnya dan kertas itupun tak lagi menutupi wajahnya...Subhanallah.... sulit kugambarkan kecantikannya kalau si Neneng tadi nilainya 7, maka yang ini mungkin 8. (Kalau sekarang..., wajahnya itu mirip sekali dengan artis Meyda Sefira pemeran Husna di film KCB.)
Kali ini nasehat ayahku terbukti..”kalau cari pendamping yang shalehah maka carilah di mesjid jangan di bioskop” sayangnya aku memahami nasehatnya secara tekstual ‘apa-adanya’, sehingga aku sering berargumen dengan canda ‘disana ngga ada wanita yang kudamba yang ada ibu-ibu pengajian plus nenek-nenek yang sudah bau tanah.’ Biasanya ayahku cuma tersenyum menanggapinya.
“Ini abah..., “ tiba-tiba neng Rara sudah berdiri di dekatku kemudian diduduk bersimpuh disebelah abahnya.
Kali ini aku benar-benar mati kutu.., abahnya duduk tepat berhadapan denganku bagaimana mungkin aku menatap nakal putrinya yang super geulis ini. Sesekali aku memang berusaha curi pandang mojang yang "hobby" menunduk ini sambil kuingat-ingat lagi pesan ayah, kalau mau lihat wajah asli wanita, lihatlah ketika ia baru bangun tidur (maksudnya sebelum bersolek). Si Rara yang bersimpuh disebelah abahnya dan menghadap kearahku ini nampak baru terkena air wudhu saja, tak ada polesan apapun diwajahnya, benar-benar natural. Kalau dalam kondisi seperti ini saja sudah mampu meruntuhkan hatiku entah bagaimana kalau dia sudah berdandan, rontok mungkin jantungku.
“Kenalkan ini kak Ahmad dari Jakarta”, kata ustadz ramah, menghalau lamunanku
Terus terang aku ragu di tempatku untuk kenalan yaa.. biasa saja berjabat tangan, tapi inikan didepan ustadz yang juga abahnya, ditambah lagi adat sunda biasanya sekedar merapatkan telapak tangan dan mendekatkannya saja tanpa sentuhan bagi yang bukan muhrim.
Lalu yang mana yang biasa berlaku disini?
Kulihat neng Rara merapatkan kedua telapak tangannya dan dengan sigap akupun mengikutinya tangan kamipun berdekatan mungkin kurang dari 2 cm jaraknya “Zahratunnisa”, katanya pelan.
Kupikir toh dia sudah tau namaku, maka aku cuma pasang senyum sambil bergumam “ustadz please..... salaman biasa aja deh...”
“Kamu mau bacain ceritanya disini neng...,” tanya abah
“Iyalah.... neng aja deh yang baca... ,” aku menimpali sok akrab.
“Ngga ah.. Rara malu takut nangis disini” jawabnya manja.
"Tapi emang semalam Rara nangiskan waktu habis baca ini?" kata si abah menggoda putrinya
Entah pantulan cahaya mentari yang mulai muncul atau memang dia malu digoda abahnya, kulihat wajahnya merona...dihias sungging senyumnya.. Oooh... rasanya pemandangan Sun Rise di gunung Bromo pun tak seindah ini. Mungkin takut digoda lagi Rara segera beranjak pamit:
Kulihat neng Rara merapatkan kedua telapak tangannya dan dengan sigap akupun mengikutinya tangan kamipun berdekatan mungkin kurang dari 2 cm jaraknya “Zahratunnisa”, katanya pelan.
Kupikir toh dia sudah tau namaku, maka aku cuma pasang senyum sambil bergumam “ustadz please..... salaman biasa aja deh...”
“Kamu mau bacain ceritanya disini neng...,” tanya abah
“Iyalah.... neng aja deh yang baca... ,” aku menimpali sok akrab.
“Ngga ah.. Rara malu takut nangis disini” jawabnya manja.
"Tapi emang semalam Rara nangiskan waktu habis baca ini?" kata si abah menggoda putrinya
Entah pantulan cahaya mentari yang mulai muncul atau memang dia malu digoda abahnya, kulihat wajahnya merona...dihias sungging senyumnya.. Oooh... rasanya pemandangan Sun Rise di gunung Bromo pun tak seindah ini. Mungkin takut digoda lagi Rara segera beranjak pamit:
“Abah..., kak..., Rara masuk dulu yaa... temenin umi masak”
“Manggaa... neng...,” jawabku sambil mengiringi langkahnya dengan kerling mataku, sementara abahnya cuma mengangguk.
“Silahkan kalau mau dibaca dek, biar saya bereskan ini dulu” kata ustadz sambil mengangkat gelas kopi yang kosong sementara dipiring yang masih tersisa 2 comro, tak diangkatnya. Aduh ustadz kenapa nggak Rara aja yang beresin tadi sekalian kata hatiku. Rupanya itu cuma alasan saja agar ustadz tidak mengganggu kekhusyukanku membaca.
Kuharap dua comro tersisa buatan Rara ini cukup memupus bayangan wajahnya yang bermain diatas kertas yang akan kubaca. Akupun membalikan badan ke arah kiblat karena khawatir Rara mengintip dan melihatku menitikkan air mata.
Bismillahirrahmanirrahim....
Akupun mulai serius membaca dan merasakan jika aku yang jadi supir truk itu dalam kondisi kaki yang remuk terjepit, darah bercucuran dan sakit tak terperi. Tak ada orang yang tahu apalagi berusaha menolong. Sementara tangan berusaha menggapai kertas dan pena demi pesan terakhir yang akan dia kirim pada istri tercintanya yang beribu km jaraknya.
Betapa dalam dan agung cinta yang dapat mengalahkan semua rasa sakit itu.
Inilah isi surat itu:
Tak ada orang yang ingin menulis surat dalam kondisi seperti ini, tapi aku cukup beruntung memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang sering lupa kukatakan. Aku mencintaimu sayang...
Kamu sering berkelakar bahwa aku lebih mencintai truk dari pada kamu karena aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Aku memang mencintai mesin ini – ia baik padaku. Ia menemaniku dalam masa yang sulit di tempat yang sulit. Aku selalu dapat mengandalkannya dalam perjalanan panjang dan ia dapat melaju cepat. Ia tak pernah mengecewakanku.
Tapi tahu tidak? Aku mencintaimu karena alasan yang sama. Kamu juga selalu menemaniku diwaktu yang sulit di tempat yang sulit.
Ingat truk kita yang pertama? Truk rongsokan yang selalu membuat kita bangkrut. Tapi selalu mengumpulkan cukup uang untuk kita makan. Kamu harus mencari pekerjaan supaya kita dapat bayar sewa rumah dan bon tagihan warung. Setiap rupiah yang kuhasilkan dipakai untuk truk, sementara uangmu memberi kita makanan dan atap untuk bernaung.
Aku ingat, aku pernah mengeluhkan truk itu. Tapi aku tak pernah mendengarmu mengeluh waktu pulang kerja dengan lelah. Aku bahkan meminta uang darimu untuk pergi lagi. Seandainyapun kamu mengeluh, mungkin aku tak mendengarnya. Aku terlalu terlena oleh masalahku sendiri sehingga tak pernah memikirkan masalahmu.
Aku memikirkannya sekarang, semua yang kau korbankan untukku, pakaian, liburan, teman, keluarga. Kamu tak pernah mengeluh dan entah bagaimana aku tak pernah ingat untuk berterima kasih padamu untuk semua pengorbanan itu.
Saat aku duduk minum kopi bersama teman-teman, aku selalu membicarakan trukku, kendaraanku, pembayaranku. Rupanya aku lupa bahwa kamu adalah mitraku meskipun kamu tak berada bersamaku.
Pengorbanan dan keteguhan hati darimu dan dariku jugalah yang akhirnya membelikan kita truk baru. Aku begitu bangga dengan truk itu hingga rasanya ingin meledak. Aku bangga akan dirimu juga, tapi aku tak pernah mengatakannya. Aku menganggap kamu pasti sudah tahu, ketika aku lupa mengatakannya. Bertahun-tahun selama aku mendera aspal, aku selalu tahu do’amu mengiringiku. Tapi kali ini do’a itu tidaklah cukup. Aku cedera parah sayaaang....
Ini perjalananku yang terakhir dan aku ingin mengatakan semua yang harusnya kukatakan sebelumnya. Hal yang terlupakan karena aku terlalu sibuk dengan truk dan pekerjaan. Aku memikirkan ulang tahunmu dan ulang tahun pernikahan kita yang terlupakan. Acara anak kita disekolah dan undangan resepsi teman yang kau hadiri sendirian karena aku sedang di jalanan. Aku memikirkan malam-malam sepi yang kau lewatkan seorang diri, bertanya-tanya dimana aku berada dan bagaimana keadaanku. Aku memikirkan semua saat aku ingin meneleponmu sekedar menyapa, tapi tak pernah jadi.
Aku memikirkan perasaan ku yang damai karena tahu kamu berada dirumah bersama anak-anak menungguku. Tiap kali ada acara keluarga, kau selalu harus menghabiskan seluruh waktumu untuk menjelaskan kepada keluargamu mengapa aku tak dapat hadir. Aku sibuk mengganti oli, aku sibuk mencari onderdil, aku sedang tidur karena harus berangkat pagi esoknya.
Selalu ada alasan, tapi rasanya alasan itu sekarang menjadi tidak penting.
Waktu kita menikah, kamu tak tahu cara mengganti lampu, tapi setelah beberapa tahun kamu malah tahu bagaimana cara memperbaiki genteng, sementara aku dipelabuhan menunggu muatan. Kamu menjadi montir yang cukup baik, membantuku memperbaiki kerusakan. Dan aku bangga sekali akan dirimu saat aku masuk kehalaman dan melihatmu tidur dimobil menungguku.
Apakah itu jam dua pagi atau jam dua siang kamu selalu kelihatan seperti seorang artis bagiku, kamu cantik sekali. Mungkin aku tak mengatakannya akhir-akhir ini tapi kamu memang cantik. Aku banyak berbuat kesalahan dalam hidupku, satu-satunya keputusan terbaik dalam hidupku adalah ketika aku memutuskan tuk melamarmu.
Kamu tak akan bisa mengerti apa yang menyebabkan aku terus mengemudikan truk, sebenarnya aku juga tak mengerti. Tapi itulah cara hidupku.
Masa susah, masa senang kamu selalu ada, aku mencintaimu sayang.... dan aku mencintai anak-anak. Tubuhku sakit..... tapi hatiku jaaaauhh.. lebih sakit karena kamu tak hadir saat aku mengakhiri perjalanan ini.
Untuk pertama kalinya sejak kita bersama, aku benar-benar sendirian.... dan aku takut.......
Aku sangat membutuhkanmu dan aku tahu sudah terlambat.
Lucu juga yaa..ternyata yang bersamaku mengakhiri perjalanan hidupku sekarang adalah truk ini.
Truk terkutuk ini yang mengatur hidup kita begitu lama ternyata truk ini tak dapat membalas cintaku.
Hanya kamu yang bisa.... kamu beribu km jauhnya, tapi aku merasakan dirimu bersamaku disini maniiis..
Aku dapat melihat wajahmu dan merasakan cintamu...
dan aku takut melakukan perjalanan terakhir ini sendirian.....
katakanlah pada anak-anak bahwa aku sangat mencintai mereka
dan jangan ijinkan mereka bekerja sebagai supir truk.
Mungkin cuma ini bidadariku.....
Ya Tuhan..... aku benar-benar mencintainya...
Jagalah dirimu dan ingatlah selalu bahwa aku mencintaimu melebihi segala yang ada dalam hidupku.
Aku cuma lupa mengatakannya..... maafkan aku sayaaang.......
Tuhan.... ampuni aku... jaga keselamatannya untukku.... biarkan kami bertemu disurga-Mu
Aku.... yang begitu mencintaimu.
=======================================================================
Cahaya matahari mulai berjalan merambat di karpet hijau mendekatiku,
seolah ingin mengintip apakah aku dapat merasakan kesedihan yang sama.
Aku memang belum berkeluarga tapi ketika kubayangkan bahwa supir itu adalah aku
dan Rara beserta anak-anak dengan setia menungguku nun jauh disana....
tak bisa kubendung airmata ini.
Rara... kalaupun kita ditakdirkan bersama, bisakah aku memiliki cinta seagung itu?
cinta yang mengalahkan derita,
cinta yang mengalahkan rasa sakit tak terperi.
cinta yang masih terkait meski ajal datang menjemput,
cinta yang tak pernah terucap tapi tertancap jauh dilubuk hati.
Ku akui Rara, cintaku baru sebatas kata entah cinta macam apa yang ku punya.
Begitu cepat ia hadir secepat ia pergi.
Seperti nasehat ayahku, sebaiknya aku memantaskan diri dulu untukmu,
agar Allah memilihku untuk mendampingimu kelak.
Yaa Rabb.... aku akan belajar mencintai-Mu dengan tulus.
Sehingga Kau ijinkan aku... miliki cinta yang agung
yang kan kuberikan pada siapapun pendampingku
termasuk jika Kau pilihkan Rara untukku.
Terima kasih abang supir truk...
aku telah belajar banyak darimu, aku janji kan mampir ditempat perjalanan akhirmu nanti,
dan berdo'a untuk mu disana.
Jakarta, 161111
AS
Waktu kita menikah, kamu tak tahu cara mengganti lampu, tapi setelah beberapa tahun kamu malah tahu bagaimana cara memperbaiki genteng, sementara aku dipelabuhan menunggu muatan. Kamu menjadi montir yang cukup baik, membantuku memperbaiki kerusakan. Dan aku bangga sekali akan dirimu saat aku masuk kehalaman dan melihatmu tidur dimobil menungguku.
Apakah itu jam dua pagi atau jam dua siang kamu selalu kelihatan seperti seorang artis bagiku, kamu cantik sekali. Mungkin aku tak mengatakannya akhir-akhir ini tapi kamu memang cantik. Aku banyak berbuat kesalahan dalam hidupku, satu-satunya keputusan terbaik dalam hidupku adalah ketika aku memutuskan tuk melamarmu.
Kamu tak akan bisa mengerti apa yang menyebabkan aku terus mengemudikan truk, sebenarnya aku juga tak mengerti. Tapi itulah cara hidupku.
Masa susah, masa senang kamu selalu ada, aku mencintaimu sayang.... dan aku mencintai anak-anak. Tubuhku sakit..... tapi hatiku jaaaauhh.. lebih sakit karena kamu tak hadir saat aku mengakhiri perjalanan ini.
Untuk pertama kalinya sejak kita bersama, aku benar-benar sendirian.... dan aku takut.......
Aku sangat membutuhkanmu dan aku tahu sudah terlambat.
Lucu juga yaa..ternyata yang bersamaku mengakhiri perjalanan hidupku sekarang adalah truk ini.
Truk terkutuk ini yang mengatur hidup kita begitu lama ternyata truk ini tak dapat membalas cintaku.
Hanya kamu yang bisa.... kamu beribu km jauhnya, tapi aku merasakan dirimu bersamaku disini maniiis..
Aku dapat melihat wajahmu dan merasakan cintamu...
dan aku takut melakukan perjalanan terakhir ini sendirian.....
katakanlah pada anak-anak bahwa aku sangat mencintai mereka
dan jangan ijinkan mereka bekerja sebagai supir truk.
Mungkin cuma ini bidadariku.....
Ya Tuhan..... aku benar-benar mencintainya...
Jagalah dirimu dan ingatlah selalu bahwa aku mencintaimu melebihi segala yang ada dalam hidupku.
Aku cuma lupa mengatakannya..... maafkan aku sayaaang.......
Tuhan.... ampuni aku... jaga keselamatannya untukku.... biarkan kami bertemu disurga-Mu
Aku.... yang begitu mencintaimu.
=======================================================================
Cahaya matahari mulai berjalan merambat di karpet hijau mendekatiku,
seolah ingin mengintip apakah aku dapat merasakan kesedihan yang sama.
Aku memang belum berkeluarga tapi ketika kubayangkan bahwa supir itu adalah aku
dan Rara beserta anak-anak dengan setia menungguku nun jauh disana....
tak bisa kubendung airmata ini.
Rara... kalaupun kita ditakdirkan bersama, bisakah aku memiliki cinta seagung itu?
cinta yang mengalahkan derita,
cinta yang mengalahkan rasa sakit tak terperi.
cinta yang masih terkait meski ajal datang menjemput,
cinta yang tak pernah terucap tapi tertancap jauh dilubuk hati.
Ku akui Rara, cintaku baru sebatas kata entah cinta macam apa yang ku punya.
Begitu cepat ia hadir secepat ia pergi.
Seperti nasehat ayahku, sebaiknya aku memantaskan diri dulu untukmu,
agar Allah memilihku untuk mendampingimu kelak.
Yaa Rabb.... aku akan belajar mencintai-Mu dengan tulus.
Sehingga Kau ijinkan aku... miliki cinta yang agung
yang kan kuberikan pada siapapun pendampingku
termasuk jika Kau pilihkan Rara untukku.
Terima kasih abang supir truk...
aku telah belajar banyak darimu, aku janji kan mampir ditempat perjalanan akhirmu nanti,
dan berdo'a untuk mu disana.
Jakarta, 161111
AS
(Sebenarnya masih panjang kisah perjalanan ini, tapi berhubung ku letakkan di Label Cerpen, terpaksa dibuat per-segmen. Jadi, sampai jumpa di Thema yang sama dengan Judul yang berbeda)